Oleh : Qien Mattane Lao
Sabtu 11 April 2015, jam 5.00 pagi WIB, kami berangkat menuju kawah Ijen.
Dari Ijen Resort kami berangkat menggunakan Jip milik penduduk setempat yang disewa seharga Rp500 ribu. Kami tidak bisa naik dengan mobil sendiri karena di sini ada aturan, untuk naik ke kawah Ijen harus menggunakan kendaraan Jip yang memiliki sistem penggerak 4 roda milik warga setempat.
Kata ayahku, dulu peraturan ini dibuat karena jalan menuju ke kawah Ijen tidak terlalu diurusi oleh pemerintah, sehingga keadaannya sangat buruk dan berbahaya kalau dilintasi kendaraan yang tidak memiliki sistem penggerak 4 roda dan sopir yang juga tidak berpengalaman.
Tapi sekarang ketika jalan menuju kawah Ijen sudah bagus, peraturan ini tetap dipertahankan.
Jip yang kami tumpangi ini disopiri sendiri oleh pemiliknya, jadi Om Kadek bisa istirahat. Dia tidak ikut bangun pagi seperti kami.

Dalam perjalanan menuju kawah Ijen, kami melewati persawahan yang masih asri. Di beberapa tempat aku melihat petani masih membajak sawah menggunakan sapi atau kerbau, belum menggunakan traktor. Persawahan di sini mirip dengan di Ubud, tapi bedanya di sini tidak ada pura kecil untuk menghormati dewi Sri dan juga pematangnya tidak dibuat artistik seperti di Bali.

Keluar dari persawahan, kami melintasi perkampungan. Terlihat warga sudah mulai beraktifitas meskipun hari masih sangat pagi.
Setelah menempuh sekitar 20 menit perjalanan, jip yang kami tumpangi memasuki kompleks perkebunan Lidjen. Kompleks perkebunan Cengkeh peninggalan Belanda yang sekarang kabarnya dikuasai oleh PT.Gudang Garam, perusahaan rokok terkenal itu. Masih di dalam kompleks perkebunan yang sama, ketika kami mulai menanjak lebih tinggi, tanaman cengkeh berganti kopi robusta, kemudian perkebunan kayu Gmellina yang kata ayahku kayunya digunakan untuk membuat kertas rokok.
Aku melihat banyak kotak kayu diletakkan di sana, kata ayahku itu adalah kotak-kotak lebah yang dipelihara untuk diambil madunya.
Keluar dari perkebunan, kami masuk ke dalam Hutan Lindung yang lebat dan rapat, pohonnya besar-besar. Di kanan kiri jalan banyak tumbuh pohon pakis haji yang dalam bahasa Gayo disebut ‘Keloang Gajah’ . Kata ayahku, di hutan ini masih terdapat macan tutul dan macan kumbang. Tapi kedua hewan dilindungi ini sangat pemalu, sehingga sangat jarang terlihat.
Pemandangan di Hutan ini sangat cantik, terutama ketika kami melintasi jalan berkabut dan cahaya matahari masuk menerobos melalui sela-sela daun. Suasananya benar-benar segar dan magis.
Makin jauh kami menanjak, pohon-pohon besar menjadi semakin jarang dan akhirnya menghilang. Yang terlihat tinggal pohon-pohon yang tidak terlalu besar dan padang rumput yang lapang.
Setelah sekitar setengah jam melintasi hutan, akhirnya kami tiba di Paltuding, desa terakhir di kaki gunung Ijen.

