[Tinjauan Buku] Perempuan Berjangkat Utem

oleh

[Tinjauan Buku]

Perempuan Berjangkat Utem Reaktualisasi Kekayaan
Nilai Dan Gender Dalam Budaya Gayo

Zuliana Ibrahim*

Judul Buku : Perempuan Berjangkat Utem
Penulis : Salman Yoga S, Vera Hastuti & Irama Br Sinaga
Penerbit : The Gayo Institute (TGI) Takengon
Tahun Terbit : 2015
Penerjemah : Aman Ine Salvani Renggali
ISBN : 978-602-14255-2-7

COver Berjangkat Utem

Eksistensi tema lokalitas masih dan akan selalu menjadi daya tarik dari kelahiran sebuah karya sastra di tengah-tengah euforia sastra urban. Sebagai cermin kehidupan, karya sastra kerap dihubungkan dengan suatu integritas budaya dan ideologi pengarang. Pengarang/penulis mengusung karyanya untuk bisa menjadi sebuah dokumen, potret kenyataan sosial (sosiologi sastra).

Antologi cerpen “Perempuan Berjangkat Utem” merupakan kesekian dari buku karya sastra yang menghadirkan unsur lokalitas. Meski begitu, salah satu yang membuatnya berbeda dari antologi cerpen lainnya adalah antologi ini ditulis dalam dua bahasa yakn,i bahasa Indonesia dan bahasa Gayo. Hal ini tentu menjadi nilai lebih terhadap buku ini, sebuah karya sastra kontemporer umumnya hanya menyerap beberapa kata dalam bahasa daerah, namun pada antologi “Perempuan Berjangkat Utem” keseluruhan cerpen justru diterjemahkan ke dalam bahasa Gayo. Tentu selain menjadi upaya memperkenalkan dan melestarikan bahasa Gayo itu sendiri, juga memberikan ruang bagi pembaca untuk bisa sekaligus belajar bahasa Gayo. Baik verbal maupun tulisan.

Memuat dua belas cerita pendek 9Cerpen) dari tiga orang cerpenis/penulis; Salman Yoga S, Vera Hastuti dan Irama Br Sinaga. Masing-masing cerpenis dengan cara yang berbeda melahirkan karyanya. Sebagai yang lebih senior, Salman Yoga S tampak lebih mumpuni dalam karya-karyanya, “Namaku Anu…!” dan “Pengantin Harimau” adalah dua cerpen yang menunjukkan kematangannya dalam bersastra, menuntun pembaca untuk mampu menganalisa cerpen tersebut secara pragmatik.  Selain itu, cerpen Salman yang lain berjudul “Kotak Kiriman Inen Muftiyah ke Ketol” dan “Perempuan Berjangkat Utem” merupakan etalase kehidupan nyata yang begitu dekat dengan pembaca, apalagi bagi seorang single parent yang susah payah menghantarkan pendidikan anaknya ke jenjang yang tentunya lebih tinggi darinya. Antologi ini benar-benar kaya akan pengalaman batin. Kekayaan itu bisa pula kita nikmati dari cerpen-cerpen Vera Hastuti.

Ditinjau dari segi unsur intrinsik, tokoh-tokoh yang dihadirkan Vera dalam cerpen-cerpennya dalam antologi ini semua dihadapkan pada kegelisahan. Baik kegelisahan sosial maupun individual. Kegelisahan-kegelisahan tersebut pada umumnya begitu dekat dan sering dialami oleh pembaca. Diantara cerpen tersebut antara lain kegelisahan seorang ibu terhadap anaknya yang terdapat pada cerpen berjudul “Póléh” dan “Keresahan Hati Emak”,  atau sebaliknya kegelisahan anak terhadap ibunya seperti pada cerpen “Antara Naik Haji Ibu atau Mahar Calon Istri”, atau kegelisahan anak terhadap keluarganya yang terdapat dalam cerpen “Ramadhan Tanpa Ayah” dan kegelisahan tokoh Genali terhadap lingkungannya dalam cerpen “Kenangan di Jembatan Bale”.

