Oleh : Susi Susanti
13 Agustus 2015…
Sore hari saat bumi diguyur hujan, aku mempersiapkan perlengkapan yang akan dibawa untuk ekspedisi pendakian ke Puncak Kemiri 3315 mdpl yang berada di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, tak lupa Surat Izin Orang Tua yang telah ditandatangani juga telah kupersiapkan.
Sesekali aku berdiri di depan jendela dan memperhatikan keadaan diluar rumah, kulihat hujan belum juga kunjung berhenti, malah semkin membasahi bumi. Dalam hati aku bergumam dan berdo’a semoga hujan tidak turun lagi.
Lalu aku kembali ke kamar, beberapa menit kemudian datang Kakakku dan tiba-tiba saja dia melarangku melakukan pendakian, bukan tanpa alasan beliau melarang karena beliau melihat keadaan suasana alam dengan hujan yang begitu lebat. Lalu aku pun berkata jika besok hujan aku tidak akan melanjutkan keinginan untuk melakukan perjalanan ke Puncak.
Beberapa menit setelah itu tiba-tiba masuk pesan dari seorang teman, beliau melarangku untuk berangkat ke puncak karena di media sosial sedang heboh-hebohnya mengabarkan tentang tewasnya seorang pendaki Wanita yang akan melakukan pendakian ke Puncak Semeru untuk merayakan ulang tahun dan mengibarkan Merah Putih di Puncak, temanku takut aku bernasib sama dengan wanita yang bernama Dania itu. Aku cuma mengiyakan kata-kata temanku. Karena maut hanya Allah lah yang tahu pikirku.
Aku sudah siap membereskan barang-barang bawaanku dan meletakkannya di dekat ruang tamu, tiba-tiba tetangga ku datang, dan melihat barang-barangku.
“ Mau Kemana” ujarnya
“Mau ke Kemiri” Ujarku singkat,
“ Pikirkan dulu masak-masak kalau mau ke Kemiri, Kemiri itu Jauh, binatang buas banyak, mahasiswa juga dulu pernah meninggal disitu karena tersesat” ujarnya.
Memang menurut cerita, pada saat aku SD dulu pernah mendengar ada Mahasiswa dari Banda Aceh yang meninggal di Gunung Kemiri karena tersesat dan kekurangan makanan dan mayatnya dijemput oleh keluarganya dengan mengendarai Helikopeter yang beberapa hari pencarian baru ditemukan.
“lagipula fisikmu gak akan kuat mencapai puncak, jalannya ekstrim, mending kamu tak usah berangkat” Tambah tetanggaku lagi
Aku hanya menjawab ucapan tetanggaku dengan senyuman, entah mengapa keinginanku mencapai puncak Kemiri begitu kuat. Memang mendaki gunung bukan ini yang pertama kali kulakukan tapi mendaki kali inilah keinginan itu begitu kuatnya.
Sore hari hujan pun telah berhenti, walaupun masih ada kabut-kabut yang menghiasi bumi, aku sudah merasa agak lega, beberapa menit setelah itu, aku menerima sms dari Ketua Tim Ekspedisi agar seluruh anggota tim berkumpul di basecamp kami.
Malam harinya kulihat perlengkapan tim sudah lengkap dan sudah dimasukkan kedalam carrier.
Tanpa ditanya, Yudi tiba-tiba berkata “jangan khawatir jika turun hujan, kami sudah mempersiapkan plastik yang sudah menjelma jadi jas hujan” ujarnya.
“oke sip” ujarku
14 Agustus 2015
Kami berangkat ke basecamp dan berkumpul disana, karena Pak Kapolsek dan Pak Danposramil akan melakukan acara pelepasan kepada Tim kami, acara pelepasan dilakukan di Lapangan SMA N 1 Putri Betung yang berketepatan pada hari itu sedang diadakan upacara memperingati Hari Pramuka.
Kami menunggu di basecamp sembari menunggu pak Kapolsek yang kala itu menjadi Pembina Upacara perayaan Hari Pramuka, setelah selesai upacara kami tiba-tiba dipanggil ke lapangan.
Dan pak kapolsek dan pak Danposramil memberi pengarahan kepada kami, tak lupa Pak camat yang sedang berada di Ibu kota negara turut menelpon kami untuk memberi semangat.
Setelah pelepasan dan do’a kami pun melangkahkan kaki dan memulai petualangan. Sebuah petualangan yang tak akan bisa dilupakan seumur hidup.
Tim ekspedisi merah putih pemuda dan pemudi Putri Betung berjumlah 8 orang yang terdiri dari dari Yudi, Junet, Moge, Sidi, Irwan, Wantuk, Diman dan Saya sendiri. Kendati hanya 8 orang yang berangkat tapi tak membuat kami takut dan kehilangan semangat, justru semangat itu semakin menggebu seolah sudah membayangkan mengibarkan bendera di Puncak tertinggi di kampungku untuk memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 70.
