Kenapa Peselam GDC Mau Pungut Sampah Dari Dasar Lut Tawar?

oleh

Catatan : Darmawan Masri*

Pemungutan sampah di bawah permukaan danau Lut Tawar. (LGco_Mude Angkasa)
Pemungutan sampah di bawah permukaan danau Lut Tawar. (LGco_Mude Angkasa)

Setiap orang pasti bertanya, kenapa para peselam dari Gayo Diving Club (GDC) mau memungut sampah dari dasar Danau Lut Tawar?.

Padahal menyelam di dinginnya danau dengan ketinggian 1200 meter diatas permukaan laut (dpl), cukup beresiko terhadap peselam pada umumnya. Menyelam di ketinggian butuh upaya penyesuaian yang berbeda saat peselam melakukannya di laut.

Menyelam di ketinggian disebut juga altitude dive. Di kalangan peselam yang melakukan aktivitas menyelam di altitude dive dikategorikan sebagai aktivitas penyelaman special, karena butuh teknik khusus dalam melakukannya. Tidak banyak lokasi altitude dive ditemukan di Indonesia, salah satunya ada di Takengon, Aceh Tengah.

Underwater Clean UpNamun sayang, keadaan danau berpenghuni ikan depik (Rasbora tawarensis) dan mitos Puteri Ijo dan Lembide ini keadaannya tengah kritis. Tumpukan sampah di dasar danau dan seputarannya cukup memprihatinkan. Ditambah dengan derasnya laju sedimentasi (laju pengendapan) terhadap danau turut menambah penderitaan bagi kelangsungan ekosistem yang hidup di dalamnya.

Alasan peselam dari GDC mau memungut sampah dari dasar danau sebenarnya cukup sederhana.

Menurut salah seorang peselam yang juga ketua GDC, Munawardi, Senin 17 Agustus 2015 usai mengibarkan bendera merah putih di dasar danau dan melakukan aktifitas pemungutan sampah dari dasar (underwater clean up) jilid-3 di Pante Menye, Bintang, mengatakan bahwa sudah terlanjur cinta pada aktifitas menyelam yang juga sebagai salah satu cabang olahraga.

Penyelam GDC Bersiap Kibarkan Bendera Merah Putih. (Foto : Irwan)
Penyelam GDC Bersiap Kibarkan Bendera Merah Putih. (Foto : Irwan)

Atas kecintaan itu, terangnya lagi pasti setiap peselam mencari tempat menyelam yang selain bersih juga indah. “Melakukan aktivitas menyelam kan pada dasarnya melihat kondisi bagaimana indahnya panorama bawah air (memasuki alam lain), tentu saja semua peselam ingin tempat yang indah dan bersih,” terang Munawardi.

Melihat kondisi danau Lut Tawar yang semakin tercemar oleh sampah dan lainnya, GDC merasa resah dan khawatir akan tidak bisa melakukan aktivitas menyelam lagi.

Munawardi bercerita, olahraga selam mulai berkembang di Aceh Tengah yakni pada tahun 2006 silam, tepat pada pelaksanaan Pekan Olahraga Daerah (Porda) ke-X Provinsi Aceh dimana Takengon menjadi tuan rumah.

Aktivitas penyelaman saat itu, kata Muna sangat mudah menemui lokasi menyelam. Hal itu dikarenakan, kondisi perairan danau Lut Tawar terlihat lebih jernih dan jarak pandang penyelam (visibility) lebih dari dua meter, padahal saat itu peralatan selam di Aceh Tengah serba terbatas, sehingga dokumentasi bawah air di tahun itu pun, belum sempat terkumpul dengan baik.

Sembilan tahun sudah sejak tahun 2006 hingga 2015 ini, keadaan tersebut berlalu. Saat ini, menyelam di danau Lut Tawar, tidak lagi sama seperti dimana olahraga ini mulai diperkenalkan. Visibility air yang sering buruk dan sulitnya menemui lokasi penyelaman yang indah, membuat para peselam GDC tergugah hatinya.

Merasa cemas dan khawatir akan tidak bisa lagi melakukan penyelaman, membuat para peselam yang sudah menancapkan hobinya di olahraga yang tergolong ekstreme namun sehat ini, mengkampanyekan gerakan peduli terhadap ekosistem danau terutama dari sampah. Sampah merupakan salah satu biang dari sering keruhnya air di perairan danau.

“Kami hanya khawatir tidak bisa menyelam lagi, makanya terus kita kampanyekan agar masyarakat tersadarkan untuk tidak membuang sampah ke danau lagi. Tidak ada maksud lain-lain yang kami tuju dalam aksi ini. Saat kami tak lagi dapat menyelami indahnya panorama air danau Lut Tawar, maka dipastikan danau kebanggaan kita ini juga akan berakhir masa kejayaannya, karena tidak ada lagi yang dapat dilihat di dasarnya, dan depik juga akan hilang dari muka bumi sebagai salah satu ikan endemik di dunia,” kata Munawardi.

Kondisi Perairan Dasar Danau Lut Tawaf. (Foto : Muna)
Kondisi Perairan Dasar Danau Lut Tawar. (Foto : Muna)

Senada dengan Muna, seorang peselam lainnya yang juga beraktivitas sebagai nelayan menyatakan hal yang sama. Dari sudut pandang sebagai seorang nelayan, Winara mengatakan bahwa sampah menyebabkan hasil tangkapan nelayan berkurang.

Hal itu dikarenakan, banyaknya lumpur yang lengket ke jaring nelayan (mukubel : Gayo) menyebabkan ikan enggan dekat ke jaring yang dipasang nelayan. Kondisi ini sangat berbeda saat tahun 2006 ke belakang. Dimana nelayan yang memasang jaring pada malam hari, saat mengangkat jaring (mulangku-Gayo) esok harinya keadaan jaring tetap bersih seperti awal pemasangan.

“Sekarang kalau didiamkan satu jam saja, banyak lumpur yang lengket di jaring tersebut, sehingga membuag nelayan harus bekerja ekstra memantau jaring hampir setiap jam, jika tidak dibersihkan, jangan harap ikan tertangkap,” ujar Winara.

Muna dan Winara serta para peselam lainnya dari GDC akan terus mengkampanyekan gerakan aksi penyelamatan ekosistem danau Lut Tawar, dengan cara memungut sampah di dasar danau Lut Tawar. Masih banyak lagi yang akan dirugikan, saat perairan Danau Lut Tawar kotor dan tercemar, belum lagi Danau Lut Tawar sebagai sumber air minum, danau Lut Tawar sebagai tempat bermain dan berwisata, dan masih banyak lagi hal yang ditimbulkan dari tercemarnya danau yang kita sayangi ini. Penyelam ini yakin, bahwa setiap warga yang ditinggal di Gayo  dan semua orang pasti sayang dengan keberadaan danu Lut Tawar. Dan semua tidak ingin, danau Lut Tawar hilang dari permukaan bumi.

Salam Lestari, Save Danau Lut Tawar….!!!!

Populasi Kijing Taiwan (Memin Kul) disertai sampah di dasar perairan danau Lut Tawar. (Foto : Muna)
Populasi Kijing Taiwan (Memin Kul) disertai sampah di dasar perairan danau Lut Tawar. (Foto : Muna)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.