Indahnya Kawah Ijen, Gunung Berapi Penghasil Belerang (Pengalaman Mendaki Kawah Ijen bag.3-Habis)

oleh
Aku dan ayahku di puncak kawah Ijen

Oleh : Qien Mattane Lao*

Di kantin tempat penimbangan belerang
Di kantin tempat penimbangan belerang

Jalur menanjak ini rasanya sangat jauh dan panjang. Tapi kami terus berjalan, para pemikul belerang mulai banyak yang turun. Kata ayahku, mereka yang sudah turun itu, mulai naik gunung sejak tengah malam. Mereka menambang belerang di perut gunung yang semalaman dialirkan dari dalam tanah melalui pipa-pipa. Lalu membeku ketika bersentuhan dengan udara. Belerang yang sudah membeku ini mereka pecah-pecah menjadi bongkahan dan itulah yang meraka masukkan ke dalam keranjang untuk dipikul.

Luar biasa mereka, bapak-bapak itu memanggul belerang di dalam dua keranjang bambu yang digantungkan ke pikulan yang juga dibuat dengan bambu. Aku benar-benar merasa capek di pendakian pertamaku ini. Rasanya pengen berhenti saja, tapi aku malu rasanya sama bapak-bapak pemikul belerang itu. Aku yang tidak bawa apa-apa saja capek, sementara kata ayahku belerang yang mereka pikul itu beratnya antara 80 sampai 100 kilogram. Gila!.  Ketika aku melihat ada keranjang belerang yang ditinggalkan di pinggir jalan, kucoba untuk diangkat. Bahkan bergerak pun tidak.

Kata ayahku juga, membawa turun belerang seperti ini adalah bagian paling mudahnya bagi mereka. Bagian tersulitnya adalah membawa belerang naik dari perut gunung menuju puncak kawah. Yang jalannya jauh lebih curam dibandingkan jalan yang kami naiki ini. Dan untuk pekerjaan seberat itu, mereka hanya dibayar 500 rupiah per kilogram. Artinya, untuk belerang seberat 80-100 kg yang mereka pikul sejauh 4 kilometer dimulai dari perut gunung sampai ke kakinya. Mereka Cuma mendapatkan uang antara 40 -50 ribu rupiah.  Itu cuma cukup untuk jajan dua hari pakcikku yang sekolah di SMP Negeri 1 Takengon.

Ternyata di tempat lain, orang begitu sulitnya untuk mendapatkan uang. Melihat itu aku jadi lebih menghargai uang yang aku dapatkan.

Pemanggul Belerang melintas jalan terjal
Pemanggul Belerang melintas jalan terjal

Di kanan kiri jalan yang kami lalui, terdapat macam-macam tumbuhan. Salah satunya adalah Raspberry atau Anar-anar dalam bahasa Gayo. Aku belum pernah mencicipi buah ini, sewaktu aku pulang ke Takengen, aku tidak menemuinya. Waktu aku naik Bur Gayo, aku hanya pernah mencicipi ‘Bebeke’. Anar-anar di pinggir jalan ini banyak sekali buahnya yang berwarna merah menggoda minta dipetik. Tapi kata ayahku, jangan dipetik sekarang. Karena nanti kita bisa terlambat sampai di puncak. Takutnya nanti kabut keburu datang dan kami tidak melihat apa-apa. Kata ayahku, aku boleh memetik sepuasnya di perjalanan pulang nanti.

Sekitar satu jam berjalan aku benar-benar sudah merasa kecapekan. Kata ayahku, tiga tikungan lagi kami akan sampai di tempat penimbangan belerang, di sana ada kantin dan kami bisa istirahat sebentar. Aku jadi semangat.

Dan benar saja, tidak terlalu lama kemudian kami sampai di kantin milik PT Candi Ngrimbi, perusahaan yang mendapat hak untuk menambang belerang di gunung ini. Suasana di kantin ini ramai, para pemikul belerang dan juga turis asing dan lokal, banyak berkumpul di sana. Sebagian akan naik, sebagian lagi dalam perjalanan turun.

Kata ayahku, banyak turis yang sengaja naik malam-malam, supaya bisa melihat fenomena api biru yang berasal dari proses terbakarnya belerang. Pemandangan ini hanya bisa disaksikan malam hari, karena ketika hari sudah pagi. Cahanya kalah dengan cahaya matahari.

Aku dan ayahku di puncak kawah Ijen
Aku dan ayahku di puncak kawah Ijen

Kami berhenti di tempat ini, aku memakan coklat Van Houten Almond yang kubeli di Gilimanuk sebelum menyeberang. Ayahku mengeluarkan rokok murah yang sengaja kami beli bersamaan dengan membeli pisang sale untuk kedua adik kembarku. Rokok itu bukan untuk ayahku, ayahku tidak merokok. Rokok itu dibagi-bagikan untuk bapak-bapak pemikul belerang. Dan mereka yang diberi rokok oleh ayahku terlihat sangat senang. Di sini ketinggiannya 2214 Mdpl, sebagaimana dituliskan di sebuah plang yang dipaku ke pohon cemara.

