Kongres Peradaban Aceh, Tak Ada Urusan dengan Gayo

oleh

Oleh Win Wan Nur

13 Agustus 2015, media ini menurunkan berita bahwa Kongres Peradaban Aceh akan diselenggarakan di Banda Aceh. Panitia menyebutkan alasan dipilihnya Banda Aceh sebagai tempat acara lantaran selain akses yang mudah, juga refresentatif.

Tapi karena awalnya panitia menggembar-gemborkan bahwa acara yang konon katanya untuk memperkuat bahasa-bahasa lokal di Aceh yang tidak kurang dari 8 macam ini akan dilangsungkan di Takèngën. Agaknya, selain alasan akses dan representatif, ada alasan yang lebih fundamental di balik perubahan rencana ini.

Sebagaimana kita ketahui, Kongres Peradaban Aceh, acara yang katanya sama sekali tidak terkait dengan politik ini (sebagaimana juga Gayo Art Women dulu) dalam rangkaian persiapannya menghadirkan Wali Nanggroe, yang merupakan representasi dari sebuah lembaga yang terang-terangan melecehkan suku minoritas di Provinsi Aceh.

Sebagaimana lembaga-lembaga sejenis, entah itu di zaman Belanda dan zaman Orde Baru yang selalu membutuhkan legitimasi dari orang-orang yang dirugikan oleh keberadaannya. Itu pula yang dibutuhkan Wali Nanggroe. Tidak penting apakah legitimasi itu memang berasal dari aspirasi murni ataupun yang seolah-olah aspirasi.

Sejak lembaga Wali Nanggroe ini resmi ada, kita sudah melihat betapa sering lembaga ini menunjukkan citra, seolah-olah keberadaan lembaga ini telah didukung penuh oleh suku-suku yang yang dilecehkan oleh keberadaannya. Karena Lembaga ini sama sekali tidak diniatkan untuk menempatkan semua suku di provinsi ini dalam posisi setara, tentu saja mustahil untuk mendapatkan legitimasi berdasarkan aspirasi murni dari suku yang jelas-jelas dilecehkan oleh keberadaan lembaga ini. Maka tak ada pilihan lain, legitimasi ini harus didapat dari yang seolah-olah aspirasi.

Maka  kita pun dipertontonkan foto yang menunjukkan Malek Mahmud sang pemangku jabatan Wali Nanggroe dalam balutan pakaian adat Gayo. Ketika tidak ada protes yang signifikan, lalu antek-anteknya mengembangkan opini seolah-olah rakyat Gayo sudah ikhlas didiskriminasi.

Upaya untuk unjuk legitimasi yang didapat dari “yang seolah-olah aspirasi” ini terlihat sangat kentara ketika dalam “Gayo Art Women” acara seni yang sama sekali tidak ada urusan dengan politik. Keluguan para seniman penyelenggara acara ini dengan sigap dimanfaatkan oleh antek-antek WN. Foto Malek Mahmud tiba-tiba muncul dengan dominan. Selanjutnya mudah ditebak, antek-antek WN dengan leluasa menuduh siapapun orang Gayo yang menolak keberadaan WN sebagai provokator atau barisan sakit hati.

Ide penyelenggaraan KPA sendiri dari awal jelas terbaca sebagai upaya untuk melegitimasi keberadaan lembaga Wali Nanggroe. Meskipun panitia mati-matian mengatakan acara ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan politik. Tapi dinamika yang berkembang menunjukkan dengan jelas kalau acara semacam ini tidak lain hanyalah bertujuan untuk melegitimasi superioritas suku mayoritas atas sebagaimana dinyatakan oleh UUPA, yang seperti pasal ketuanan Melayu dalam Undang-undang Malaysia, menempatkan ras mayoritas dalam posisi yang lebih tinggi dibanding ras lain dalam satu wilayah administrasi yang sama.

Melekatnya acara ini dengan upaya memaksakan legitimasi keberadaan WN untuk mendominasi kelompok-kelompok suku minoritas, bisa kita simpulkan dari pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh para penggagas acara ini. Sebut saja misalnya seperti yang diungkapkan oleh Mustafa Ismail, atau Reza Vahlevi yang tanpa sungkan menantang siapapun yang tidak menerima keberadaan WN.

Masyarakat Gayo tentu tidak buta, gelagat tidak enak ini langsung terbaca. Terbukti dari maraknya penolakan dari berbagai kalangan di Gayo atas keterlibatan WN dalam acara ini. Kalau acara ini memang benar seperti dikatakan panitia, dimaksudkan untuk mempererat persaudaraan antar suku-suku yang ada di Aceh. Tentu saja panitia akan dengan rendah hati mengakomodir aspirasi yang berkembang di Gayo ini.

Tapi alih-alih mengakomodir penolakan itu, Fahmi Mada, inisiator lain dari acara ini menganggap remeh suara penolakan itu dengan mengutip pepatah yang mengatakan “Air beriak tanda tak dalam”.

Respon penuh percaya diri dari panitia dan inisiator acara ini atas dinamika yang berkembang di wilayah tengah membuat sebagian kalangan di Gayo mengekspresikan penolakannya melalui spanduk yang dibentangkan di tengah keramaian. Setelah itu, kita tidak lagi mendapati respon yang menggebu-gebu dari panitia dan inisiator acara. Sampai tiba-tiba muncullah berita  bahwa panitia menyatakan KPA akan diselenggarakan di Banda Aceh. Padahal, yang ditolak urang Gayo hanyalah WN, bukan penyelenggaraan acara ini.

Jadi bisa disimpulkan, meskipun panitia menolak keras keterkaitan acara ini dengan upaya melegitimasi Wali Nanggroe dan peneguhan superioritas satu suku mayoritas atas suku-suku lain. Kenyataan jelas berkata lain.

Keputusan panitia, untuk memilih Banda Aceh dibandingkan Takèngën sebagai tempat acara, hanya karena Wali Nanggroe ditolak di Gayo. Jelas menunjukkan bahwa panitia acara ini lebih memilih mengakomodir Wali Nanggroe dan mementingkan kelanggengan superioritas satu suku tertentu dibandingkan membangun persaudaraan berkesetaraan antara suku mayoritas dengan Gayo dan suku-suku lain, yang merupakan penduduk asli penghuni ujung utara Sumatera ini.

Jadi dalam situasi seperti ini, kiranya sangatlah tidak elok dan tidak tahu malu kalau Gayo masih mau berpartisipasi dalam acara yang jelas-jelas tidak mengakomodir kepentingan Gayo ini.

Kalaupun kemudian ada peserta acara ini yang kebetulan terlahir sebagai orang Gayo. Kita sangat berharap agar yang bersangkutan mengikuti acara ini dalam kapasitas sebagai pribadi alias individu saja, Bukan sebagai representasi Urang dan peradaban Gayo. Sebab, sudah pasti akan ada banyak orang Gayo yang tidak sudi direpresentasikan olehnya di acara ini.

Biarlah acara KPA ini kita ikhlaskan menjadi acaranya saudara-saudara kita dari pesisir, kita cukup berbagi kebahagiaan dengan menyaksikan mereka mengangkat kembali budaya, peradaban dan kejayaan masa lalu mereka. Dan kita Gayo, mari kita menentukan jalan kita sendiri.[]

*Pengamat sosial budaya

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.