Oleh : Win Wan Nur*
Mungkin banyak dari kita yang tidak menyadari bahwa hari ini, tanggal 23 Juli adalah hari anak nasional. Hari yang seharusnya diperingati dengan suka cita, kini datang dalam suasana muram.
Hari-hari belakangan ini keseharian kita banyak dijejali dengan berita tentang kekerasan pada anak, mulai dari kekerasan seksual sampai kekerasan fisik yang sampai berakibat kematian.
Belum lama ini, Indonesia digegerkan oleh peristiwa pembunuhan Engeline, bocah perempuan yang diangkat anak oleh pasangan beda kewarganegaraan. Peristiwa ini benar-benar telah menyedot perhatian masyarakat Indonesia dalam skala nasional.
Kasus yang menimpa Engeline masih jauh dari kata selesai, kita di Gayo dikejutkan dengan berita Rahmat, seorang bocah berusia 3 tahun asal Desa Simpang Lancang, Kabupaten Bener Meriah yang meninggal dunia dengan kondisi tubuh penuh lebam.
Kedua kasus ini sebagaimana juga hampir semua kasus kekerasan pada anak, selalu melibatkan orang terdekat si anak yang seharusnya mengayomi mereka dengan kasih sayang (bukan seks). Kalau Engeline diduga dibunuh oleh Ibu angkatnya. Rahmat, sebagaimana diungkapkan oleh Sri Wahyuni, seorang anggota Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Bener Meriah, diduga dibunuh oleh ibu tirinya.
Banyaknya kasus kekerasan pada anak terjadi karena kita sesegenap lapisan masyarakat bungkam dan tidak bertindak ketika kekerasan itu baru mulai terjadi. Ini bisa dilihat pada kasus Engeline yang sebenarnya kekerasan yang dilakukan orang terdekatnya sudah sejak awal diketahui oleh tetangga dan guru.
Beberapa dari kasus ini kalau melibatkan tokoh penting malah sengaja dibungkam, biasanya ini berkaitan dengan kasus kekerasan seksual yang melibatkan seorang tokoh, entah itu tokoh agama atau tokoh masyarakat.
Lebih mengerikan lagi, untuk kasus-kasus seperti ini yang melibatkan orang atau instansi yang memiliki banyak uang. Hukum dan pengadilan bisa dimandulkan paksa. Proses peradilan hanya menjadi panggung sandiwara para pengacara.
Karena itulah, tidak ada jalan lain. Untuk menghentikan berbagai kasus kekerasan ini, kita segenap lapisan masyarakat harus peduli. Di negara ini, hanya tekanan dari orang banyak yang bisa mengubah keadaan. Membiarkan Sri Wahyuni dan rekan-rekan dari P2TP2A berjuang sendirian tidak akan bisa menghentikan bencana.
Kasus Engeline adalah contoh nyata. Tanpa partisipasi masyarakat luas, kasus ini mungkin sudah hilang dan pelakunya hanya akan mendapat hukuman ringan.
Tapi masyarakat tidak diam, terus memberi tekanan tanpa henti. Tekanan ini tidak harus berupa demonstrasi atau maki-maki. Contohnya pematung Made Supena, memberikan tekanan dengan cara menggelar pameran instalasi “Solitude to The Child”. Di acara yang diselenggarakan pada Selasa, 30 Juni 2015 yang juga mengundang LG.co ini. Sang perupa menampilkan wajah-wajah sedih anak dalam bentuk patung kayu. Cara protes seperti ini membawa isu kekerasan anak ini ke dimensi yang lebih luas.
Dengan tekanan yang masif seperti ini, pihak penegak hukum yang awalnya seperti hendak bermain-main akhirnya mau tidak mau harus serius menangani kasus ini.
Mengingat begitu banyaknya kasus kekerasan pada anak di sekitar kita. Kiranya, inilah saatnya untuk kita seluruh lapisan untuk menunjukkan rasa peduli. Agar kasus-kasus seperti ini tidak lagi terjadi atau paling tidak diminimalisasi terjadinya di bumi Gayo tercinta.
Sebab kalau ini terus dibiarkan, dampaknya akan sangat mengerikan lagi. Kalau anak-anak korban kekerasan itu selamat (contohnya ibu angkat Engeline yang merupakan korban kekerasan ketika kecil), kelak korban mereka akan mencari korban baru. Ini menjadi berantai dari generasi ke generasi.
Agaknya pada momen Hari Anak Nasional ini, kita perlu merenungkan ucapan Hartanto, dari Balimangsi Foundation, salah seorang penggagas diadakannya pameran seni rupa untuk melawan kekerasan pada anak ini.
“Anak-anak itu butuh perlindungan dan kasih sayang. Tapi kenyataannya ada arogansi orang dewasa terhadap anak-anak ini tanpa memikirkan perasaan mereka.” []