Setelah puas melepas lelah, kami kembali melanjutkan perjalanan. Jalan kembali menanjak curam, tapi pemandangan semakin indah. Ternyata tanjakan curam ini tidak terlalu panjang, setelah itu jalannya lumayan landai seperti di awal pendakian. Kemudian ada jalan curam tapi dibuat zig-zag sehingga tidak terlalu melelahkan. Setelah itu, jalannya landai seperti di pantai. Dari sini semuanya jadi mudah, kata ayahku jalannya akan begini terus sampai ke puncak yang jaraknya kira-kira satu kilometer.

Dari jalanan landai ini ayahku menunjukkan tempat di mana kami mengawali pendakian. Jauh di bawah sana, rumah dan mobil-mobil yang parkir terlihat sangat kecil.

Kami terus berjalan, pemandangan jadi semakin indah di sini tidak ada lagi tumbuhan besar, hanya ada pohon-pohon kecil dan tanahnya yang terlihat gersang. Banyak batu-batu besar, yang sayangnya banyak dicorat-coret oleh turis norak.

Aku dengan latar belakang Puncak Merapi yang terlihat dari selat Bali
Aku dengan latar belakang Puncak Merapi yang terlihat dari selat Bali

Sekitar 15 menit berjalan, kamipun sampai di puncak. Kami disambut dengan pemandangan luar biasa yang belum pernah kulihat seumur hidup, pemandangan tanah yang gersang tanpa ada satupun tanaman mengelilingi danau indah berwarna biru kehijauan dengan latar tebing curam.  Itulah kawah Ijen, kawah asam terbesar di dunia. Tak ada satu makhluk hidup pun yang sanggup hidup di sana. Kata ayahku, tingkat keasaman danau itu sangat tinggi dengan PH 0,2, artinya kalau kita masukkan jari ke dalam danau itu, dalam waktu sekitar setengah jam jari kita akan hilang tak berbekas.

Tidak puas-puasnya aku mengambil foto di tempat ini, suasana di sini seperti bukan di planet bumi. Di sini rasanya seperti berada di dalam film fiksi yang bercerita tentang planet asing di luar angkasa. Menjulang di depan saya adalah puncak Merapi yang saya lihat dari atas kapal sewaktu menyeberang dari Gilimanuk ke Ketapang.

Puas mengambil foto di sini kami melanjutkan perjalanan sedikit lagi, ayahku mau menunjukkan di mana belerang itu ditambang dan bagaimana para pemikul belerang ini naik dari perut kawah. Dan di sana aku melihat asap yang mengepul dan orang-orang yang menambang belerang. Benar-benar luar biasa melihat mereka memikul belerang seberat itu melalui jalan yang begitu curam.

Di bibir kawah itu tertulis pengumuman dalam bahasa Inggris dan Perancis kalau pengunjung dilarang turun karena sangat berbahaya. Bahayanya adalah asap belerang yang terbakar itu, kalau terhisap membuat paru-paru serasa terbakar. Makin padat asapnya makin berbahaya.

Dapur belerang, tempat belerang berbentuk cair keluar dari dalam tanah, sebelum membeku dan ditambang

Belum lama kami di sini, tiba-tiba asap yang tadinya bergerak kea rah berlawanan dengan kami berbalik arah menuju kami. Aku pun merasakan bau yang menyengat, sama sekali tidak enak. Ayahku lalu mengajakku turun dan kami pun bergegas. Semua tiba-tiba menjadi putih, kawah tidak lagi terlihat dan kamipun berjalan dengan cepat.

Memetik buah anar
Memetik buah anar

Sampai di punggungan tempat aku berfoto pertama kali tadi, asap agak menipis. Aku kembali mengambil foto beberapa kali dan kemudian kami pun turun.

Dalam perjalanan turun, seperti janji ayahku. Aku boleh memetik anar-anar sepuasnya. Dan akupun melakukannya, saat kucicipi rasanya seperti campuran strawberry dengan jeruk nipis. Rasanya asam-asam manis.

Di kantin kami berhenti lagi sebentar, aku membeli souvenir berupa belerang yang dicetak oleh bapak-bapak pemikul dalam berbagai bentuk yang lucu. Aku membeli belerang berbentuk donal bebek, kucing, mobil, kura-kura, kelinci dan beruang.

Perjalanan turun ini jauh lebih mudah, waktu tempuh kami hanya separuh perjalanan mendaki. Jam 11 Siang, kami pun sampai di parkiran mobil. Aku sangat lega, aku senang sekali, karena aku berhasil melakukan pendakian pertamaku tanpa ada masalah berarti.[]

*Penulis adalah putri Gayo asal Kute Rayang, Isak, kelahiran Desember 2004

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.