Catatan : Darmawan Masri

Kecuali bangunan, jalan membelah gunung dan persawahan, hutan, keruk-mengeruk dan timbunan tanah yang makin mendominasi pandangan kasat mata. Yang lainnya, peninggalan muyang datu banyak yang mulai tergusur dari bumi Gayo, Depik terancam punah, grupel makin langka dan banyak lagi lainnya, termasuk Nenas Pegasing, nasibnya sama, tak lama lagi tergusur juga.
Nenas Pegasing, siapa yang tak pernah dengar ? bukan hanya di Aceh, Nenas Pegasing bahkan menjadi pesaing utama nenas asal Sumatera Utara. Cita rasa yang khas dan memiliki daya tahan yang cukup lama, menjadikan buah ini banyak di cari pedagang-pedagang buah, baik di Aceh dan Medan.
Sejak kehadiran Nenas (Ananas comosus) di hamparan Paya Sangor (wilayah yang terletak disejumlah kampung diantaranya Simpang Kelaping, Kung, Belang Bebangka, Kala Nareh, Weh Nareh dan Kayu Kul), Tanoh Gayo Aceh Tengah memiliki komoditi baru selain kopi, hortikultura dan palawija.
Sebelum dikenalkan budidaya Nenas, Paya Sangor merupakan hamparan luas yang kurang produktif. Sejak dulu hingga zaman Belanda dan terakhir diera 1960-an, sejumlah aktivitas digulirkan di tempat ini. Warga sekitar sempat menjadikannya persawahan, namun akhirnya menjadi Ume Roh (sawah terbengkalai-red), lalu muncul gagasan proyek produksi kertas. Bahkan sempat direncanakan sebagai lapangan terbang, dan kini menjadi lapangan pacuan kuda tradisional Gayo.
Barulah, sekira tahun 1970-an budidaya nenas mulai dikembangkan. Belum diperoleh informasi siapa yang memulainya. Namun lambat laun tanaman ini berkembang, hingga menjadi salah satu sumber pencaharian masyarakatnya. Banyaknya lahan kosong yang hanya ditumbuhi ilalang, dimanfaatkan masyarakat membudidayakan nenas.
Selain dengan sebutan Paya Sangor, lokasi ini juga dikenal dengan nama Blang Bebangka yang kini menjadi salah satu kampung hasil pemekaran dari Kampung Kayu Kul Kecamatan Pegasing. Di Blang Bebangka, dulunya pernah direncanakan dibangun Lapangan Terbang, hingga nama Kampung Kayu Kul pun sempat berubah menjadi Kampung Lapangan Terbang sampai ke tim sepak bola diberikan nama Lapter, tim ini sempat berjaya di era itu. Namun, entah kenapa Lapangan Terbang urung dibangun dan Kampung Lapangan Terbang kembali dengan sebutan Kayu Kul.
Lokasi tanah milik Pemerintah itu pun dimanfaatkan masyarakat sekitar menanam nenas. Kontur tanah terlihat lebih gersang, banyak batu ampar, sehingga tanaman lain dipastikan tak mampu bertahan lama. Karena itulah, sebelum ditanami nenas, lokasi ini hanya ditumbuhi ilalang.
Kenangan masa kecil dulu, saat pagi datang, ketika mata memandang, tampak bulir-bulir embun disertai kabut tebal menghiasi dedaunan yang menyerupai seperti pedang, hingga matahari sudah menampakkan sinarnya, bulir-bulir embun itu tak juga beranjak dari batangnya. Sungguh indah menikmati suasana pagi yang bening itu.
Sekarang kenyataannya berbeda, embun yang dulunya menutupi dedaunan nenas, kini jarang terlihat. Setiap pagi hanya terlihat bulir embun yang jatuh dari rumah-rumah penduduk.
Belum lagi, kebijakan Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah memindahkan lapangan pacuan kuda Gayo dari Gelengang Musara Alun ke Blang Bebangka, mengharuskan masyarakat yang telah lama menanam nenas harus ikhlas digusur. Karena memang tanah itu milik pemerintah.
Dalam ingat saya, waktu kenderaan alat berat berdatangan membumihanguskan batang-batang nenas, saya sempat merasa sedih. Sebagai anak kecil yang hanya mampu melihat daun-daun yang dulunya sering saya jadikan alat permainan berbentuk pedang dengan teman sebaya, harus hilang dan hanya sedikit yang tersisa.
Menyaksikan ganasnya alat berat yang beroperasi, waktu kecil kami menyebutnya motor kerok (jenis Bach Hoe), mengeruk-ngeruk tanah hingga mengangkat bongkahan kayu yang tersimpan di dalamnya. Bongkahan kayu yang beraroma itu saya kenal dengan kayu Grupel, dimana saat itu sangat gencar diperjual-belikan.
