Catatan singkat Kha A Zaghlul

BAHASA GAYO unik, setidaknya itu klaim dari saya sendiri berdasarkan pengalaman sejak mulai mengenal bahasa. Banyak penyebutan yang dinilai aneh atau terdengar lucu mengundang tawa jika disebutkan oleh Urang Gayo yang kurang faham berbahasa Indonesia. Bukan saja oleh orang luar, namun juga Urang Gayo sendiri. Salahsatunya penyebutan “Banjir” dalam dunia usaha perkebunan kopi.
Puluhan tahun silam, saat ada siaran Televisi Republik Indonesia (TVRI) menayangkan hasil liputannya tentang kopi Gayo. Petani yang diwawancarai menyatakan “sekarang ini kopi tengah banjir…”, sontak kami yang menontonnya tawa tergelak.
Kepada yang tidak faham bahasa Gayo, maksud dari kata “tengah” berarti sedang berlangsung, sementara “banjir” dalam dunia perkopian adalah sebutan untuk pohon kopi yang sedang berbuah banyak diluar kebiasaan berbuah sebelumnya. Kata “banjir” disini bukan untuk banjir air.
Kata lainnya, “Ngutip”. Sering diungkapkan oleh petani kopi Gayo jika ditanya dalam bahasa Indonesia. “Kami hendak mengutip kopi, sekarang buahnya lagi banjir,” demikian jawaban petani yang ditanya kenapa pagi-pagi bergegas ke kebun.
Ngutip disini bermakna memanen. Kata lainnya “nangkuh” yang makna sebenarnya dalam bahasa Gayo adalah “mengeluarkan”. Kedua penyebutan ini khusus untuk memetik atau panen buah kopi saja, untuk buah-buahan lain, biasanya disebut “nangkap, munangkap”. Munangkap pokat (memetik Alpokat), nangkap asam (memetik jeruk), dan lain-lain.
Bisa disimpulkan, walau bahasa Gayo dikenal sangat kaya kosa kata, ada beberapa penyebutan umum dalam bahasa Indonesia tidak dikenal dalam bahasa Gayo, contoh lainnya warna “Biru” samasekali tidak ada dalam bahasa Gayo. Biru biasa dikatakan sebagai Ijo (hijau) oleh Urang Gayo, misalnya Langit Ijo (biru langit), dan lain-lain.
Banyak lagi kosakata Gayo lain yang terdengar lucu, atau sulit diterjemahkan ke bahasa Indonesia atau sebaliknya, tentu pakar bahasa Gayo diantaranya Dardanila, M. Yusin Saleh, Yusradi Usman al Gayoni, Joni MN, dan lain-lain yang sangat pantas memaparkannya.
Selain itu, banyak penyebutan nama tumbuh-tumbuhan baik rumput, tanaman atau pohon yang tidak diketahui penyebutannya dalam bahasa Indonesia atau nama Latin. Misalnya tumbuhan bahan anyaman khas Gayo seperti Kertan, Beldem, Cike, Kereteng dan lain-lain tidak diketahui sebutan dalam kedua bahasa tersebut.
Persoalan ini, kami kira sangat menarik untuk diteliti yang tentu akan berhasil jika dikerjakan atas kerjasama antara pakar bahasa Gayo, pakar bahasa Indonesia dan pakar tumbuh-tumbuhan. Tujuannya? tentu untuk ilmu pengetahuan yang bermanfaat.[]