Oleh : Sofyan Griantara*
FENOMENA degradasi Bahasa Ibu dewasa ini terjadi dibanyak etnis terutama dikalangan suku-suku bangsa yang berpopulasi sedikit (menurut para ahli, yang dituturkan oleh kurang dari 500 ribu penutur) dengan karakter budaya yang bersifat lebih permisif terhadap budaya luar atau dalam kehidupan kesehariannya banyak berinteraksi secara aktif dengan suku bangsa lainnya yang populasinya lebih dominan.
Beda halnya dengan suku bangsa primitif yang tertutup seperti suku Yamomani dan Suku Carabayo di Amazon, Suku Pano Dilect di Brazil, Suku Sentineles di Afrika, Suku Polahi di Gorontalo, Suku Togutil di Halmahera, Suku Dani, Suku Bauzi dan Suku Korowai di Papua. Kelestarian bahasa Ibunya jauh lebih terpelihara karena seluruh warga suku itu menuturkannya ketika berinteraksi dalam keseharian diantara sesama mereka dan hampir tak pernah mendengar penuturan bahasa lain diluar bahasa mereka sendiri, karena habitat kehidupannya memang terisolir dari pranata dunia luar dan kehidupan modren.
Bahasa Gayo sebagai bahasa Ibu-nya suku Gayo yang secara historical teritorial menetap di kawasan punggung Bukit Barisan mulai dari Kalul di Aceh Tamiang hingga Lawe Sigala Gala di Aceh Tenggara dengan populasi saat ini lebih kurang 1.000.000.- orang (belum ada penelitian khusus yg mengkalkulasi jumlahnya secara tepat) dan sebahagian kecil diantara populasi itu hidup menetap di Perantauan terutama di kota-kota besar di Sumatra, di Jawa dan di pulau Pulau lain di Indonesia bahkan di Mancanegara tidak terlepas dari ancaman kepunahan dimasa yang akan datang.
Gejala ini dapat diamati dari tatacara dan tata kerama orang Gayo itu sendiri ketika berintraksi sehari-hari walaupun komunikasi itu terjadi sesama orang Gayo sendiri, banyak diantara mereka yang berbahasa Indonesia atau bahasa lain selain bahasa Gayo. Ini terjadi dikalangan orang dewasa dan yang lebih masif lagi di kalangan anak-anak serta remaja. Ironisnya lagi sudah ada diantara mereka yang tidak bisa lagi berbahasa Gayo sehingga jika diajak berkomunikasi dalam bahasa Gayo mereka hanya senyam senyum saja dan tidak mengerti maknanya.
Fakta ini bukan saja didapati di kalangan orang Gayo di perantauan tapi yang membuat kita miris justru terjadi di Tanoh Tembuni Bumi Gayo sendiri. Kenapa hal ini bisa terjadi ? Ternyata ada prilaku baru dikalangan pasangan-pasangan muda di Gayo, di mana anak-anaknya sejak lahir telah diajari dan dididik berbahasa Non Gayo bahkan sama sekali tidak diciptakan nuansa Gayo dalam berkomunikasi di keluarga itu, walaupun Bapak Ibunya ketika bertutur dalam Bahasa Indonesia masih “tirul- tirul”. Seolah-olah ada kebanggaan (Gengsi) tersendiri bagi mereka bila anaknya fasih berbahasa Indonesia dan malu kalau anaknya hanya bisa berbahasa Gayo.
Kenyataan di atas terjadi juga pada diri kami sendiri. Sebagai perantau dengan istri yang juga telah lahir dan besar di rantau yang melahirkan dan membesarkan anak di perantauan, keluarga kami juga menggunakan Bahasa Indonesia dalam keseharian sehingga bahasa Gayo menjadi tutur kata yang masih asing di telinga ketiga anak-anak kami karena diperdengarkan mungkin hanya sekali dalam seminggu.
