Oleh : Khalisuddin

ANGKUTAN air berupa perahu tradisional di Danau Lut Tawar diduga kuat sudah ada sejak ribuan tahun silam. Hal ini berdasarkan temuan alat batu berupa pahat oleh arkeolog Balai Arkeologi Medan di Loyang (gua) Mendale Kebayakan Takengon Aceh Tengah yang terpaut hanya beberapa meter dari tepi danau tersebut.
Menurut arkeolog Ketut Wiradnyana pertengahan Juni 2015, ada 2 pahat dari batu yang diduga kuat untuk membuat perahu digunakan oleh manusia yang pernah tinggal di Loyang Mendale ribuan tahun silam.

Lalu kapan boat (kapal) mulai beroperasi di danau Lut Tawar?. Menjawab pertanyaan ini seorang saksi sejarah yang berdomisili di Boom Takengon Aceh Tengah H. Abdul Kadir Wahid Aman Ummi menyatakan kapal di Lut Tawar telah ada sejak Belanda menjejakkan kaki di Tanoh Gayo untuk pertama kalinya di tahun 1900-an.
Putra kelahiran kampung Bintang tahun 1942 ini menyatakan kapal buatan Belanda saat itu digerakkan dengan tenaga api yang bersumber dari kayu bakar seperti kereta api (di duga dengan tenaga uap) bukan bermesin dengan bahan bakar minyak, solar atau bensin.
Awalnya, kapal bukan sebagai sarana angkutan manusia melainkan mengangkut getah terpentin yang di deres dari pinus Merkusii yang tumbuh subur di sekitar danau yang terkenal dengan ikan endemiknya, Depik (Rasbora tawarensis) tersebut. Jikapun ada warga yang menumpang di kapal tersebut, maka sudah pasti punya hubungan baik dengan mereka (pihak Belanda-red).
Saat itu pelabuhan utama didirikan Belanda di sudut sisi utara keluarnya air danau Lut Tawar melalui sungai Pesangan. Pelabuhan itu dalam bahasa Belanda yang di dengar warga Gayo disebut Boom, walau arti sebenarnya pohon, versi lain menyatakan Boom berarti dermaga.
Boom yang maksudnya pelabuhan itulah yang menjadi cikal bakal daerah ini menjadi kampung Boom. Jadi bukan boom senjata ledak dalam bahasa Inggris. Mungkin juga karena pelabuhan itu dibuat dari kayu bukan beton.
Kapal-kapal itu tidak pernah menjadi alat perang dengan Pang-pang Gayo yang melawan terhadap Belanda saat itu, sepenuhnya sebagai pengangkut getah pinus yang diangkut dari pelabuhan-pelabuhan kecil diseputar danau Lut Tawar antara lain di Lelabu, Merodot, Teluk Nangka dekat Atu Telak, Mengaya, Kalang dan di One-one.

Pekerja Belanda saat itu adalah orang-orang yang didatangkan Belanda dari pulau Jawa. Mereka tinggal di bangunan-bangunan berbahan kayu yang disebut saat itu sebagai Pondok.
Jalan lingkar danau Lut Tawar hanya jalan setapak, belum ada akses yang bisa dilalui oleh berbagai jenis kenderaan bermotor seperti sekarang ini. Angkutan warga Gayo saat itu adalah perahu tradisional atau berjalan kaki dari satu kampung ke kampung lain di seputar danau Lut Tawar.
Waktu tempuh dengan perahu yang dikayuh dengan bantuan layar dari Bintang hingga Takengon memakan waktu lebih lama ketimbang dari arah Takengon menuju Bintang. Sebabnya karena angin selalu berhembus dari arah Takengon yang memakan waktu lebih kurang 2 jam perjalanan.
Jika sedang terjadi Kuyu ni Depik (angin musim ikan Depik) makan waktu tempuh bisa lebih singkat lagi. Sementara jika dari arah Bintang, bisa memakan waktu hingga 4-5 jam, tanpa bisa dibantu dengan layar.
Setelah Belanda hengkang dari Gayo di tahun 1942, baru muncul kapal lain yang digerakkan dengan tenaga diesel berbahan bakar solar. Namun di zaman Jepang tidak ada atau belum ada kapal tersebut.

Di tahun 1950, seorang warga pemukiman yang berjarak sekitar 28 kilometer arah timur kemukiman Bintang, kampung Serule bernama Reje Nawar Serule membuat sebuah perahu (kapal-red) dengan muatan sekitar 20 orang bertenaga mesin Diesel yang berbahan bakar solar. Kapal milik Reje Nawar ini sudah mulai menjadi sarana angkutan warga saat itu dan dikenakan ongkos dengan perjalanan pelayaran utama dari Bintang menuju Takengon dan sebaliknya. Saat itu H. Abdul Kadir Wahid duduk di bangku kelas IV Sekolah Rakyat (SR) di Takengon.
Setelah itu, karena dinilai diperlukan oleh warga, maka muncul kapal dengan nama Gadjah Mada yang dibuat Aman Mursal, warga Bintang. Selanjutnya kapal Kala Laut di Kala Kebayakan dengan pemilik Tok Lancing.
Keterangan Abdul Kadir dilengkapi Agussalim, seorang mantan awak kapal dan nakhoda kapal Musara yang ditemui di rumahnya di Tetunyung Takengon, Minggu 19 Oktober 2014 menyatakan pernah ada kapal bernama Peteri Ijo, kapal Musara milik Ismail warga Boom Takengon, dari Toweren ada kapal Rajawali milik Aman Sumar, dan kapal terakhir yang di buat di Nosar bernama kapal Pesisir.
Pembuat kapal terkenal bernama Kalo, warga Mengaya Kecamatan Bintang yang selain Kalo ada seorang pembuat kapal lainnya di Kebayakan. Menurut Agussalim yang ikut menjadi awak kapal di usia 17 tahun, pembuat kapal bernama Kalo memang sangat terkenal saat itu. Kapal yang dibuatnya sangat kuat, tidak oleng dan saat melaju lebih ringan dibanding buatan orang lain. Bahannya berupa kayu Damar Laut didatangkan dari pesisir Aceh.