Sempat berpikir, lahan tandus yang hanya tumbuh ilalang dan nenas diatasnya, ternyata menyimpan harta bernilai milyaran rupiah. Namun sayang, masyarakat sekitar tak bisa memiliki bongkahan kayu dengan nilai jual fantastis tersebut. Mereka hanya mampu melihat, para aparat keamanan yang menjaga kelangsungan pembangunan proyek itu, mengangkut Grupel yang tak terkira jumlahnya, mereka langsung menaikkannya ke dalam truk. Entah berapa kali truk-truk pengangkut Grupel ini mondar-mandir, hingga akhirnya tak ada Grupel yang tersisa. Saya juga tak tahu kemana Grupel-grupel itu diangkut.

Pembangunan lapangan Pacuan Kuda, H.M. Hasan Gayo rampung, pertandinganpun sudah dipindahkan ke Blang Bebangka dari Gelengang Musara Alun. Sejak itulah, Nenas Pegasing yang menjadi primadona masyarakatnya perlahan tergerus. Ditambah dengan alih fungsi lahan menjadi perumahan secara terus menerus oleh pemiliknya, menyebabkan lahan tanaman nenas semakin sedikit dan segera akan mencapai titik kepunahannya.
Padahal Nenas Pegasing sempat dijadikan sebagai wisata kuliner di daerah Gayo Kabupaten Aceh Tengah, bahkan hingga saat ini masih terlihat banyak pedagang-pedagang di pinggiran Jalan Takengon-Blangkejeren itu, yang masih menjajakan nenas sebagai sumber pencahariannya. Harga yang dipatok pun saat ini jauh lebih tinggi.
Tanaman ini, juga tergerus seiring dengan kebijakan pemerintah membangun area perkantoran di Blang Bebangka. Tanpa memikirkan potensi nenas dapat membantu perekonomian masyarakatnya, tidak adanya program pemerintah membina masyarakat setempat untuk tidak menghabiskan tanah mereka menjadi bangunan-bangunan dengan menyisakan sedikit lahan untuk perkebunan nenas. Tentu program itu dapat berjalan jika ada suntikan dana dari pemerintah. Sempat berpikir, tak ada yang peduli dengan tanaman ini sehingga apa pentingnya untuk dipertahankan.
Faktor lainnya, tingginya permintaan pembelian tanah di kawasan tersebut dengan harga yang fantastis, menyebabkan masyarakat yang memiliki tanah dengan gembira melepasnya kepada pembeli. Padahal, tanah ini dijadikan lahan menanam nenas. Tapi apa boleh buat, desakan ekonomi juga mempengaruhi masyarakat mau menjual tanahnya.
Faktanya, di tahun 2015 hingga kini hanya ada sedikit lahan perkebunan nenas yang tersisa, padahal nenas juga merupakan ikon Kecamatan Pegasing. Dengan harga yang mulai menjanjikan, banyak masyarakat yang mulai mengembangkan perkebunannya ke area lain yang tak jauh dari tempat asal. Tapi hasilnya kurang memuaskan, cita rasa di tempat baru tak seelok dengan nenas yang ditanam di lapangan Belang Bebangka. Ada sedikit perubahan karakter rasa.
Namun apa boleh buat, Pegasing sudah terkenal dengan buah nenas-nya, masyarakatnya pun begitu banyak yang menggantungkan hidup dari buah nenas. Sejak kecil, keluarga kami sudah menjadikan nenas sebagai sumber penghasilan, hingga kini kebun nenas milik keluarga saya masih tetap menjadi andalan. Begitu juga dengan kebun-kebun milik warga lainnya. Dalam hitungan kasat mata, tidak lebih dari 50 hektar luas lahan perkebunan nenas yang tersisa saat ini, sedangkan permintaan pasar terhadap nenas saat ini cukup tinggi.
Kekhawatiran akan terus tergusurnya masih tersimpan dibenak saya hingga saat ini. Arus populasi penduduk yang semakin tinggi dan permintaan terhadap jual beli tanah yang dilakukan masyarakat menambah kekhawatiran saya. Sudah selayaknya Pemkab Aceh Tengah, membina lahan yang tinggal sedikit itu, agar kedepan ikon nenas Pegasing tak kan hilang, sehingga dapat menjadi salah satu objek wisata kuliner di Takengon yang sudah barang tentu, pemerintah juga akan meraup keuntungan.
Kekhawatiran itu terus saja membayangi, masihkan anak cucu kita nanti bisa menyaksikan pemandangan kebun nenas yang luar biasa, tersusun rapat, rapi berjejer di tengah-tengah tergerusnya. Mampuhkah nenas Pegasing bertahan di tengah ketergerusan?. Wallahualam.
*Anak Petani Nenas Asal Kampung Blang Bebangka Kecamatan Pegasing