Posisinya yang terletak di ketinggian 1850 Mdpl, membuat suhu di Paltuding benar-benar dingin, untung aku sudah siap dengan jaket, topi, syal dan sarung tangan. Dari sini kami akan mendaki ke puncak yang tingginya 2380 Mdpl, jadu kami akan mendaki setinggi 500 meter dengan jarak 3 kilometer lebih.
Kami bukan orang yang pertama sampai di Paltuding. Ketika kami sampai suasana di Paltuding sudah sangat ramai, ada banyak jip lain yang sudah lebih dulu di sana. Bukan hanya Jip, tapi juga ada mobil sedan. Kata ayahku mobil sedan bisa masuk ke sini melalui jalur Bondowoso, yang terletak di sisi lain kawah.
Selain pengunjung yang berwisata, para penambang dan pemikul belerang juga sudah memulai aktivtasnya. Mereka berjalan kaki sambil memanggul keranjang bambu di pundaknya.
Sebelum memulai pendakian, ayahku mengajak aku sarapan dulu di salah satu warung yang ada di sana. Kami makan di warung milik Bu Im. Pak Im suaminya adalah mantan pemikul belerang yang membuka usaha warung. Sekarang warungnya sangat maju, bu Im jadi terbilang kaya sampai bisa membeli mobil.
Di warung Bu Im, aku dan ayahku memesan teh manis dan kemudian memakan bekal kami dari Ijen Resort, sandwich, jeruk dan telur. Di warung bu Im juga dijual tahu goreng, tapi karena suhu yang sangat dingin tahunya seperti membeku. Om-om sopir yang ada di sana menjulukinya Es Tahu.
Selesai makan, ayahku membeli tiket untuk naik dan kami pun memulai perjalanan. Saat mengawali perjalanan aku masih lengkap dengan kostum gunungku, syal, sarung tangan dan topi. Karena dinginnya wktu bernafas mulutku mengeluarkan asap. Kakiku yang sudah tertutup rapat dengan sepatu gunung saja rasanya membeku. Batu-batu yang ada di sepanjang jalan tampak berembun.
Satu kilometer pertama perjalanan, jalannya masih terhitung landai. Aku masih belum merasa terlalu sulit. Tapi begitu memasuki kilometer kedua, jalan tiba-tiba menanjak curam dan berkelok-kelok. Di sini baru aku merasakan yang namanya naik gunung, rasanya pengen berhenti. Saat kami berjalan sekitar 300 meter, ada bonus jalan landai beberapa puluh meter. Di sini ada pohon sangat besar, rasanya pengen bergelayut di sana seperti di ‘monkey bar’ yang ada di sekolahku semasa di TK Montessori.

Dari tempat landai ini, pemandangan sangat indah. Di kejauhan tampak Gunung Raung, terlihat gagah ketika cuaca sedang cerah seperti ini. Semakin jauh kami melangkahkan kaki, metabolisme tubuh mulai jalan dan aku mulai berkeringat. Kostum gunungku mulai terasa panas, aku pun melepaskan jaket dan sarung tangan.
Selepas dari bonus jalanan landai, jalan kembali menanjak. Kami bertemu dengan banyak pendaki lain yang mulai kelelahan, mereka ada yang duduk di tunggul kayu sambil minum, ada yang berdiri saja sambil bersandar di tongkat.
Ada banyak pendaki gunung orang asing yang mendaki bersama kami. Kebanyakan mereka berasal dari Perancis. Kata ayahku, kawah Ijen memang sangat terkenal di Perancis.

Gara-garanya, beberapa belas tahun yang lalu. Seorang pembuat film dokumenter terkenal di Perancis bernama Nicholas Hulot, yang mengkhususkan diri membuat film tentang alam pernah datang membuat film di sini. Nicholas Hulot memiliki program acara TV bernama Ushuaïa Nature yang sangat digemari di Perancis dan negara-negara berbahasa Perancis seperti Swiss, Belgia dan Quebec , Kanada.
Sejak munculnya tayangan itu, Kawah Ijen menjadi sangat terkenal di Perancis dan negara-negara berbahasa Perancis. Bahkan sekarang, mungkin Kawah Ijen lebih dikenal orang di Perancis daripada di Indonesia. Karena begitu banyaknya turis Perancis yang ingin berkunjung ke kawah Ijen, sementara Banyuwangi kekurangan Hotel yang bagus. Seorang mantan Guide membangun Hotel di tengah persawahan di kaki Ijen. Itulah Hotel Ijen Resort, yang sekitar 80% pengunjungnya adalah orang Perancis.
Popularitas kawah Ijen semakin melambung di negara-negara berbahasa Perancis, ketika lima tahun yang lalu. Satu acara Reality Show tentang perlombaan keliling dunia berjudul ‘Peking Express’ yang sangat populer di negara-negara berbahasa Perancis, juga syuting di tempat ini.
*Penulis adalah putri Gayo asal Kute Rayang, Isak, kelahiran Desember 2004
Baca juga : [highlight]Pengalaman Mendaki Kawah Ijen [bag I[/highlight]]