Kami pun berjalan menuju Gunung kemiri dengan start dari Kampung Gumpang Lempuh, Yudi yang menjadi guide kami menyuruh Moge untuk berjalan paling depan, karena sebelumnya Moge juga pernah menjejakkan Kaki di Gunung Kemiri bersama mahasiswa asal Medan walaupun tidak sampai Puncak.
Kami pun melewati Jembatan Gantung, hamparan sawah penduduk, dan melewati jalan setapak perkebunan penduduk, lalu memasuki daerah Pintu Rime, disebut Pintu Rime berasal dari kata Pintu Rimba karena dikawasan itu merupakan batasan antara hutan dan perkebunan penduduk, di daerah itu sudah terasa suasana hutan Tropis yang mulai menyambut kedatangan kami. Kami terus berjalan, perjalanan hari pertama ini kami menargetkan bermalam di Bivak 1 Rak Lintang.
Pukul 11.59 WIB kami telah sampai di Rak Lintang, hari masih siang, namun perjalanan sengaja tidak kami lanjutkan karena hanya di Rak Lintang yang ada sumber air sehingga kami memutuskan untuk membangun camp di tempat ini, kami berbagi tugas, sebagian membangun camp, sebagian mencari kayu bakar, sebagian mengambil air yang berjarak sekitar 100 M dari camp. Dan bagianku memasak untuk menu makan siang kami. Menu pertama kami siang itu adalah Ikan sambal dengan tambahan Cicah legop yang bahan-bahannya diberi oleh salah satu Penduduk yang kebunnya kami lewati tadi.
Seusai makan, kami bercerita tentang perjalanan besok, banyak hal yang kami tanya kepada Yudi karena dia telah sering menginjakkan kaki ke Puncak kemiri.
Tiba-tiba turun rintik-rintik Hujan, aku mengambil jaketku dari tas, lalu Indra Penciumanku mencium bau aneh. Ternyata bau Kemenyan,
“Siapa yang pasang kemenyan ini” tanyaku
“ Aku” ujar Moge
“kenapa pasang kemenyan, buat apa?” tanyaku
“Nyarang” ujarnya.
“oo” ujarku singkat
Nyarang sendiri adalah sebuah kepercayaan dengan cara yang biasa ditempuh penduduk untuk memberhentikan hujan yang dilakukan oleh Pawang Hujan.
Rintik hujan pun berhenti, aku tidak terlalu mempermasalahkan masalah “Nyarang” tadi, kami melanjutkan berbagai macam cerita yang membuat tertawa, sesekali kami menceritakan hal-hal yang akan kami lakukan di Puncak, dan menceritakan hal-hal yang sebetulnya tidak penting namun cerita terkadang terhenti karena mengingat pesan orang tua dirumah bahwa di hutan tidak boleh Takabur dan berbiara macam-macam.
Tak terasa hari semakin larut, berbagai macam suara binatang terdengar dari dalam camp, namun tak ku hiraukan, memang menurut Yudi di daerah itu banyak hidup Satwa liar penghuni hutan. aku coba memejamkan mata dan akhirnya aku pun tertidur pulas. hanya sesekali aku terbangun karena dari camp sebelah terdengar suara dengkuran seorang teman yang menggema begitu kerasnya.
15 Agustus 2015
Pukul 6.00 WIB tim memasak untuk sarapan pagi, setelah sarapan kami pun bersiap-siap. Target Hari ini kami harus sampai di Bivak 2. Setelah berdo’a dan melakukan tos untuk menyemangati perjalanan kami. Pukul 08.00 WIB kami pun bergerak. Setapak demi setapak kaki kami berlangkah, saat kami berlangkah, Kicauan Burung pun seakan menemani perjalanan kami. Jalur yang kami lewati hari ini cukup menguras tenaga karena jalur perjalanan yang menanjak, baru 40 Menit kami mendaki peserta tim merasa capek dan berhenti. Kami pun beristirahat. Pada saat beristirahat, kulihat Muka Sidi pucat lalu kami mengeluarkan obat-obatan agar staminanya bisa kembali normal.
“ayo gerak, kita beristirahat agak lama di Jamur Uyem saja” Kata Yudi
Lalu kami pun bergerak menuju Jamur Uyem, disebut Jamur Uyem karena di tempat itu banyak ditumbuhi Uyem (Tusam red) dengan diameter batang sampai 2-3 Meter.
Pukul 9.38 Kami sampai di Jamur Uyem dan beristirahat disana. di dekat tempat duduk aku menemukan Buah yang mirip Kedondong.
“Ini Buah Apa yud?” Tanyaku pada Yudi
“Buah Hutan, tapi aku tak tau persis namanya apa” Ujar Yudi
“Tapi jika kita melakukan perjalanan di Hutan, kita harus mengetahui apakah buah itu bisa dimakan atau tidak”
“Memangnya caranya gimana” Tanyaku lagi
“Iris buahnya, Jika bergetah oleskan getahnya ke tangan, jika tangan gatal berarti Buah itu tidak bagus dimakan, jika tangan tidak gatal oles sedikit ke kulit wajah atau kulit yang sensitif jika tidak gatal baru letak di lidah dan makan pelan-pelan”
“oo gitu” ujarku mengangguk
“biasanya buah yang bisa dimakan, burung juga suka, jika buah itu ada bekas dimakan burung berarti manusia juga bisa memakannya” jelas Yudi.
