TANGIS pilu keluarga, sanak saudara, dan para sahabat untuk Almarhum Iklil Ilmi Bin Ilyas Leube bukan tangisan biasa. Tangisan “cinta” itu sekaligus simbol hilangnya sosok “tempat mengadu”, hilangnya sebuah generasi pelindung dalam ruang bernama “keluarga” dan “politik santun”.
Kontek “keluarga” itu adalah simbol kecil dari tangisan besar yang bernama “Gayo”. Bang Iklil, begitu saya menyebutnya, adalah sosok fenomenal di dalam kancah politik Aceh. Dia terbilang orang yang disegani penguasa Aceh, namun dia tetap memilih sederhana, tidak terlalu mempersoalkan dirinya siapa. Cukup baginya duduk bercerita bersama rekan-rekannya di dalam sebuah warung pisang goreng di kawasan pemandian Air Panas, Bandar Lampahan.
Berkali-kali saya bertemu dengan beliau, selalu di tengah malam dan ditempat yang tidak pernah saya duga. Beberapa kali pula bertemu siang hari di Banda Aceh, dan pada akhir Mei 2015 lalu saya bertemu beliau bersama beberapa tokoh Gayo lainnya di Hasan Dek 2 Banda Aceh.
Namun bukan cerita itu yang membuat saya mentangisi kepergian Iklil Ilyas Leube. Ada beberapa hal penting dari ketiadaannya. Pertama adalah terputusnya komunikasi politik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di pesisir Aceh gengan wilayah Gayo. Walau, masih ada sosok lainnya namun tidak sama, sebab Iklil adalah refresentatif dari sejarah Gerakan Aceh Merdeka di Gayo.
Hal kedua menurut pandangan saya, Berpulangnya ke Rahmatullah Bang Iklil berarti kehilangnya dinasti politik keluarga “Tengku Ilyas Leube” yang membanggakan “Gayo” itu. “Gayo” dalam kontek global telah kehilangan “pertahanan” politik dari simbol generasi pejuang di dataran tinggi Gayo. Bang Iklil adalah sosok terakhir dari dinasti itu.
Putuslah sudah “politik santun” keluarga besar “Teungku Ilyas Leube”. Ini berarti berakhir komunikasi politik santun yang memiliki dua panah besar, yakni Gerakan Aceh Merdeka dan nasionalis Indonesia. Iklil berada di kancah itu, dimana dia harus membela ideologi politik GAM satu sisi dan menjaga ideologi nasionalisme Indonesia di disisi yang lain, sebab wilayah Tengah Tenggara memang terkenal daerah yang berpegang kuat pada nasionalisme tinggi.
Namun iklil tidak peduli pada kondisi itu, keduanya tetap terjaga. Dia tahu persis politik santun, sebab sang Ayah Ilyas Leube adalah sosok politikus sempurna, selain sukses menggagas Aceh Merdeka. Beliau juga seorang pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Disebut santun, lantaran sebagai politikus Ilyas Leube dikenal sebagai ulama dan ahli adat Gayo. Percampuran itulah yang menyebabkan keluarga “Ilyas Leube” menerapkan politik santun, baik santun dengan tata adat dan santun sesuai ajaran agama.
Selain itu, wafatnya Iklil Ilyas Leube berarti berakhir simbol politik ideologi dari Gayo. Keluarga ini, setelah sang ayah—dua putranya total terjun ke politik. Ilham Ilyas Leube, Adik kandung Iklil yang menjabat anggota DPR Aceh, dan kemudian wafat menjelang pencalonannya untuk kedua kali, persis nasib si Abang yang juga wafat jelang pencalonannya menjadi bupati Aceh Tengah untuk kedua kalinya.
Iklil Ilyas Leube adalah sosok penyaring antara pesisir dan pegunungan. Dia tidak peduli dengan segala bentuk reaksi di pesisir Aceh dan Gayo, niatnya tetap menempatkan putra terbaik Gayo untuk berada di pemerintahan, katanya untuk keseimbangan melihat pembangunan.
Sesi terakhir dirinya malah mengkuatirkan posisi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Aceh bergeser dari kancah berpengaruh dalam pembangunan Aceh. Katanya Prof Abubakar merupakan orang yang harus dipertahankan, karena kualitasnya untuk pembangunan cukup hebat, dan Abubakar Karim adalah seorang profesor yang sangat sulit dicari penggantinya. Cerita Bang Iklil itu adalah cerita terakhirnya kepada orang dekatnya, Daman.
Iklil memang orang yang tertutup, tidak mudah bercerita kepada sembarang orang. Namun gagasannya tetap mengalir bila berbicara dengan orang yang dia percayai. Beberapa kali pertemuan saya dengan beliau pada tahun 2012 lalu, total berbicara tentang komunikasi politik, dan kala itu Iklil tampil menjadi calon bupati Aceh Tengah. Dalam bahasanya, Iklil cukup antusias dengan gagasan “pembangunan” berbasis kawasan yang digagas oleh tokoh 6 Kabupaten/kota (Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Kota Subulussalam, dan Aceh Singkil) di Banda Aceh, dan dia akan mendukung itu.
Kini tentu semua tinggal cerita, Bang Iklil telah berpulang ke rahmatullah, cerita “Gayo” tentu berubah pula. Bukan hanya pada suksesi di Aceh Tengah, perubahan itu justru dalam skala besar, yakni Aceh. Kita tidak tahu apakah akan lahir “politik santun” berikutnya setelah “Dinasti Politik” Ilyas Leube tinggal cerita dan sejarahnya. Kita berharap “Gayo” tetap menjalankannya, sebab Agama, adat, dan budaya merupakan karakter hidup orang Gayo yang terjalin sepanjang sejarah. Tanpa itu, maka “Gayo” termasuk keluar dari peradapan santun yang intelek dan inovatif.
Penulis adalah Redaktur Pelaksana LintasGayo.co