Catatan Pejalanan Fathan Muhammad Taufiq dari Surabaya*
Bukan pertama kalinya aku menginjakkan kaki di kota Surabaya, sudah beberapa kali aku mengunjungi kota pahalawan ini. Tapi perjalanan ke ibukota provinsi Jawa Timur kali ini tersa “berbeda”, kalau selama ini kedatanganku ke Surabaya hanya terbatas sebagai “kunjungan pribadi” karena keberadaan putra sulungku yang sedang menempuh pendidikan di salah satu universitas terkemuka di kota ini, tapi kunjungan kali ini agak sedikit “resmi”, karena kedatanganku bersama rombongan selama 5 hari ini tidak lain dalam kapasitas sebagai peserta Diklat Kepemimpinan Tingkat IV dari Kabupaten Aceh Tengah.
Dalam kunjungan “dinas” seperti ini tentu saja kali ini perhatianku lebih fokus, karena ada beberapa “tugas” yang memang harus kami lakukan ke beberapa titik pusat pelayanan public yang nantinya harus kami pertanggung jawabkan dalam bentuk laporan resmi. Tapi apapun “bungkus”nya, perjalanan ke Surabaya tetap membawa “pesona” tersendiri bagiku, pemandangan kota yang hijau, bersih, tertib dan nyaman merupakan pemandangan yang jarang kutemukan di kota lain, bahkan di Jakarta sekalipun. Tak cuma itu, tatanan kehidupan social masayarakan Kota Surabaya juga sudah berada pada “level” atas, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan serta kepatuhan rakyat kepada pemimpin meraka yang didasari kesadaran yang begitu tinggi, sehingga permasalahan social yang begitu kompleks sekalipun seperti kasus Dolly dapat terselesaikan tanpa gejolak social yang berarti.
Sebuah kebetulan mungkin, kunjunganku ke Surabaya kali ini bertepatan dengan hari jadi kota berlambang ikan dan buaya ini yang ke 722, dan di usia setua itu, Surabaya sama sekali tidak terlihat “renta” dan “keriput”, bahka yang aku lihat, kota ini terlihat semakin “cantik” dan “mempesona”. Jalanan dan trotoar yang terihat sangat bersih, ruang terbuka public yang bebas dari baliho dan billboard iklan, hijaunya pepohonan yang berbaris rapi di hampir semua sisi jalan, merupakan pemandangan yang sangat “menyejukkan” mata. Terlepas dari sebuah kebetulan bahwa kunjungan kami bertepatan dengan hari jadi kota ini, yang jelas, kecantikan dan pesona Kota Surabaya yang aku lihat kali ini bukan sekedar “polesan” di hari jadinya, tapi merupakan hasil dari sebuah program yang terencana secara matang, terlasana secara optimal serta terevaluasi secara terukur dengan pengelolaan manajemen yang profesional, karena “kecantikan” kota ini juga pernah aku lihat sebelumnya, jadi jelas ini bukan sebua rekayasa dadakan hanya karena momentum ulang tahun Kota Surabaya.
Semua yang kulihat itu ternyata tidak terlepas dari peran dan andil besar dari sosok Tri Risma Harini, walikota fenomenal yang yang sudah memimpin kota Surabaya ini selama lebih dari 4 tahun terakhir. Manajemen “hati” yang dietrapkan oleh Bu Risma, panggilan akrab perempuan energik ini, telah berhasil “merubah” wajah kota Surabaya, bukan hanya dari pembangunan fisik semata, tapi suda dari kualitas sumberdaya manusia di lingkungan birokrasi yang dipimpinnya.
Itu terlihat sangat jelas ketika kami sempat ber audensi dengan Ir. Hidayatsyah, MM, Asisten Administrasi Umum Setdako Surabaya di Balaikota Surabaya hari Rabu, 3 Juni 2015 ini. Kehadiran Asisten I Setdako ini mewakili walikota ibu Tri Risma Harini atau yang lebih akrab disapa bu Risma yang saat ini sedang berada di London dalam rangka pertemuan walikota terbaik seduania. Meski kami agak kecewa tidak bisa bertemu langsung dengan bu Risma, tapi kekecewaan rombongan “turun gunung” peserta Diklatpim dari Negeri Antara ini tersa trobati ketika bisa melihat langsung karya-karya bu Risma di setiap sudut kota Surabaya dan terlihat jelas di lingkungan pemerintah kota Surabaya.
Aku begitu “tersihir” ketika mendengarkan ucapan dan ungkapan beliau saat memberikan penjelasan kepada kami, meski hanya melalui layar in focus, staf setdako sengaja merekam sambutan bu Risma kepada para peserta Diklat dari Tanoh Gayo. Dari layar yang terpampang di operation room setdako, kami dapat melihat pesan beliau yang memang ditujukan kepada kami, gaya bicaranya yang lugas tapi tidak keras, intonasi bicaranya yang begitu tertata, kata-kata dan kalimat yang terucap seakan sudah tersusun sebegitu rupa, padahal aku dapat melihat jelas bahwa beliau bicara tanpa kertas “konsep” atau “contekan”, karena apa yang beliau katakan memang perwujutan dari apa yang beliau lakukan, sama sekali tak terlihat basa-basi apalagi “kebohongan publik” dari ucapan beliau.