Setelah tenaga kami kembali pulih kami melanjutkan perjalanan, tanjakan demi tanjakan kami lewati dengan semangat. Setelah beberapa menit melakukan perjalanan Yudi memperlihatkan Kampung Meloak yang terlihat dari tempat itu, kami hanya sekedar melihat dan kembali melanjutkan perjalanan.
Tiba-tiba Wantuk melihat darah segar menempel di dedaunan, dalam hati bertanya-tanya itu darah apa. Yudi beramsumsi bahwa darah itu darah Kijang, mungkin saja ada Kijang yang baru dimangsa oleh Pake Bur e. Pake Bur e adalah sebutan untuk Harimau, menurut kepercayaan warga setempat, pantang menyebut nama harimau di Hutan. Jika kita menyebutnya maka dia akan datang maka untuk menyebut satwa ini harus dengan sebutan Pake e (Mereka).
Perjalanan pun dilanjutkan, pada saat kami berjalan kami mendengar deburan suara Air terjun Aih Kemili. Menurut keterangan yang kami dapat dari Yudi, Air terjun itu terletak sekitar 1 KM lagi dari tempat kami, tingginya sekitar 30 M Tapi laju airnya tidak terlalu besar .tapi kami tidak bisa meliahat air terjun itu karena perjalanan kami tidak melewati air terjun jadi kami hanya mendengar suaranya saja.
Perjalanan pun dilanjutkan dengan posisi tanjakan yang semakin menguras tenaga, sampai akhirnya kami berada di posisi yang rata. Tempat itu disebut dengan nama Genting. Di sebut Genting karena di sisi kanan kiri jalan tersebut terdapat Jurang yang curam. Kami terus melangkah melanjutkan perjalanan.
“Disini kita harus berjalan cepat, banyak kayu mati disini” ujar Yudi.
Aku melihat keatas, kulihat Kayu Mati ternyata sangat banyak, sekitar 100 Meter di depan kami, kami pun bergegas melewatinya.
Perjalanan pun dilanjutkan, sampai akhirnya kami berhenti makan siang di Jamur Kare. Kami melihat persediaan air tinggal sedikit, hanya tinggal 1 Liter untuk 8 orang. Sehingga pada saat itu kami hanya minum hanya sedikit saja. Untuk mengantisipasi kehausan di tengah jalan, Yudi memeras Lumut disekitaran akar Pohon, warnanya sudah kecoklat-coklatan,dan Yudi pun berhasil mendapatkan air perasan lumut yang sudah di saring sekitar seperempat liter.
Setelah makan siang, Kami pun lalu melanjutkan perjalanan, beban carrier yang masih penuh dan terasa berat dan Tanjakan-tanjakan yang tak habis-habisnya membuat laju perjalanan kami agak sedikit lambat.
Kami melanjutkan perjalan, dan tiba-tiba tim kami terpisah jauh,
Aku, Yudi, Irwan dan Diman sudah berjalan duluan dan kami telah sampai di tempat Cek point dengan Tumbuhan Kayu yang berlumut berada di sekelilingnya. Aku merasa kehausan. Lalu aku meminta air yang diperas Yudi dari Lumut, dan……
Glek, rasa air itu pahit namun aku terus menelannya karna kehausan. Perjalanan masih sangat jauh, mau tidak mau aku harus meminumnya untuk menghindari Dehidrasi. Lama kami menunggu Sidi, Junet, Wantuk dan Moge di tempat itu, namun ke 4 orang itu belum kunjung juga tiba.
Lalu Irwan akan berteriak memanggil mereka, tapi Yudi melarangnya, karena berteriak di hutan sangat dilarang. Kami pun kembali menunggu sambil melepas lelah dan menikmati suasana alam sekitar. Banyak Jenis Bunga terdapat disana, terutama Anggrek, Kantong Semar juga Bunga lain dengan berbagai macam warna. Sesekali kami bersiul memberi Kode pada ke empat orang itu karena Sinyal di tempat itu tidak stabil sehingga tidak bisa menenelpon mereka. Ke empat orang itu belum juga datang, lalu Yudi menjemput ke empat orang itu. Rupanya Moge Muntah-muntah di perjalanan. Sehingga mereka harus mengurusnya terlebih dahulu, setelah rasa lelah semua anggota tim hilang kami pun melanjutkan perjalanan.
Kami terus melangkah sampai kami memasuki daerah Hutan Lumut, suasana berubah drastis, aroma lembab dan dingin menyelinap kedalam tubuh kami, dan kami pun dihadapkan dengan tanjakan-tanjakan yang lebih ekstrim dari yang sebelumnya, Nafas pun mulai memburu. Menurut Yudi, Perjalanan menuju Bivak 2 adalah Perjalanan yang paling ekstrim dan terberat. Sering seorang pendaki jika kehilangan nyali maka merasa ingin pulang jika berada pada jalur itu.
