Salman Yoga S

MENYEBUT nama siapa saja ia selalu berintonasi rendah, bahkan dengan sebutan yang disenangi oleh orang yang dipanggil namanya. Tidak jarang ia selalu menyebut dan menyapa orang yang lebih tua, atau yang lebih muda darinya sekalipun selalu dengan tutur adat Gayo yang santun, Ama, Ine, Kil, Ibi, Pun, Ncu, Abang, Aka dan lain sebagainya. Tidak jarang ia juga kerap menggelari (memberi nama lain) kepada kerabat dan sahabatnya dengan gelar/sebutan yang sesuai dengan karakter bersangkutan, hingga gelar/sebutan yang diberikan melekat kepada yang punya nama.
Ketika sang ayah Tgk. H. Ilyas Leube sedang melakukan serangkaian dialog perdamaian bersama sejumlah anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) di atas kapal Gajah Mada di tengah-tengah Danau Lut Tawar pada bulan Mei 1961, ia sudah berusia tiga bulan dalam kandungan ibunda Hj. Salamah Binti Salihin. Ketika itu sang bunda sedang berada di tengah hutan bersama ratusan tentara Darul Islam (DI/TII) di seputaran Kampung Serule.
Gerakan perjuangan mendirikan negara Islam oleh sang ayah memaksa seluruh keluarganya tanpa kecuali turut bergerilya, bepindah-pindah tempat dari satu hutan kerimba lainnya di tanah Sultan Alaidin Johansyah. Tepat pada tanggal 10 Oktober 1961di sebuah wilayah tepian sungai yang masih belantara benama Lipet di Kampung Samar Kilang Iklil Ilmi bin Tgk.H. Ilyas Leube lahir ke dunia.
Sang Ibi, adik kandung dari ayahnya Sakdiah Inen Daman dan Inen Waznah (Istri Prof. Dr. Baihaqi Ak, MA) beserta sejumlah istri pejuang lainnya turut membantu mengurus bayi yang baru lahir tersebut. Sejumlah kerabat dan tentara DI/TII Gayo turut gembira menyambut kelahiran cabang bayi laki-laki dari pimpinan tertinggi mereka. Dengan sangat rahasia berita itupun menyebar dari mulut-kemulut.
Tujuh hari kemudian sang bayi pun diberi nama melalui majelis “doa selamat” dan kenduri (turunmani/turun kuwih) yang amat sederhana. Tidak diketahui secara pasti atas usulan dan ide siapa hingga nama Iklil Ilmi yang kemudian dipilih dan dinisbatkan menjadi nama bayi lelaki itu. Yang pasti sebelum pemberian nama itu terjadi ada serangkaian diskusi antara Tgk. H. Ilyas Leube, Tgk. Baihaqi Ak, Tgk. Saleh Adry, Aman Mastani dan sejumlah anggota keluarga serta tentara DI/TII lainnya dengan waktu dan di tempat yang berbeda-beda.

Gejolak politik antara DI/TII dan negara Indonesia terus berlangsung di antara usaha-usaha perdamaian yang juga terus diupayakan. Termasuk di antaranya adalah peran Kolonel M. Jasin yang menyurati dan melakukan sejumlah dialog dengan Tgk. M. Daud Beureueh, serta sejumlah negosiasi awal yang dilakukan oleh suruhan Kolonel M. Jasin kepada Tgk. H. Ilyas Leube.
Tahun 1962 kesepakatan damai antara Indonesia dan DI/TII akhirnya disepakati dengan sejumlah syarat-syarat tertentu. Hj. Salamah Binti Salihin bersama kedua anaknya Harbiah dan bayi Iklil pun kemudian di boyong ke tengah-tengah masyarakat, hidup menetap di Bener Lampahen dan sesekali ke Takengon, Kampung Asir-Asir, Kampung Kenawat dan Kampung Bintang.
