- Kha A Zaghlul
LEBIH dari Sembilan puluh persen penduduk dataran tinggi Gayo kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah adalah petani, khusus lagi petani kopi. Di Gayo, walau sudah menjabat sebagai pejabat dari sekelas kepala kampung (Gecik-red) hingga Bupati sekalipun, juga pedagang, pendatang umumnya memiliki lahan pertanian atau perkebunan.
Profesi petani butuh sejumlah peralatan berupa benda tajam. Parang, cangkul, golok dan lain-lain. Siapapun petaninya dipastikan akan mencari kualitas peralatan yang terbaik, tidak mudah bengkok saat digunakan dan tidak pecah atau muleping (Gayo-red) saat beradu dengan benda keras. Juga tidak kerap berurusan dengan batu asah (remesen-Gayo:red) atau kikir (alat penajam dari besi kasar) karena mudah tumpul.
Kemana para petani Gayo mencari peralatan dengan sejumlah persyaratan tersebut ?. Mungkin tidak semua, tapi pada umumnya mereka akan menjawab cari cap B3 yang diproduksi di Simpang Wariji Takengon.
Djamaluddin misalnya, petani yang memiliki kebun di kampung Kenawat Lut Kecamatan Lut Tawar Aceh Tengah semasa hidupnya pernah menyatakan jika bukan cap B3 dirinya tak akan membeli parang atau cangkul sebagai alatnya ke kebun.
“Untuk apa beli alat jika tidak nyaman memakainya, sebentar sudah rusak dan harus beli lagi. Dan saya selalu memilih B3 untuk peralatan saya,” kata Djamaluddin yang pernah sebagai guru agama ini.
Lalu keterangan Mahmude alias Dongkol, petani yang semasa hidupnya dikenal sebagai juru urut ternama di Aceh Tengah kepada wartawan pernah mengaku mengenal dekat pendiri Pande Besi B3, Ilyas Ibrahim sejak masih lajang.
“Setahu saya alat besi buatan Ilyas belum ada saingan dalam hal kualitas,” begitu kata Dongkol semasa hidupnya. Dia sudah berpulang beberapa tahun lalu.
Cara Ilyas menyepuh besi berbeda dengan cara pande besi lainnya dan dia sudah ahli sejak masa lajangnya. Parang, cangkul dan buatan Ilyas lainnya tidak mudah muleping atau mucerbeng (pecah matanya).
Ilmu supranatural sepertinya juga dimiliki ayah sembilan anak ini seperti dikisahkan Win Ruhdi Bathin Aman Shafa saat anak laki-lakinya masih berusia 4 bulan tersiram air mendidih dan menangis tak henti-henti karena panas dibagian kakinya hingga ada yang menganjurkan agar segera dibawa ke Ilyas si boss B3.
“Entah apa yang dibaca Pak Ilyas, anak saya berhenti menangis sehingga kami bisa tenang untuk memberikan obat selanjutnya,” kisah Win Ruhdi.
Pande Besi B3 berasal dari Samalanga

Menurut salah seorang anaknya, Faidaturrajni, ayahnya bernama lengkap H. Ilyas Ibrahim kelahiran Simpang Mamplam, Samalanga, Aceh Utara 25 September 1930 lalu. Ilyas Ibrahim terlahir dari keluarga sederhana, dan di asuh penuh oleh sang ibu, Syarifah Umar.
Ayahnya, Ibrahim, tidak sepenuhnya bersama keluarga karena kondisi pada masa itu, lelaki dewasa ikut bergerilya melawan penjajahan Belanda, sehingga sangat dimaklumi apabila sang ayah jauh darinya.
Pada tahun 1955 Ilyas Ibrahim berhasil menyelesaikan kelas 6 Sekolah Dasar (SD) Ferfolok School di Samalanga Kabupaten Bireuen. Namun sebelum menyentuh sekolah, tahun 1945 Ilyas sempat mengikuti latihan tentara cadangan selama 6 bulan di Simpang Mamplam.
Tamat kelas 6, Ilyas pun mencari kerja. Di Simpang Mamplam, pekerjaan yang tersedia hanya petani, bagi Ilyas bekerja sebagai petani hasilnya akan sama dengan yang lainnya, tanpa jaminan masa depan. Dalam dirinya timbul hasrat untuk meninggalkan kampung halaman mencari pekerjaan di tempat lain.
Dan pada tahun 1955 pula, Ilyas menemukan pekerjaan yang sesuai dengannya—Pandai Besi di Takengon, Aceh Tengah. Adalah Guru M. Ali Cut yang membimbingnya menjadi penempa pandai Besi selama lebih kurang satu setengah tahun lamanya.