Kami melanjutkan perjalanan di jalur dengan tanjakan-tanjakan yang seakan tak ada hentinya, tidak hanya itu sesekali kami harus menunduk dan merayap melewati bentangan kayu besar di depan kami. Nafas semakin memburu, sesekali aku berpegangan pada kayu yang berada di depanku, kulihat ke depan Irwan dan Diman berjalan lambat sambil sesekali langkah mereka terhenti karena merasa lelah. Lalu kulihat orang-orang dibelakangku, tidak seperti perjalanan sebelumnya semua hobi bercerita dan tertawa ceria tapi saat itu semua merasa lelah dan nafas pun semakin ngos-ngosan. Suasana seakan mencekam hanya suara nafas yang terdengar, Lalu aku melihat Sidi, nafasnya memburu sambil menundukkan badannya. Tanpa dia sadari saat mengeluarkan nafas dari mulutnya permen pun jatuh dari mulutnya. Aku tersenyum melihatnya.
Dengan jalan yang terseok-seok, lalu Irwan berteriak
“Yud, apa tidak ada yang rata di jalur ini?”
“semua jalan rata, tapi rata ke atas” ujar Yudi berseloroh.
Kami pun melanjutkan perjalanan, di tengah perjalanan kami merasa kehausan. Lalu Yudi melihat Kantong Semar yang banyak kami dapati di sepanjang perjalanan.
“Minum dari Kantong Semar saja, lihat yang ada airnya tapi usahakan jangan merusaknya” Kata Yudi.
Kami pun mencari Kantong semar yang berisi air lalu meminumnya dan rasa dahaga pun sedikit terobati. Perjalanan pun dilanjutkan sampai kami memasuki area hutan Lumut. Seperti biasa merunduk dan merangkak menjadi santapan perjalanan pada rute itu. Sesekali terdengar Bunyi kicauan Burung Sikatan Merah Dara yang seakan memberi semangat dalam perjalanan kami. Kami terus berjalan dan memasuki daerah Hutan Perdu.
“dimana Bivak duanya yud?” Tanya Irwan
“Sudah dekat, jalan saja” Perintah Yudi
Kami terus berjalan, setelah berjalan cukup jauh, giliran aku yang bertanya
“Yud, kira-kira kita sampai berapa jam lagi”
“sudah dekat, jalan saja” Kata Yudi lagi,
Kami kembali berjalan melewati Hutan perdu, tanjakan demi tanjakan kami lewati sambil sesekali melepas lelah. Kini giliran Junet yang bertanya.
“Masih jauh om?”
“ Sudah dekat, beberapa menit lagi kita akan sampai” ujar Yudi.
Beberapa menit telah berlalu namun kami belum juga sampai di Bivak dua.
“Ayoo semangat, Bivak dua sudah dekat, disana ada air yang bisa melepaskan dahaga kita “ Kata Yudi
Kami berjalan lagi menyusuri hutan Perdu sampai akhirnya kami terpisah lagi, Irwan, Diman, aku dan Yudi berjalan lebih dahulu.
Kami terus berjalan, tapi rasanya Bivak dua tak sampai-sampai, Beginikah defenisi “dekat” bagi seorang guide pikirku.
Kami terus berjalan menembus belantara, sampai akhirnya kami sampai di hamparan Tumbuhan yang kata Yudi disebut Tumbuhan Resam.
Perjalanan kembali melewati hutan perdu sampai akhirnya kami sampai di Bivak dua.
“Kita sampai” Teriak Yudi
Seakan keluar dari terowongan yang gelap dan memasuki pintu masuk di Bivak dua, aku begitu lega. Aku melihat pemandangan indah di sekitar Bivak dua, rasa letih seakan terobati dengan pemandangan itu.
“Yudi, Indah sekali pemandangan ini, gak nyesal aku ikut” Ujarku pada Yudi
“Apa? Ini indah? Ini sih belum seberapa” Kata Yudi lagi. Aku pun langsung membayangkan pemandangan-pemandangan indah di perjalanan selanjutnya.
Kami lalu istirahat, Yudi lalu pergi ke suatu tempat yang tak jauh dari kami lalu naik ke atas pohon, karena dengan menaiki pohon itu sinyal bisa didapat. Dan Yudi pun mengabari keluarga bahwa Kami telah berada di Bivak dua.
Dilain tempat Irwan memanggilku, lalu aku menghampirinya,
“Lihat, dari pohon ini nampak Kampung Kita” Ujar Irwan.
