KPA, Akankah Membawa Manfaat Bagi Gayo?

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

wwnPADA awal masa kemerdekaan, sejarawan M. Junus Djamil mengumpulkan banyak sekali data tentang kisah-kisah di Aceh yang tertulis dan juga kisah Gayo yang diceritakan dari mulut ke mulut. Kemudian pada satu waktu dia mengklaim bahwa dia telah menemukan satu dokumen penting yang menerangkan garis keturunan raja Aceh dari tahun 1078, di Aceh Timur. Memfotokopinya dan hilang pada tahun 1950. Dokumen itu adalah “Hikayat Raja-Raja Pasai”.

Pada tahun 1978, 1980 dan 1986. Ali Hasjmy, mantan Gubernur Aceh yang saat itu memangku jabatan ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) melakukan serangkaian seminar sejarah Aceh di Takengen. Tujuan dari seminar ini adalah menggali ‘bukti-bukti’ sejarah yang pada gilirannya diharapkan bisa mempersatukan Aceh.

Dan ‘bukti’ sejarah yang dimaksudkan untuk mempersatukan Aceh itu adalah argumen-argumen sejarah versi Djamil sebagaimana disampaikan di atas.

Atas dasar dokumen yang katanya dia temukan dan kemudian hilang itu, M Junus Djamil menuliskan bahwa pendiri Kerajaan di Gayo adalah anak keturunan raja-raja Aceh di pesisir. Dalam sejarah versi Djamil ini, tidak ada pemisahan wilayah antar Gayo dan Aceh. Juga tidak ada pemisahan etnis. Singkatnya Gayo secara etnis dan budaya sebenarnya tidak ada, yang ada hanyalah satu masyarakat yang merupakan sub-etnis Aceh.

Dalam seminar itu, semua sejarah versi Gayo dinafikkan. Tidak ada penelitian ilmiah yang mendasari klaim yang mereka sampaikan. Semua hanya berdasarkan pada dokumen yang katanya ditemukan oleh Djamil dan kemudian hilang.

Sejak saat itu sampai hari ini, mulai dari orang-orang yang mengaku sejarawan bahkan sampai orang awam di Aceh terus dan masih menggunakan sejarah versi ‘Djamil- Hasjmy’ ini sebagai rujukan dalam memandang relasi antara Gayo dan Aceh.

Tanggal 28 Juni 2015 di Jakarta, semangat yang sama untuk mempersatukan Aceh ini kembali mengemuka. Dalam acara diskusi terarah atau Focus Group Discussion (FGD) yang merupakan rangkaian Kongres Peradaban Aceh (KPA) yang berlangsung di Hotel Arya Duta Jakarta.

Dari informasi yang kita dengar dari para inisiator kegiatan ini. Baik yang berasal dari Aceh maupun dari Gayo. Acara ini dilakukan dengan penuh persaudaraan. Didanai dengan merogoh kantong masing-masing. Tema dari acara konon adalah untuk memperkuat bahasa-bahasa lokal di Aceh yang tidak kurang dari 10 bahasa.

Secara tema, tentu saja acara acara ini cukup menarik. Tapi ada satu ganjalan yaitu kehadiran Wali Nanggroe (WN), sosok dan institusi yang meniggalkan luka mendalam bagi Gayo dan suku-suku minoritas lain. Banyak orang Gayo yang masih belum bisa melupakan bagaimana keras kepalanya penyusun Qanun WN untuk memasukkan syarat kewajiban bisa berbahasa Aceh. Protes atas Qanun itu sendiri dulu sempat berdarah-darah dan meninggalkan Gayo dan suku-suku minoritas lain sebagai pihak yang kalah. Pihak yang dipaksa menerima apa yang sudah diputuskan oleh tim penyusun. Tanpa perlu ditanyai pendapatnya.

Konon di dalam acara diskusi di Jakarta kemarin, Wali Nanggroe yang diundang datang banyak ‘di hajar’ oleh para peserta.

Menurut Yusradi Usman Al –Gayoni, salah satu peserta asal Gayo. Dalam kongres nanti, WN yang tidak diterima orang Gayo tidak akan di undang. Tidak akan ada pembahasan soal bendera. Melainkan murni membahas peradaban dan bahasa-bahasa lokal.

