Banda Aceh-LintasGayo.co: Perdamaian Aceh sesungguhnya berada dalam kondisi yang terancam, rapuh dan riskan.
Hal tersebut dinyatakan oleh Budayawan Aceh Salman Yoga S dalam acara Dialog Kebudayaan yang bertajuk “Peran Intelektualime dalam Perdamaian Aceh”, Selasa 11/8/2015 di Banda Aceh.
Salman Yoga S yang tampil dalam sesi perdana diskusi mengetengahkan makalah yang berjudul “Efek laten karya tulis dalam merawat perdamaian”.
Peradaban dunia selalu dicatat dan diabadikan melalui karya tulis, selain sebagai transformasi nilai, ideologi, pemikiran termasuk kitab suci semua agama, kata Salman.
Lebih lanjut lelaki berkacamata minus ini menyatakan tulisan mempunyai misi laten dalam membentuk, mempengaruhi dan mengabadikan apa yang dikehendaki manusia, termasuk dalam menjaga, membangun dan merawat perdamaian di Aceh.
Ada banyak jenis dan bentuk karya tulis, di antaranya adalah tulisan yang menjadi bahasa undang-undang, jurnalisme, laporan ilmiyah dan lain sebagainya. Tulisan sebagai bahasa undang-undang (MoU Helsinki) kata Salman dalam konteks perdamaian Aceh posisinya sangat rapuh. Rapuh jika makna dan butiran-butiran yang terkandung di dalamnya tidak diterjemahkan/diimplementasikan dengan baik dan menyeluruh oleh pihak terkait, dalam hal ini adalah negara, jelas Salman.
“Jangan sampai tulisan sebagai bentuk kesefahaman dan perjanjian seperti halnya gerakan DT/TII yang berdamai dengan negara Indonesia pada tahun 1962 tidak direalisasikan. Hal seperti inilah sesungguhnya yang dapat memicu rapuhnya perdamaian,” kata putra Gayo ini.
Acara yang digelar di Gedung Turki Sultan Selim II ACC, Banda Aceh tersebut dihadiri oleh sejumlah tokoh dan puluhan peserta. Di antara yang tampak hadir adalah akademisi dan peneliti alumnus Harvard University Amerika Dr. Eka Budianti, MA, Sosiolog asal Turki Dr. Mehmet Ozay, beberapa tokoh GAM seperti Nur Djuli, mantan Wali Kota Sabang Munawar Liza Zainal dan sejumlah aktivis lainnya. (Saiful A Hamzah)