Lalu aku merasa penasaran, dan akan memanjat pohon itu. Saat hendak memanjat pohon. Yudi melarang kami memanjat pohon itu, karena kayu itu sudah kering. lalu dia berlalu meninggalkan kami. Irwan Kembali memanjat, karena merasa penasaran dengan pemandangan yang dilihat oleh Irwan, aku pun mencoba memanjat, ternyata terlihat Hamparan Rumah penduduk yang begitu kecil lalu dengan sekejap mata hilang tertutup awan. Saat berada diatas pohon aku merasakan pohon bergoyang dan memutuskan untuk turun. Saat aku turun, cabang pohon yang di injak oleh irwan Roboh dan braaakkkk,,,,,, kejadian setelah itu tak perlu aku tuliskan, hanya bisa tertawa bila mengingatnya, hehehe
Kami kembali ke titik camp dan mengeluarkan paket makan malam untuk dimasak, minyak makan yang akan menggoreng ikan yang akan kami santap telah berubah menjadi seperti mentega. Sebagian anggota lain mengambil air dari kubangan air telaga kecil yang berada tidak begitu jauh dari camp untuk keperluan memasak dan air minum kami, airnya begitu dingin, untuk mengambil air wudhu saja aku sudah menggigil terkena siraman air itu.
Malamnya kami menghidupkan api unggun dan melakukan breafing serta mengevaluasi perjalanan kami, lalu kami menyantap makan malam, tak lupa meminum kopi dan rebusan air jahe dicampur gula merah untuk menghangatkan tubuh kami, suasana malam itu sangat cerah dihiasi dengan hamparan bintang-bintang dilangit yang seakan sedang tersenyum kepada kami.
Setelah berbagai macam cerita dibahas, rasa kantuk pun mulai menyerang dan kami memutuskan untuk beristirahat.
16 Agustus 2015
Pagi hari saat cuaca begitu dinginnya, aku terjaga lalu melihat jam masih jam 5.30 WIB, lalu aku mendengar suara ribut di tenda sebelah. Kudengar Irwan dan Moge sedang berbicara.
“ Tadi malam aku mimpi, mimpiku aneh, sampai tiga kali berulang-ulang” Kata Moge
“Sama aku juga mimpi. Mimpi tentang si Susi” Kata si Irwan,
Aku kembali menguping dari dalam tendaku karena namaku disebut.
“ Aku juga mimpi tentang kak Susi, mimpiku kak Susi bermimpi lalu dia menceritakan mimpinya kepada ku, dan mimpi kami sama” Tambah Moge
“Kok bisa sama ya?” tanya Irwan
“Nanti kita tanya kak susi, apa betul dia bermimpi tadi malam” tambah Moge lagi.
Aku pura-pura tidak dengar pembicaraan mereka walaupun sedikit penasaran juga mereka mimpi apa tentangku.Karena masih dingin aku begitu malas membuka sleeping bagku, aku pun kembali melanjutkan tidurku.
Jam 7.30 kami sarapan dan mengelilingi api unggun, semua sibuk menghangatkan badan, cuaca begitu dingin, sampai-sampai minyak makan saja berubah menjadi keras seperti batu es.
Pagi itu kulihat Wantuk mengeringkan sepatunya, tapi sayang beribu sayang sepatu Gamir yang membawanya ke hutan tersebut disambar api dan sepatu pun meleleh, dengan sigap dia mengambil sepatunya.
Gelak tawa pun pecah dan kami pun kembali menghangatkan badan di Api unggun.
Lalu tiba-tiba Moge membuka pembicaraan
“Kak susi aku tadi malam mimpi, apa kakak ada mimpi juga?” Tanyanya
“Gak ada mimpi sama sekali, emang kalian mimpi apa?” Tanyaku
“Mimpiku kakak diikuti seorang wanita dari pertama kali kita berangkat mendaki”
“ iya ci” Tambah Irwan lagi.
“Mungkin saja ada yang menjaga susi, makanya mimpi kalian bisa seperti itu” ujar Yudi
“Bisa jadi” ujar yang lain lagi.
Semua seakan serius membahas mimpi si Moge tadi malam, lalu Yudi pun berkata “Berarti kita ada yang menjaga, firasatku juga berkata seperti itu, ini bukan mimpi” ujar Yudi sang guide dengan seriusnya
“memangnya apa firasatmu Yud” tanyaku
“Firasatku mengatakan bahwa memang benar, dari kita memulai pendakian kita diikuti oleh seorang wanita” ujarnya
“yang betul bang,” kata Moge lagi
“ ya betul, kita telah diikuti oleh seorang wanita dari camp 1 sampai sekarang, nama wanita itu Susi Susanti anak Gumpang” kata Yudi sambil tertawa karena melihat ekspresi teman-teman yang begitu tegang mendengar ceritanya.
“Itu sih ini” kata Wantuk menunjukku.
Setelah itu, kami bersiap-siap melanjutkan perjalanan menuju Bivak 3, pada saat itu jam sudah menunjukan pukul 9.30. suasana agak sedikit berkabut namun kami tetap melanjutkan perjalanan.