Bila kita (sebagai Orang Gayo) berkeinginan agar bahasa Gayo tetap lestari hingga kapanpun dimuka bumi, tidak perlu kita mencari cari kesalahan atau siapa yang akan dipersalahkan dalam menyikapi fenomena ini. Namun lebih tepat kita mengajak semua komponen Urang Gayo atau siapa saja yang perduli dengan Bahasa Gayo untuk sama-sama berupaya melestarikannya. Bisa jadi kita buat program-program kegiatan “Perduli Bahasa Gayo” Menjadikan Bahasa Gayo sebagai Kurikulum “Mulok” di sekolah-sekolah atau menyebarkan banyak stiker dan spanduk yang menyerukan ajakan “Mari Berbahasa Gayo” atau aktivitas lain yang semacam itu.
Akan tetapi menurut saya tidak ada cara lain yang lebih tepat selain mengajak diri kita sendiri dan keluarga terdekat kita untuk terlebih dahulu mempraktekkannya langsung ketika berintraksi dalam komunikasi sehari-hari. Memulai dan menerapkannya tidak terlalu sulit, semua hanya tergantung pada keinginan yang konsisten dan metode sederhana yang secara disiplin dijalankan. Mengadopsi dari metode yang diterapkan di kursus yang saya dan anak saya pernah ikuti, untuk memperlancar penguasaan bahasa inggris maka di hari-hari tertentu kepada para siswa dilarang menggunakan bahasa apapun kecuali bahasa Inggris dan mereka menyebutnya dengan “English Day”. Ternyata metode ini cukup efektif untuk meningkatkan kemampuan conversation kami dan memperkaya vocabulari dari hari kehari.
Saya dan anak -anak kemudian mensepakati metode yang sama untuk diterapkan dirumah, kami membagi 7 hari dalam seminggu kedalam 3 cara bahasa berkomunikasi, yaitu Senin dan Rabu berbahasa Inggris yang kami sebut dengan “English Day’s” hari Selasa dan Jumat menggunakan Bahasa Gayo yang kami sebut dengan “ Lao Gayo” sementara hari Kamis, Sabtu dan Minggu adalah hari bebas untuk berbahasa apa saja.
Pada mulanya hari-hari bebas mereka lebih memilih berbahasa Indonesia namun lama kelamaan mulai terjadi percampuran bahasa secara bergonta ganti tergantung situasai yang ada, namun dari pengalaman yang ada memang penggunaan bahasa Gayo sangat sedikit. Mungkin karena dipengaruhi juga oleh lingkungan sekitar yang umumnya menggunakan bahasa Indonesia, juga lingkungan sekolah mereka yang hanya mengenal bahasa indonesia dan bahasa Inggris. Adapun lingkungan berbahasa Gayo hanya di rumah saja.
Ada sedikit Punishment untuk patuh menggunakan bahasa pada hari English Day’s atau Lao Gayo terutama bila salah seorang bermaksud meminta, mengajak atau menyuruh sesuatu maka maksud dan tujuannya tidak akan dituruti bila tidak disampaikan dalam bahasa yang disepakati. Ini akan memaksa anak-anak untuk mencari kosa kata dan kalimat yang tepat serta berdisiplin dalam berkomunikasi. Biasanya mereka akan bertanya pada neneknya terlebih dahulu, SMS pada Paman dan Bibinya atau saling berbisik- bisik dulu sesamanya.
Kami sadari hingga saat ini memang hasilnya belum memadai terutama penguasaan anak-anak tentang bahasa Gayo progresnya sangat lamban, beda halnya dengan English Day’s semakin hari mereka semakin lancar. Namun kami rasa upaya ini sebuah langkah awal yang tepat dan harus dimulai sejak dini bila kita tidak ingin memiliki generasi yang asing dengan bahasa ibunya sendiri.
“Takkan Hilang Gayo di Bumi”.[]
*Redaktur senior LintasGayo.co