Bayi Iklil Ilmi bin Tgk. H. Ilyas Leube pun kemudian tumbuh dan berkembang sebagai anak yang montok dan ceria, di tengah suasana politik yang agak “kondusif”. Dalam kondisi demikian sang ayah justru tidak tinggal diam, ia melakukan gerakan dakwah Islam melalui ceramah-ceramah keagamaan diberbagai tempat. Sebagai anak laki-laki yang dekat dengan ayahnya, Iklil muda yang masih berusia 5 tahun kerap mengikuti agenda-agenda perjalanan dakwah bersama Tgk. H. Ilyas Leube.
Jika ada ceramah di seputaran Kota Takengon atau kampung lainnya yang tidak jauh, sang ayah selalu memberi izin dan membawa anaknya Iklil beserta keponakannya Amirsyam Bin Tgk. H. Bantasyam Asri untuk turut serta.
Bersama dengan sepupu Iklil yang juga masih seusia Amirsyam, Iklil tidak kehilangan teman bermain disela-sela kesibukan ayahnya bercemah. Bahkan keduanya merasa senang diizinkan ikut karena Tgk.H. Ilyas Leube memang dikenal sangat dekat dan senang dengan anak-anak, bahkan terkadang Iklil dan Amirsyam sengaja diajak. Tidak jarang Hj. Salamah dan Hj. Rukiyah dibuat repot mencari Iklil dan Amirsyam yang sedang bermain di tengah sawah, lalu memandikan dan mengganti pakaian mereka agar dapat turut serta bersama Tgk. H.Ilyas Leube.
Demikianlah masa-masa kecil Iklil bersama ayahnya yang berlangsung selama bertahun-tahun. Keadaan seperti ini mulai berkurang ketika Iklil dan Amirsyam mulai memasuki masa Sekolah Dasar, Iklil bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah Bandar Lampahan dan Amirsyam di Kota Takengon. Meskipun pada hari-hari tertentu keduanya oleh Tgk.H. Ilyas Leube masih sering mengajaknya untuk bepergian.
Iklil Ilmi menempuh pendidikan dasarnya di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Bandar Lampahan, yang menjadi kepala sekolahnya dan menandatangani Izajahnya adalah Mahmud Yusuf dan Tgk. Abdullah Badal dari Kementerian Agama Kabupaten Aceh Tengah.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, Iklil kemudiaan melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) di Takengon. Dengan bernomor Induk Siswa (NIS) 801 ia berhasil menyelesaikannya pada bulan Agustus 1976, Izajahnya ditandatangani oleh Tgk. Abu Bakar Bangkit dan Abd. Latif.
Pada tahun-tahun terakhir Iklil menempuh Pendidikan Menengah, gerakan politik ayahnya memasuki tahab kedua dalam sejarah pergolakan Aceh melawan negara Repubrik Indonesia. Gejala ini mulai terbaca ketika intesitas pemikiran dan idielogi ayahnya kian memuncak setelah beberapa tahun pasca damai DI/TII dengan negara Repubrik Indonesia.
Sebagai ulama muda dengan pemahaman keagamaan dan idealismenya menyaksikan berbagai ketimpangan kehidupan dalam masyarakat, baik dalam sistem sosial dan kenegaraan, terutama diingkarinya poin-poin kesepakatan damai antara DI/TII oleh negara. Tgk. H. Ilyas Leube memutuskan untuk kembali melawan dengan naik ke “gunung” bersama Tgk. M. Hasan Tiro.
Dalam masa-masa itu komunikasi dan interaksi Iklil Ilmi dengan sang ayah mulai berkurang. Meskipun sebelumnya sebagian besar waktu sang ayah lebih banyak dicurahkan untuk umat dan masyarakat, tetapi sesekali masih ada luang untuk saling berdiskusi dan makan bersama keluarga.