Pertama sekali kami melewati Hutan perdu, setelah itu melewati Hutan Lumut dengan turunan yang begitu ekstrim dan licin, keadaan begitu gelap karena sinar dari langit tertutup oleh lebatnya tanaman pohon-pohon disekitar. Kami berjalan sangat hati-hati dan sampailah kami ke daerah Arul Mate. Aku melihat suasana sekeliling, Pepohonan besar yang semuanya dibaluti lumut berwarna hijau kekuning-kuningan, dengan banyak batu-batu licin yang harus kami lewati. Melihat Hutan itu, aku teringat Film Annaconda yang sedikit menggambarkan tentang suasana hutan itu serta hutan Amazon yang sangat mendunia yang hanya pernah kulihat dari Televisi saja. Setelah turunan kami kembali mendapatkan tanjakan yang curam, melewati tanjakan itu cukup menguras tenaga, sampai kami berada di hutan perdu. Saat itu dadaku sesak, dan aku meminta untuk Istirahat.
Menurut Yudi, di daerah itu pendaki sering mengalami kekurangan oksigen sehingga dada menjadi sesak. Kupikir hanya aku saja yang merasa sesak, ternyata teman-teman yang lain juga merasakan hal yang sama.
Kami lalu melanjutkan perjalanan sampai kami berhenti lagi di ceck point di hutan perdu.
“apa nama tempat kita beristirahat ini yud?
“Gak ada namanya” Ujar Yudi
“yaudah buat namanya lah, apa kek” Jawabku
Lalu tiba-tiba Sidi memanggilku
“ Kak Uci, bagi Pop screen kakak lah” Katanya dengan lemas
“Pop Screen? Pop Screen apaan? “ Tanyaku Heran
“obat masuk angin si Agnes monica kak” Ujar Sidi lagi
“Itu Fresh care bukan Pop Screen” ujarku lagi diiringi dengan suara cekikikan kawan-kawan yang lain.
“Yaudah, camp ini namanya camp Popscreen” Kata si Yudi lagi sambil tertawa.
Setelah rasa lelah hilang kami melanjutkan perjalanan memasuki hutan lumut, setelah beberapa menit kami lalu memasuki Terowongan Taman Lumut, di sekeliling Terowongan ini banyak ditumbuhi Bunga Anggrek dan Kantong semar dengan berbagai macam warna, lalu kami memasuki hutan perdu lagi sampai akhirnya kami berhenti di daerah Singah Mata. Dari tempat ini, jika cuaca cerah maka akan terlihat hamparan Kota Blangkejeren dan Agusen. Kami lalu melanjutkan perjalanan ke Hutan Perdu sampai akhirnya Kami tiba di Savana pertama, savana ini tidak terlalu luas, kami melewatinya langkah demi langkah sampai kami harus melewati Hutan Perdu lagi. Di sepanjang perjalanan Rute ini banyak terdapat Ketimir sejenis buah yang rasanya seperti mint, kami lalu mencobanya, sesekali dalam perjalanan kami juga menjumpai berbagai macam bunga dengan berbagai macam warna yang kami pun tak tau namanya apa. Kami terus melewati Hutan Perdu yang berbukit-bukit sambil menikmati pemandangan di sekeliling dan mendapati bunga edelwis disana sampai akhirnya kami beristirahat dan makan siang di Karang Putih, Bebatuan hitam dan Putih terhampar disana yang dikelilingi dengan tanaman perdu dan tumbuhan lainnya.
Setelah makan siang kami melanjutkan perjalanan, melewati Hutan Perdu dan Savana sampai beberapa kali, sampai tiba waktunya kami sampai di Savana yang agak Luas. Hamparan Padang Rumput menyambut kami, dengan hiasan bunga-bunga kecil di dalamnya. Saat mata jauh memandang, terdapat banyak kayu-kayu perdu dan Kayu kering dengan hiasan lumut di atasnya yang seolah di ukir untuk memanjakan mata kala melihatnya.
Lalu kami melewati Bivak 3, dan mendapati tengkorak binatang yang masih lengkap disana, Yudi menyebutkan bahwa tengkorak itu adalah tengkorak Anjing Hutan, kami tidak mendirikan camp disana karena air di tempat itu sangat susah sehingga kami memutuskan melanjutkan perjalanan dan mendirikan camp di Pintu Angin.
Kami terus berjalan beriring-iringan, tiba-tiba kabut datang, seolah menutup dunia, suasana menjadi agak gelap. Kami pun berjalan agak merapat, karena menurut Yudi sebelumnya, di rute itu tidak ada jejak jalur pendakian sehingga harus hati-hati. Aku memandang ke belakang, hanya dua orang teman yang tampak dibelakangku, yang lain tidak terlihat karena ditutupi kabut tebal. Kami tetap berjalan walaupun kabut menghalangi jarak pandang kami, sampai akhirnya kami tiba di Hutan perdu lagi, setelah itu melewati Savana sampai entah beberapa kali lagi. Suasana pun masih berkabut namun tidak segelap sebelumnya. Kami terus berjalan dan mendapati Kaleng-kaleng bekas dalam perjalanan, lalu mengumpulkannya untuk dibawa pulang nantinya, karena salah satu misi kami memang melakukan aksi pungut sampah di jalur pendakian. Perjalanan dilanjutkan dan sempat terhenti. Didepan kulihat Yudi berhenti dan seperti orang kebingungan, perjalanan pun dilanjutkan lagi, kami berbelok ke kanan dan anehnya kami kembali ke tempat kami mengumpulkan kaleng-kaleng bekas tadi.