Kapal-kapal ini tidak menggunakan pelabuhan yang dibuat oleh Belanda berbahan kayu. Sebuah Dermaga dibangun oleh pemerintah Aceh Tengah di kampung Boom pada tahun 1954.
Dalam perjalanan dari Boom Takengon menuju Bintang, kapal-kapal penumpang dan barang di Lut Tawar biasanya menyinggahi sejumlah tempat, di Toweren, Rawe, Nosar, Mengaya dan Kelitu. Pembayaran ongkos saat itu sudah dengan uang, tidak dengan barang.
Sekitar tahun 1952 aktivitas jual beli barang berupa beras, tembakau, kayu bakar pinus dan lain-lain sudah terjadi di Boom Takengon. Saat itu aktivitas perdagangan seperti di jalan Peteri Ijo atau Paya Ilang sekarang sudah terjadi di Boom,

Kapal Musara
Kapal Musara merupakan kapal terakhir yang pernah beroperasi di danau Lut Tawar sebelum munculnya kapal moderen milik Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah bernama KM. Laut Tawar di tahun 2000-an.
Kapal milik Alm. Ismail Ali warga kampung Boom ini sempat melayani penumpang dan mengangkut barang dari Kecamatan Bintang ke Takengon dan sebaliknya. Menurut Terminah Inen Ris, istri Alm.Ismail Ali kapal Musara mulai beroperasi di masa pemberontakan DI/TII di Aceh Tengah (1950-an). Dibuat di Bintang oleh Kalo atas permintaan mertuanya. Kapal tersebut kemudian diwariskan kepada suaminya di tahun 1970-an.
Untuk memudahkan operasional kapal itu, di tahun 1972 mereka membeli rumah berdampingan dengan dermaga di Boom Takengon dan melabuhkannya di samping dermaga yang dibangun kontraktor Abi beretnis Cina tersebut.
“Bisa dikatakan biaya pendidikan anak-anak kami dari kapal Musara sebelum mulai berkebun kopi di Bur Telege (Bur Gayo-red),” kata Terminah. Selain menakhodai kapal, Ismail juga menjadi pedagang pengumpul beras dari petani di sekitar danau, juga membeli kayu bakar yang kemudian dijual lagi di Takengon.
“Dulu pelabuhan Boom ini sudah menjadi pusat perdagangan seperti di pasar pagi sekarang,” kata ibu dari 6 orang anak ini.

Setelah dibukanya jalan lingkar Danau Lut Tawar dari sisi Selatan, penumpang kapal mulai berkurang, namun permintaan warga Takengon masih tetap ada, untuk berwisata beramai-ramai mengitari danau saat libur sekolah atau saat lebaran Idul Fitri dan Idul Adha. Ongkosnya saat itu Rp.40 ribu. Usaha jasa wisata ini masih berjalan hingga tahun 1997.
Jalan lingkar Danau Lut Tawar
Pembukaan jalan lingkar sisi selatan danau Lut Tawar tak lepas dari janji politik partai Golkar di Pemilu 1971-1977. Menurut H. Abdul Kadir Wahid yang menjadi guru di Lampahan (1969-1972). Tahun 1974 akhir Kecamatan Bintang dibentuk dan Abdul Kadir dipindahkan dengan posisi sebagai kepala Pembangunan Desa (PMD) Kecamatan Bintang dengan Camat pertama Isa Husin yang selanjutnya digantikan Camat Gopok. Saat itu, Abdul Kadir juga merangkap sebagai petinggi Golkar di Kecamatan Bintang.
Saat Pemilu 1971-1977, warga Bintang memenangkan 85 persen Golkar dengan harapan segera dibuka jalan ke daerah tersebut. Keinginan ini direspon petinggi Golkar Aceh Tengah AR. Latif (Latif Renggali). “Dipimpin Gopok, kami kemudian mengerahkan masyarakat bergotong royong membuka jalan dari Bintang hingga Ujung Sere yang menjadi batas Kecamatan Bintang saat itu, keinginan kami Bintang bisa dilalui kenderaan bermotor,” ungkap Abdul Kadir.

Lebih kurang sejemat (sebutan masyarakat Gayo untuk 7 hari) masyarakat bergotong royong dengan membawa perlengkapan menginap dan memasak. Kapal di Lut Tawar masih beroperasi saat itu, biaya gotong royong sedikit dari kas PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa) dan sebagian besarnya sumbangan masyarakat. Akses jalan dari Takengon hanya sampai Toweren, itupun belum bisa dilalui mobil, hingga kampung Pedemun saja.
Gotong royong pembukaan jalan juga dilakukan oleh warga Kecamatan Kota dari Kampung Toweren dan Rawe. Keinginan ini dimulai saat akhir jabatan Bupati Aceh Tengah yang dijabat Nurdin Sufi (1970-1975) dan dimulai saat awal-awal M. Beni Banta Cut, BA sebagai Bupati periode 1975-1985.
Bupati Nurdin Sufi sempat datang saat kami bergotong royong. Setahun kemudian pembukaan jalan itu dilanjutkan dengan dana dari Provinsi.
Seiring dibukanya jalan itu yang dilanjutkan dengan pengaspalan, penggunaan kapal sebagai sarana transportasi mulai tersingkir. []