Jadi secara ide rencana kongres yang bertujuan untuk memperkuat bahasa-bahasa lokal di Aceh ini sangat bagus. Apalagi penyelenggaraannya direncanakan akan berlangsung di Takengen. Ini akan memberi manfaat lebih bagi Gayo. Semua terlihat begitu sempurna.

Tapi apapun yang ada di dunia ini, ketika itu terlihat terlalu sempurna kita harus memandangnya dengan kritis. Benarkah ini akan menguntungkan Gayo?.

Contohnya dalam kasus KPA ini, meski informasi dari pihak peserta dari Gayo tampak begitu sempurna. informasi yang kita dapat tentang keterlibatan WN kita dapat dari peserta asal Aceh berbeda. Mustafa Ismail misalnya mengatakan apa salahnya WN datang, karena dia memang membawahi seluruh budaya yang ada di Aceh. Reza Vahlevi, seorang inisiator lain malah bersuara lebih keras. “Kalau Gayo tidak mau menerima WN dan tidak mau mengaku Aceh. Silahkan kembalikan dana Otsus yang sudah diterima”, katanya dengan lugas.

Bahkan Putra Matang Geulumpang Dua ini sepertinya sangat gelisah melihat kenyataan Wali Nanggroe ditolak sementara kalangan di Gayo, mengatakan “Kongres nanti akan dijaga oleh Paspampres dan Din Minimi. Siapa yang berani menghalangi?”

Dua pernyataan yang berbeda ini tidak bisa tidak membuat kita bertanya-tanya benarkah tidak ada agenda tersembunyi dalam kegiatan ini?. Benarkah ini bukan jebakan ‘Batman’. Kongres ini digambarkan seolah untuk memperkuat bahasa lokal, tapi sebenarnya justru akan dimanfaatkan sebagai ajang klaim terhadap penerimaan posisi WN sebagai wali-nya seluruh warga Aceh, apapun etnisnya.

Mari kita berkaca pada pengalaman tahun 1986. Bagaimana seminar yang dilakukan di Gayo, justru digunakan oleh para penyelenggara untuk menafikkan keberadaan Gayo sendiri. Seminar yang dilakukan di Gayo justru digunakan untuk menjustifikasi ‘fakta’ bahwa Gayo itu sebenarnya tidak ada, Gayo hanyalah satu sub-etnis yang ada di Aceh, yang tidak terlalu penting dibahas keberadaannya.

Kenyataan lain yang begitu terang-benderang yang membuat kita perlu waspada adalah; kecenderungan untuk menyelewengkan satu peristiwa budaya atau seminar seperti ini untuk menjadi klaim dan propaganda untuk menegaskan power dan dominasi satu etnis tertentu bukanlah sesuatu yang tabu dilakukan di Aceh.

Setelah apa yang dilakukan oleh Ali Hasjmy pada tahun 1986. Tentu masih segar dalam ingatan kita, bagaimana ‘Gayo Women Art’ yang begitu memukau menjadi rusak dan kehilangan pesonanya di mata sebagian dari kita karena tiba-tiba muncul foto Wali Nanggroe. Belakangan peristiwa ini dimanfaatkan sebagian kalangan di pesisir untuk membuat propaganda, seolah-olah Wali Nanggroe sebenarnya didukung oleh mayoritas orang Gayo. Hanya segelintir manusia yang tidak menerima keberadaannya.

Ini jelas menimbulkan ketidaknyamanan dan gejolak di sementara kalangan di Gayo. Meski sekarang suasana terlihat sudah tenang, tapi bukan berarti masalah ini sudah selesai. Masih ada ‘luka’ yang belum disembuhkan.

Jadi, lungi enti tir idoloten. Pit enti tir iloahen.

Jangan sampai, sebelum kongres diadakan. Gayo bermimpi menjadi etnis yang diposisikan setara di Provinsi Aceh. Tapi sehabis acara, justru diklaim telah sepenuhnya tunduk tanpa perlawanan.[]

*Salah seorang Deklarator Dewan Adat Gayo.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.