Jakarta-LintasGayo.co : Di tengah kesibukan sebagai wakil rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Muhammad Amru masih menyempatkan bersilaturrahmi dengan peserta Seminar dan Lokakarya Kebahasaan dan Lembaga Adat asal Aceh yang digelar Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam rangka memperingati hari jadi 70 tahun bahasa Negara, 18 Agustus 1945-18 Agustus 2015 dengan tema “70 Tahun Negara Berbahasa Indonesia: Merajut Kebinekaan Bangsa menuju Bahasa Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA),” di Hotel Kartika Chandra Jakarta, 17-21 Agustus 2015.
“Sedang ada tugas di Jakarta. Saya sempatkan silaturrahmi dengan peserta semiloka dari Aceh,” kata Muhammad di Hotel Kartika Chandra Jakarta, Rabu (19/8/2015).
Dalam pertemuan itu, hadir peserta dari Aceh, diantaranya akademisi, peneliti sekaligus penulis Yusradi Usman al-Gayoni, Burhan Alpin yang mewakili Lembaga Adat Alas, dan Dosen Universitas Serambi Mekah Harun Rasyid. Juga, hadir penyair nasional dari Gayo, Fikar W. Eda. Sementara itu, Ketua Balai Bahasa Aceh Teguh Santoso dan perwakilan balai lainnya, Iskandar Syahputera tidak hadir dalam pertemuan itu.
Selain silaturrahmi, Muhammad Amru sempat berdiskusi dengan peserta dari Aceh tersebut. “Alhamdulillah, ada wakil kita dari Aceh dalam Semikola ini. Apalagi, saya dengar, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sedang membuat laboratorium kebinekaan bahasa di Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan. Tadi, sudah direkam bahasa Gayo dan bahasa Alas,” kata Anggota DPRA dari Daerah Pemilihan Gayo Lues-Aceh Tenggara itu.
Diterangkannya, laboratorium kebinekaan bahasa ini sangat penting pada masa-masa mendatang. Karena, berisi bahasa-bahasa lokal yang ada di Nusantara.
“Siapa pun nantinya bisa belajar bahasa lokal di laboratorium ini. Untuk itu, selain bahasa Gayo dan bahasa Alas, perlu dilakukan perekaman juga terhadap bahasa-bahasa lokal lainnya di Propinsi Aceh, yaitu bahasa Aceh, Singkil, Tamiang, Kluet, Anak Jamee, Devayan, Sigulai, Haloban, dan bahasa Lekon. Jadi, lengkap semua. Tidak ada yang tertinggal,” kata politisi Partai Aceh (PA) yang sempat jadi guru di bahasa Inggris di Kutacane, Kabupaten Aceh Tenggara itu.
Di sisi lain, kata Mantan Ketua DPRK Gayo Lues itu, perlu dikuatkan kesadaran dalam pemakaian dan pelestarian bahasa-bahasa lokal dan adat istiadat di Aceh.
“Masalah ini harus harus terus menerus didorong. Karena, menyangkut identitas etnik-etnik yang ada di Aceh. Semuanya tersimpan dalam bahasa. Makanya, masalah bahasa ini penting sekali. Kita sama-sama berupaya, agar bahasa-bahasa lokal yang ada di Aceh bisa terwaris kepada generasi-generasi mendatang,” tegasnya. (AF)