Tetapi ketika Tgk. H. Ilyas Leube memilih untuk berjuang membela kepentingan masyarakat umum dan ideologi kebenarannya, waktu bercengkrama dengan keluarga putus sama sekali. Kepada kakak dan adik Iklil, Harbiyah, Ilham dan Izah diamanatkan oleh Tgk. H. Ilyas Leube agar tetap melanjutkan studi dan menjaga silaturrahmi dengan sanak saudara serta masyarakat. Amanat ini disampaikan beberapa kali di tempat dan suasana yang berbeda, hingga pada tahun 1975 akhir Iklil tak melihat ayahnya lagi di Bener Lampahan.
Kondisi inilah yang memaksa Iklil untuk memilih pindah dan melanjutkan studi ke Jakarta. Di Ibu Kota Negara Indonesia ini Iklil bermaustin bersama Prof. Dr. Baihaqi Ak, MA dan Ali Hasan, Pendidikan Tingkat Atas-nya ia tempuh dengan suasana politik yang dikait-kaitkan dengan perjuangan ayahnya. Meskipun dalam kondisi demikian, ia berhasil meraih dua Izajah Pendidikan Atas dari lembaga yang berbeda. Pertama dari Madrasah Aliah Negeri (MAN) No.1 Mampang Prapatan Jakarta Selatan dengan Izajah ditandatangani oleh Drs.HA. Mawarzi pada tahun 1981, dan kedua dari sekolah Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Pondok Pinang Jakarta Selatan, dengan Izajah ditandatangani oleh Drs. Buchjar Syam.
Di tempat berbeda ini pergaulan Iklil mulai terbuka, berbagai kalangan menjadi teman dan sahabatnya. Interaksi dan pemikirannyapun berkembang sebagai salah seorang putra Gayo yang punyai tanggungjawab terhadap tanah “tembuni”-nya. Komunikasi dan “gerakan bawah tanah” yang ia jalankan selalu menggunakan pola diskusi, silaturrahmi dan saling bertukar informasi. Ia sangat fasih berbahasa Gayo dan Aceh, sehingga komunikasi dan interaksinya dengan putra daerah di dalam dan luar negeri terkait kondisi terakhir ia ikuti secara cermat.
Dengan sistem pemerintahan yang sentralistik pimpinan Soeharto saat itu, Iklil kemudian melanjutkan pendidikan Tingkat Tinggi-nya di Universitas Muhammadiyah Jakarta. Di lembaga pendidikan yang berbasis Islam ini ia memilih Fakultas Hukum dengan Jurusan Hukum Perdata dan berhasil lulus pada tahun 1988. Yang menandatangani Izajahnya adalah Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta saat itu Dr. H. Kusnadi dan Koordinator Kopertis Wilayah III Prof. Dr. S. Somadilzarta.
Pada tahun-tahun ketika ia berstatus mahasiswa ia sempat melanglang buana ke sejumlah kota di Pulau Jawa, termasuk kembali ke Takengon sekedar melepas kerinduan kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya. Demikianpun ketika setelah ia berhasil meraih gelar sarjana bidang hukum, Iklil masih sempat kembali ke Takengon dan ber-reuni dengan sanak family serta sejumlah tokoh muda saat itu. Dalam tahun 1988 dari Takengon ia kembali ke Jakarta setelah singgah dan melalui sejumlah tempat dan kota sepanjang Takengon-Banda Aceh.
Setahun kemudian, tepatnya 1989 kondisi keamanan di wilayah-wilayah tertentu di Aceh mulai kurang kondusif, terlebih bagi sejumlah anak-anak tokoh perjuangan keberadaannya selalu di “awasi”. Pemerintah Repubrik Indonesia pada tahun tersebut menerapkan pola keamanan refresif terhadap aktivis dan tokoh-tokoh pergerakan Aceh. Sejak saat itu Iklil meninggalkan Indonesia bersama Musa, Ilham Ilyas Leube, Liga Dinsyah dan Bazaruddin, Dr. Muhammad Hasan Tiro memberinya tugas ke Libya.[]