Aula Balaikota yang tertata apik dan bersih itu, seakan pancaran dari kebersihan dan kejujuran dari sosok pemimpinnya, mata dan telingaku seakan “terhipnotis” ketika beliau menyampaikan “rahasia” keberhasilan beliau “memanage” kota teresar kedua di Indonesia ini. Beliau juga bicara sangat lugas tapi tetap hati-hati, tidak ada istilah “keceplosan” dalam ungkapan beliau, berbeda banget dengan statemen-statemen politikus perempuan di negeri ini yang sering kita lihat di media. Sikap santun dalam bertindak maupun bertutur, itulah kesan yang terlihat ketika berjumpa langsung dengan beliau, dan “resep” inilah yang beliau pakai sehingga mampu menyelesaikan berbagai masalah pelik di kota besar seperti Surabaya ini nyaris tanpa gejolak social yang berarti.
Apa yang diunjukkan oleh Bu Risma, ternyata tidak hanya terbatas di “lingkaran” balaikota saja, di semua instansi yang kami kunjungi seperti Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Asset Daerah, Dinas Komunikasi, Informasi dan Telekomunikasi dan salah satu Kantor Kecamatan di Kota Surabaya, juga menunjukkan sikap dan etika pelayanan yang sama. Menyapa tamu dengan ramah dan santun, itulah kesan pertama ketika kami baru memasuki pelataran kantor. Begitu kami mulai memsuki “detil” ruangan instansi-instansi terebut, semakin tersa bahwa pelayanan public yang diberlakukan di kantor-kantor di lingkungan Pemerintah Kota Surabaya ini, sama persis dengan apa yang disampaikan Bu Risma di balaikota, apa adanya dan tanpa rekayasa. Karena semua pegawai sudah terbiasa dengan system yang teratur, manajemen yang professional, disiplin tinggi serta etika pelayanan public yang prima.
Aku tidak sedang memabndingkan Kota Surabaya dengan Kabupaten Aceh Tengah “tanoh tembuni” ku, bukan soal “usia”nya terpaut jauh, Surabaya sudah berusia 722 tahun sementara Takengon, ibukota Kabupaten Aceh Tengah yang konon “baru” berusia 438 tahun, tapi aku sedang berfikir dan berobsesi bahwa kelak suatu saat nanti, kita akan melihat “fotocopy” Kota Surabaya dalam “bingkai” Kota Takengon. Tidak ada sesatupun yang mustahil, jika ada iktikad, kamauan dan kemampuan untuk mengadopsi, mengadaptasi dan berinovasi dengan apa yang pernah kami lihat, dengar dan rasakan ketika kami “menimba ilmu” di Kota Surabaya.
Karakteristik masayarakat dan sosio cultural yang berbeda bukanlah hambatan untuk maju dan berkembang, karena inovasi tidak pernah mengenal batasan-batasan itu. Yang perlu kita lakukan hanyalan sedikit merubah “mindset” dan “mainstream” kita yang selama ini terkesan “kurang peduli” terhadap kondisi di daerah kita sendiri. Kalau kita mau melihat dengan bijak dan berfikir lebih cermat, potensi sumberdaya alam yang kita miliki di Aceh Tengah jauh lebih “kaya” di banding dengan Surabaya, tapi karena potensi itu belum terkelola secara optimal yang baik, makanya dari tahun ke tahun, kondisi daerah kita masih “begitu-begitu” saja.
Aku juga tidak sedang mengritisi kepemimpinan dan pengelolaan manajemen pemerintahan di Dataran Tinggi Gayo ini, karena aku yakin, potensi kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional para pejabat kita juga tidak kalah dengan bu Risma dan jajarannya. Hanya saja yang perlu sedikit diberi sentuhan inovasi adalah pola fikir dan motivasi, sehingga terdapat kesamaan persepsi dalam membangun Negeri Antara ini mulai dari hulu sampai ke hilir. Sekat-sekat psikologis, dikotomi dan kepentingan para pihak harus dihilangkan, karena tujuan kita hanya satu yaitu membangun Aceh Tengah yang maju dan sejahtera.
Satu hal lagi, ketika kita melihat sebuah kemajuan di daerah lain seperti Surabaya dibawah kepemimpinan Bu Risma misalnya, kita jangan menilai dengan sensitivitas negatif, tapi berfikirlan apa yang bisa kita “curi” dari konsep dan manajemen pimpinan di daerah itu untuk kita terapkan di daerah kita. Bayangkan saja seorang perempuan bersahaja seperti Bu Risma, mampu merubah “wajah” kota Surabaya hanya dalam beberapa tahun saja, hanya satu yang selalu ku ingat dari pesan beliau “ mengelola system dengan menajemen hati”, dan silahkan kita merenung dan tafakkur untuk memaknai ucapan beliau itu. Aku yakin, semua kita juga menginginkan dan berharap daerah kesayangan kita ini akan bisa seperti Surabaya yang “semakin tua, semakin cantik”. []