“ini kan jalur yang kita lewati tadi” Ujar si Junet
Rupanya kami telah mengelilingi bukit itu, lalu aku melihat ke depan, bukit-bukit banyak yang sama sehingga sangat membingungkan bukit mana yang harus kami lewati.
“Ayo Jalan, Kabut menutup jalur, kita tadi salah jalur” Kata Yudi lagi
Kami pun melanjutkan perjalanan, tiba-tiba Yudi berhenti lagi dan menyuruh kami istirahat.
“Kalian istirahat dulu, aku mau naik ke bukit itu sebentar” Kata Yudi sambil menunjuk salah satu bukit di depan kami.
Kami mengiyakan apa kata Yudi, walaupun kami sudah curiga, kalau kami sudah tersesat dan keluar dari jalur, bukannya takut karena tersesat kami malah bercanda, membayangkan hal-hal aneh jika tersesat lalu membuat humornya.
Tiba-tiba pada saat kami istirahat, cuaca menjadi cerah, terang menderang, kabut-kabut tak ada lagi, kami melihat ke atas, matahari seakan tersenyum kepada kami,
Kami melihat ke sekeliling, wahhh indah sekali dunia ini, sambil bercerita kami menunggu Yudi sampai akhirnya Yudi muncul sambil berlari dari bukit.
“ Kita salah jalur, jalan sudah tampak, kita sekarang belok kiri untuk sampai di Pintu Angin.
Kami pun berjalan dengan semangat, sambil sesekali menyanyikan lagu 17 agustus untuk menyemangati langkah kami, lalu Yudi menyuruh beberapa anggota tim untuk mengambil persediaan air minum di perjalanan di Aih Bunge Lede. Perjalanan pun dilanjutkan melewati savana yang tak kunjung habis sampai akhirnya kami berada di Pintu Angin, disana kami dapati kolam kecil dengan hiasan rumput-rumput khas savana di tengah-tengahnya. Kami lalu melangkahkan kaki menuju titik camp, lalu tiba-tiba Yudi memanggil kami.
“kesini, ada pemandangan indah, Gumpang nampak dari sini”
Lalu kami pun berlari menuju tempat Yudi, disana kami melihat hamparan rumah penduduk, sawah, sungai dan bangunan lainnya. Begitu indah, ditambah dengan suasana alam yang begitu cerah, sehingga segala pemandangan dapat dilihat dari temput itu. Tidak hanya itu kami melihat gunung-gunung lain dari tempat itu. Salah satunya adalah Puncak Gunung Sinabung Sumatera Utara, Gunung kembar yang menjulang begitu indahnya, Gumpalan awan seperti hiasan syurga juga menambah keindahan pemandangan yang kami lihat. Ah senang sekali rasanya menikmati pemandangan hari ini, ini bukan lukisan, ini nyata dan kami adalah orang-orang yang merasa beruntung dapat melihat ciptaan Allah yang begitu luar biasa. Kami berteriak melepaskan sesak-sesak di dada, agaknya letih, dan rasa capek, terbayar sudah kala melihat pemandangan yang kami lihat. Lama kami memandang pemandangan itu, dan merasa takjub dan tertegun.
“Maka Nikmat Allah manakah yang kamu dustakan?” tiba-tiba Junet salah satu pendaki berambut panjang dengan penampilan selenge’an itu menyerukan firman Allah sambil terus memperhatikan pemandangan di depannya.
Kami menoleh dan tersenyum, agaknya firman itu menyadarkan kami bahwa kami betul-betul merasakann nikmat Allah yang wajib kami syukuri.
Setelah puas memandang pemandangan itu, Yudi lalu melihat ponselnya ternyata ada sinyal di tempat itu, lalu dia menelpon orang tua kami.
“pak, kami sudah sampai di Pintu Angin, kami sedang melambaikan tangan memandang Kampung Kita”
“Alhamdulillah, dalam hati kami juga sedang melambaikan tangan, semoga kalian baik baik saja disana” ujar suara di seberang sana.
Setelah itu kami lalu mendirikan camp, memasak, lalu mengumpulkan kayu bakar untuk api unggun. Sore harinya kami melihat langit begitu indah, langit kemerah-merahan namun sebentar saja tiba-tiba rintik hujan pun datang, dan kabut pun menghampiri bumi.
Malam harinya kami berkumpul mengelilingi api unggun, tapi sayang, hujan tiba-tiba datang dan kami berkumpul di dalam tenda. Kami bercerita didalam tenda, berbagai macam cerita dibahas disana, mulai dari cerita presiden, pilkada, bola, film laga, cerita patah hati dan cerita kalangan anak muda kala merasakan bumbu-bumbu cinta.
