Standarisasi Pengadaan di Sektor Swasta dalam Menghadapi Kebijakan MEA

oleh

Oleh : Sabela Gayo, S.H, M.H, Ph.D*

Sabela Gayo
Sabela Gayo

Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah hanya mengatur ruang lingkup pengadaan barang/jasa di lingkungan Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN/APBD dan Pengadaan barang/jasa untuk investasi di lingkungan Bank Indonesia, BHMN, BUMN/BUMD yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD. Selanjutnya, Pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari pinjaman atau hibah dalam negeri yang diterima pemerintah dan/atau pemerintah daerah dan pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dananya berasal dari Pinjaman/Hibah Luar Negeri (PHLN).

Tetapi Pasal 2 (4) memberikan peluang penggunaan tata cara pengadaan yang disepakati oleh kedua belah pihak jika terdapat perbedaan antara tata cara pengadaan pemerintah dengan tata cara pengadaan pemberi pinjaman/hibah luar negeri.

Dengan adanya peluang yang diberikan oleh Pasal 2 (4) tersebut maka terdapat minimal 3 (tiga) poin penting yang harus ditelaah lebih lanjut yaitu khususnya mengenai numenklatur “perbedaan”, “sebagian atau seluruhnya” dan “tata cara pengadaan”.

Jika terdapat perbedaaan maka pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruh dananya berasal dari Pinjaman/Hibah Luar Negeri (PHLN) dapat menyepakati tata cara pengadaan mana yang digunakan dalam melakukan proses pengadaan barang dan jasa. Tidak ada ketentuan lebih rinci mengenai sejauh mana perbedaan yang diperbolehkan menurut Perpres No.54 Tahun 2010, misalnya apakah perbedaan tersebut mengandung tata cara pengadaan barang/jasa yang lebih transparan dan akuntabel dibandingkan tata cara pengadaan barang/jasa pemerintah yang diatur oleh Perpres No.54 Tahun 2010. Kemudian numenklatur “sebagian atau seluruhnya”, kata “sebagian” yang dimaksud apakah 50% dari total dana PHLN atau dibawah 50% dari total dana PHLN. Hal ini juga belum diatur secara rinci di dalam ketentuan pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah.

Selanjutnya belum adanya batasan atau parameter mengenai apakah “tata cara pengadaan” pemberi PHLN tersebut lebih baik atau tidak dibandingkan dengan tata cara pengadaan barang/jasa pemerintah sehingga tata cara pengadaan itu yang digunakan dalam proses pengadaan barang/jasa. Bahkan belum ada aturan pelaksana tentang bagaimana mekanisme terjadinya “kesepakatan” penggunaan tata cara pengadaan bagi proses pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruh dananya berasal dari PHLN tersebut.

Kemudian dengan adanya penggunaan “tata cara pengadaan asing” atau tata cara pengadaan yang berbeda dengan apa yang berlaku di Indonesia apakah sudah memenuhi asas kedaulatan negara dan kedaulatan hukum di Indonesia? dan sejauh mana “local content” diakomodir dalam proses pengadaan barang/jasa tersebut?. itu adalah sejumlah pertanyaan besar yang belum terjawab sampai hari ini.

Beberapa poin diatas merupakan sekelumit persoalan pengadaan barang/jasa yang harus segera ditur oleh pemerintah karena pada Desember 2015 ini, Indonesia akan menghadapi pemberlakukan kebijakan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang memerlukan standarisasi terhadap berbagai aspek bisnis khususnya pengadaan barang/jasa.

Apalagi pemerintah juga sudah memiliki mekanisme pembiayaan alternatif pembangunan melalui Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS) atau Public-Private Partnership (PPP). Mekanisme pembiayaan alternatif itu tentunya ke depan akan semakin populer di lingkungan K/L/D/I jika iklim investasi di Indonesia semakin kondusif. Sehingga diperlukan pengaturan yang ketat mengenai proses pengadaan barang/jasa yang sumber dananya berasal dari KPS/PPP.

Standarisasi pengadaan barang/jasa bagi sektor swasta mutlak diperlukan dalam rangka meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengadaan barang/jasa di sektor swasta, meminimalisir trerjadinya transaksi-transaksi keuangan ilegal, meminimalisir terjadinya upaya pencucian uang (money laundering) dan memberikan akses yang sama bagi semua penyedia barang/jasa terhadap penawaran pekerjaan yang ada di suatu instansi swasta tertentu. Selain pentingnya standarisasi, mekanisme pengawasan dan evaluasi berkala juga harus dilakukan oleh lembaga independen yang kredibel dan akuntabel dalam mengawasi dan mengevaluasi proses pengadaan barang/jasa di semua sektor swasta di Indonesia.

Salah satu upaya agar tercapainya standarisasi pengadaan barang/jasa di sektor swasta adalah dengan melakukan sertifikasi terhadap pengelola atau pejabat pengadaan barang/jasa agar mereka memilik standar kompetensi yang sama dalam mengelola pengadaan barang/jasa di unit kerjanya masing-masing.

Sertifikasi dimulai dari pelaksanaan pelatihan-pelatihan terstruktur mengenai pengadaan barang/jasa yang difasilitasi oleh perusahaan/instansi swasta yang bersangkutan dan kemudian secara berkala, lembaga independen yang kredibel melakukan proses pengawasan dan evaluasi terhadap proses pengadaan barang/jasa yang berlaku di masing-masing perusahaan/instansi swasta. Hal ini penting dilakukan karena perusahaan/instansi swasta yang secara rutin melakukan proses pengadaan barang/jasa jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan Satuan Kerja yang ada di lingkungan K/L/D/I sehingga tingkat transparansi dan akuntabilitasnya minimal harus setara dengan yang berlaku di K/L/D/I. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.