Oleh : Feri Yanto
Berbicara tentang peran pemuda dan mahasiswa akan menyeret kita kepada rentetan peristiwa-peristiwa bersejarah, mulai dari pra proklamasi hingga reformasi, dari pusat hingga ke daerah. Catatan-catatan sejarah mulai dari sumpah pemuda hingga runtuhnya rezim orde baru, pemuda dan mahasiswa selalu hadir di garda depan dalam memberikan solusi dan membawa perubahan -perubahan nyata yang di bangun oleh pemuda dan mahasiswa melalui gerakan-gerakan progresif.
Dalam pergerakan pemuda pasca kemerdekaan Republik Indonesia yaitu pada masa orde baru, sebuah sejarah yang tidak akan pernah terlupakan bagi bangsa indonesia dimana runtuhnya sebuah rezim diktator yang berkuasa selama 32 tahun lamanya atau disebut orde baru yang dipimpin oleh Soeharto, sebuah pemerintahan yang mensentralisasikan kekuasaan.
Sebuah gerakan yang dilatarbelakangi dengan terjadinya krisis multidimensi yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, gerakan ini kemudian dinamai dengan gerakan menuju reformasi. Dalam gerakan ini ada enam agenda yang menjadi tuntutan mahasiswa diantaranya adalah amandemen UUD 1945, pemberantasan KKN, penghapusan dwi fungsi ABRI, penegakan supremasi hukum dan pelaksanaan otonomi daerah dengan agenda utama menurunkan Soeharto dari jabatan presiden.
Dalam demonstrasi mahasiswa yang dilaksanakan pada tanggal 7 mei 1998 di Universitas Jayabaya, Jakarta, yang berujung pada bentrok yang mengakibatkan 52 mahasiswa luka-luka, pada besok harinya 8 Mei 1998 demonstrasi dilakasakana di Yogyakarta juga mengalami bentrok dan menewasakan satu orang mahasiswa.
Peristiwa ini menyulut kemarahan mahasiswa dan tuntutan untuk presiden Soeharto mundur semakin kuat di suarakan di berbagai daerah, hingga peristiwa Trisakti terjadi pada tanggal 12 mei 1998 yang mengakibatkan empat mahasiswa meninggal terkena peluru aparat keamanan saat menuntut presiden Soeharto mundur dari jabatan Presiden.
Akibat penembakan terhadap empat mahasiswa Trisakti mengakibatkan terjadinya kerusuhan, pembakaran dan penjarahan di jakarta dan solo pada tanggal 13 Mei 1998, mulai tanggal 14 mei 1998 gerakan semakin meluas mahasiswa menduduki gedung gedung pemerintahan dan mahasiswa mengambil pusat gerakan di gedung MPR/DPR, hingga pada hari kamis tanggal 21 mei Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan Presiden.
Sebagai refleksi gerakan mahasiswa Indonesia dalam catatan sejarah bangsa itu sendiri sudah sepatutnya mahasiswa Gayo merumuskan suatu manifestasi gerakan, dimana gerakan dibangun dengan solidaritas yang tinggi dan kesamaan orientasi yang dibangun berdasarkan kepentingan daerah dan masyarakat Gayo, kemampuan menganalisis permasalahan dan menginventarisir kebutuhan masyarakat dan daerah, kehadiran mahasiswa dan pemuda sangat dibutuhkan dalam mewujudkan cita-cita besar masyarakat Gayo.
Pemekaran Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) menjadi suatu cita-cita bersama yang kemudian harus didorong dan didesak oleh para pemuda dan mahasiwa Gayo, sementara saat ini hanya sebahagian mahasiswa Gayo yang mau sekedar duduk dan berdiskusi mengenai Provinsi ALA, dan hanya mereka juga yang saat ini turun kejalan sekedar meneriakan ALA, namun tidak dilakukan secara masif.
Pemekaran provinsi ALA harus mampu dijadikan isu bersama dan perjuangan bersama, maka dari itu gerakan mahasiswa Gayo harus dievaluasi kembali, gerakan mahasiswa yang terkonsolidasi dengan baik yang dibutuhkan dalam perjuangan provinsi ALA, terlebih wacana pemekaran provinsi ALA yang akan terwujud pada tahun 2016 merupakan sebuah kabar baik bagi masyarakat Gayo, akan tetapi tidak semata-mata masyarakat Gayo dapat bereuforia dengan kabar baik tersebut.
Gerakan-gerakan massa tetap sangat dibutuhkan dalam percepatan proses pemekaran provinsi ALA, bukan hanya menunggu sesuatu yang pada prinsipnya masih membutuhkan perjuangan yang ekstra, disinilah peran mahasiswa dan pemuda dalam mengkonsolidasikan gerakan sangat dibutuhkan, dimana kaum intelektual muda yang masih bersih dari kepentingan politik dapat diterima sebagai penyalur aspirasi masyarakat Gayo.
Dalam hal ini juga mahasiswa dan pemuda mempunyai kemampuan dalam membangun gerakan yang etis dan mengedepankan nilai-nilai pluralisme, tanpa mengedepankan egosektoral sukuisme dan rasis, dalam artian gerakan menuju pemekaran provinsi ALA bukan pemisahan secara emosional akan tetapi hanya sekedar pemisahan administrasi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat wilayah tengah tenggara Aceh.
*Aktivis HMI Cabang Takengon