Saat mereka mereka bercerita, aku diserang rasa kantuk, aku memutuskan untuk tidur duluan, karena hujan, cuaca menjadi sangat dingin, aku memakai sarung tangan sampai tiga lapis baju 5 lapis dan celana 3 lapis sampai aku tertidur pulas walaupun sesekali aku terjaga karena dingin yang begitu menusuk jiwa.
17 Agustus 2015
“Susi bangun,bangun, ada Sunrise” Moge dan Irwan memanggilku.
Aku pun terjaga dan membuka tenda, kulihat sekeliling, suasana pagi yang begitu dingin, butiran butiran seperti es pun menyelimuti dedaunan dan tenda-tenda kami.
Semua kembali berkumpul dan melihat Sunrise, Rona merah dilangit sangat terlihat jelas, banyak sekali panorama indah yang kami lihat di tempat ini.
Pukul 6.30 kami lalu bersiap-siap menuju puncak yang sudah berada di depan mata kami, sekitar 1 jam lagi kami harus menempuh perjalanan.
Kami tidak sarapan, karena berencana akan sarapan di Puncak, perjalanan pun dimulai, Reff lagu “Indonesia Raya” Mengiringi langkah perjalanan kami sambil membawa dan mengibarkan bendera kebanggaan Indonesia. Kami melewati Hutan Perdu dan Bukit yang berbatu. Walaupun kami tidak membawa beban yang berat karena perlengkapan kami tinggal di camp. Nampak beberapa anggota tim berjalan terseok-seok menapaki bebatuan yang menanjak, membuat langkah kami pada saat itu agak lambat. Tanpa memperdulikan lelah, kami terus melangkah Sampai akhirnya kami berada di Puncak pada pukul 7.20 WIB. Rona keceriaan nampak dari wajah semua anggota Tim, Rasa haru menyelimuti kami. Akhirnya tujuan kami tercapai. Kami saling Tos satu sama lain karena telah berhasil menuju puncak.
Kami lalu menancapkan Bendera Merah Putih yang kami bawa di Puncak itu. Bendera Raksasa juga kami bentangkan disana dengan posisi menghadap ke Timur.
Begitu terharu melihat Bendera itu berkibar-kibar, warna merah dan putihnya yang indah menambah sejuk hati kala melihatnya. Kami lalu bersiap-siap melakukan upacara Peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang ke 70 yang tempatnya agak rata.
Kami berjumlah 8 orang, Yudi bertugas sebagai Pemimpin Upacara, Aku bertugas sebagai Pembawa bendera dan merangkap sebagai dirgen Aubade untuk mengiri lagu Indonesia Raya, Junet dan Sidi mengiringiku membawa bendera dan Wantuk, Irwan, Diman dan Moge bertugas sebagai Kelompok Aubade.
Pelaksanaan upacara kami lakukan dengan Khidmat. Saat Pemimpin upacara memberi Komando untuk memberi penghormatan kepada Bendera merah Putih, tubuhpun merinding, seolah mengingat para pejuang yang telah memperjuangkan merah putih.
Selesai upacara kami memandang kibaran merah putih yang meliuk-liuk diterpa angin, merah putih teruslah kau berkibar, semoga engkau tidak hanya sebuah simbolis belaka tapi engkau adalah simbolis sebuah perjuangan yang akan diingat sepanjang masa.
Lalu kami pun berfoto di puncak, sambil menikmati keindahan alam disekitar.
“Negeri di atas awan” agaknya sangat tepat untuk menggambarkan suasana di tempat itu. Gumpalan awan yang indah seakan menari-nari melihat kami yang sedang berada di Puncak itu, Kami pun tidak mau kalah, ke tujuh pria anggota Tim pun menarikan tari Saman di Puncak menambah keceriaan kami di Puncak.
Setelah acara selesai kami pun bergegas untuk pulang, awalya kami enggan untuk pulang karena kami sangat betah di puncak, bahkan ada sebagian anggota mengusulkan untuk pulang besok, karena perlengkapan kami tinggal untuk beberapa hari, jadi kami akhirnya memutuskan untuk pulang saja.
Kami lalu turun untuk menghadapi rute turun gunung yang tidak jauh berbeda dengan rute pada saat naik. Tapi janji kami sudah terbayar,Tim ekspedisi Merah Putih Pemuda dan Pemudi Putri Betung telah berhasil mengibarkan Bendera Merah Putih di puncak, sebuah pengalaman indah yang tak bisa dilupakan, Percayalah, saat kau menginjakkan kaki di Puncak Kemiri, tak akan ada kata menyesal yang akan terucap dari bibir dan hatimu karena perjalananmu, letihmu, rasa capekmu, rasa hausmu, akan dibayar di Puncak. Buktikan.
Salam Merdeka!
*Wartawati LintasGayo.co Putri Betung, Gayo Lues.