Pada tahun 1957, atas restu sang guru, Ilyas pun mulai membuka usaha pande besi sendiri di Simpang Wariji, Belang Kolak I Takengon. Merek (cap) tempaannya B3, yaitu tiga buah huruf B yang membentuk Peace.
Setahun kemudian, lelaki desa inipun menikahi Aisyah Saidi, wanita yang juga asal Samalanga, putri tunggal tokoh Darul Islam wilayah itu, Syech Saidi.
Dari hasil perkawinannya, Ilyas dianugerahi 7 putra dan 2 putri. Pekerjaannya sebagai pande besi terus ditekuninya. Sampai akhirnya, banyak langganannya, terutama petani di Gayo, Aceh Pesisir, dan dari tempat lain yang percaya pada kualitas tempaannya.
Hasil kerjanya berupa pisau, parang, garuk (alat membajak sawah) dan lain-lain, inipun akhirnya sampai ke Amerika dan Jerman, tetapi bukan lewat pasar di negara itu, melainkan pesanan dari petani bule yang pernah mampir ke pande besi Ilyas.
Bisa dimengerti mengapa tempaan Ilyas begitu digandrungi petani setempat, karena formula besi yang digunakannya memang terjamin kuat dan tajam. Dan Ilyas sendiri tidak pernah berhenti mencari bentuk tempaannya yang sesuai dengan keinginan petani. Tatkala petani menanam Kopi Ateng, yaitu kopi arabika yang tinggi batangnya di bawah 1 meter sudah berbuah, diperlukan parang yang pas ukurannya. Seperti saat membersihkan batang kopi kita harus jongkok, tetapi dengan parang buatannya, bisa nyaman dan tidak membuat pinggang letih atau sakit.
Ketekunannya itu juga dilatari prinsip ‘sabar, tekun, dan tawaqal’. Cap B3 yang dibubuhi pada setiap produknya juga bagian dari prinsip itu, Beramal Bahagia Bersama. Berangkat dengan prinsip itulah semangat kerjanya sangat tinggi. Tidak heran, apabila banyak anak buahnya mengikuti jejaknya, dan di sekitar Takengon, seperti Kabupaten Bener Meriah di Pondok Baru dan Simpang Balik sudah ada pande besi sendiri.
Bagaimana dengan kehidupan keluarga? Baginya itu prioritas utama. Dalam benaknya, seperti juga orang tua lainnya anak-anaknya harus lebih baik di banding ayahnya. Tentu sesuai kemampuan sang anak pula. Itu sebabnya Ilyas memberi prioritas pada 9 anaknya untuk terus melaju di bidang pendidikan. Tekad itu rupanya cukup efektif, bak primbon masyarakat setempat, walau harus menjual sendal jepit, demi sekolah-anak-anaknya akan dilakukan, dan itu dikerjakan Ilyas.
Dan ke-9 anak, semua berpendidikan tinggi. Putra pertamanya Junawarman menyelesaikan pendidikan di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh bergelar Insinyur Tehnik Mesin. Lalu Azharsyah, Sarjana Muda Universitas Iskandar Muda Banda Aceh, Unnu Adnan (D3 Fakultas Informatika Komputer Budi Luhur Jakarta).
Selanjutnya Jauhari Samalanga (Alumnus Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta), Faidaturrajni (Sarjana Hukum Universitas Islam akarta), Misbah (Arsitektur Universitas Islam Yogyakarta, Jasmi, Sarjana Ekonomi Universtas Islam Yogyakarta), Dewi Juniati (sarjana Ekonomi Unsyiah Banda Aceh) dan Subhan, selepas SMA memilih tidak melanjutkan studi ke Universitas, kendati pernah mengecap kuliah di Universitas Mercubuana, Jakarta selama 4 semester.
Kebiasaan Ilyas sederhana saja, selepas bekerja seharian dia meneruskannya dengan mengajar mengaji kepada anak-anak yang ada di sekitar lingkungannya. “Untuk mengisi waktu luang”.
Dua hari lagi jelang berakhirnya puasa Ramadhan, 31 Oktober 2005 pagi sekitar pukul 10.00 Wib, Ilyas meminta seorang anaknya, Misbah untuk memotong kuku-kukunya setelah sebelumnya bercukur di tukang pangkas di Simpang Wariji Takengon.
Tidak ada tanda-tanda Ilyas dalam keadaan sakit hingga saat berbuka puasa dan Shalat Maghrib selesai ditunaikannya. Saat menunggu masuknya waktu Isya, Ilyas mengisi waktu dengan bercanda bersama sang cucu dan tiba-tiba terjatuh. Dan Ilyas B3 menghadap sang Khalik dan dimakamkan keesokan harinya di komplek pemakaman Belang Kolak I.[]