Entah disadari atau tidak, agaknya Vera terjebak dalam pergulatan batin yang sama pada tiap tokoh-tokoh yang ia lahirkan, namun sedianya cerpen-cerpen ini menjadi suatu pencangkokan batin yang menganut amanat begitu fundamental.

Berbeda dengan Irama Br Sinaga, dalam antologi yang hanya memuat dua cerpennya yakni cerpen berjudul “Ada Umak Dalam Skripsiku” dan “Mimpi Menjadi Anggota DPR Dengan Tim Sukses Dunia Akhirat”.  Cerpen karya Irama adalah cerpen yang cukup sederhana. Irama tampaknya menggunakan pengalaman pribadinya untuk dikemas menjadi sebuah cerpen. Dibandingkan cerpen Salman dan Vera, cerpen Irama masih begitu realistik. Meskipun begitu, cerpen karya Irama ini mampu memberikan sisi pembelajaran tentang hakikat hidup yang –sepatutnya- dibarengi usaha dan doa.

Dari dua belas cerpen dalam antologi ini, pembaca disuguhkan tentang keberagaman nilai. Nilai sastra, pendidikan, sosial, adat-budaya bahkan agama. Keberagaman nilai ini menunjukan kepekaan para cerpenis/penulis terhadap lingkungan sekitarnya. Jadi pembaca laiknya mampu memetik kekayaan amanat dalam antologi ini.

Dengan design cover yang menarik, terdiri dari paduan warna biru dan cokelat kemerahan, juga menjadi daya tarik dari buku ini.  Sesuai dengan judul buku, pada depan dan belakang cover buku, terdapat gambar seorang perempuan yang tampak membawa beberapa kayu kering di punggungnya dengan ikatan tali jangkat yang dijalin dari kulit kereténg.

Berjalan membungkuk dengan sepotong tongkat di tangan kanan. Mengenakan kerudung batik kusam yang melingkar di kepalanya (seperti yang digambarkan Salman Yoga S dalam cerpennya “Perempuan Berjangkat Utem”). Secara tersirat gambar tersebut mewakili isi buku yang dominannya mengangkat cerita tentang sosok perempuan. Perempuan-perempuan perkasa yang mampu memposisikan diri menjadi tulang punggung keluarga. Kegigihannya dalam menjalani hidup sebagai seorang istri sekaligus ibu bagi anak-anaknya.  Meski kini tradisi mujangkat utem sudah mulai memudar, namun tradisi ini sejatinya memiliki konsep keterpaduan yang lekat pada diri perempuan Gayo.

Antologi “Perempuan Berjangkat Utem” patut diapresiasi keberadaannya. Kekayaan di dalam antologi ini menjadi historis tentang lokalitas Gayo yang kian hari sudah digonjang-ganjingkan dengan keberadaan modernisasi. Lokalitas merupakan gambaran sejati suatu masyarakat terutama masyarakat Indonesia yang sebenarnya hidup dengan budaya dan tradisi yang beragam melalui keanekaragaman suku-sukunya. Maka tidak berlebihan untuk mengakui “Perempuan Berjangkat Utem” adalah sebuah kekayaan masyarakat Gayo.[]

KOMPAK Gayo, Juni 2015

Zuliana Ibrahim Membacakan Puisinya ditengah ribuan penonton pada tgl 8 September 2013. (Foto. Aman Renggali)
Zuliana Ibrahim Membacakan Puisinya ditengah ribuan penonton pada tgl 8 September 2013. (Foto. Aman Renggali)

*Alumni Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.  Beberapa karyanya terbit di Medan Bisnis, Analisa, Mimbar Umum, Serambi Indonesia dan Sinar Harapan, Selain itu, juga terangkum dalam tiga belas antologi kumpulan cerpen dan puisi. Pernah meraih beberapa prestasi di bidang sastra.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.