Oleh. Drs. Jamhuri Ungel, MA[*]

Pembagian kerja dalam masyarakat tradisional tidak begitu menjadi perhatian, karena laki-laki dan perempuan masih mempunyai jenis pekerjaan yang sama dan kehidupan sehari-hari masih dijalani secara bersama, selanjutnya pada masa Indutri pembagian ini mulai nampak karena sebagian masyarakat sudah mempunyai pekerjaan yang beragam, laki-laki sebagai pegawai sementara isteri tetap bekerja sebagai petani atau sebaliknya isteri bekerja sebagai pagawai sedang suami sebagai petani. Pada masa ini egoisme individu mulai muncul dari masing-masing orang, mereka mulai mengkapling lahan dan bagian pekerjaan, juga sudah mulai muncul kepermukaan adanya sifat pelayan dan yang dilayani.
Ketika semua akses pekerjaan sudah terbuka secara bebas untuk semua laki-laki dan perempuan, laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan, mendapatkan pekerjaan baik di ruang privat maupun ruang publik. Hal ini merupakan hasil dari sebuah perubahan untuk menuju ke arah kemajuan yang seharusnya direspon secara baik oleh semua orang, karena semua orang tidak bisa menghindar dari sebuah perubahan, walau tidak harus meninggalkan apa yang menjadi tradisi selama ini. Pada kenyataannya banyak anggota masyarakat yang belum siap untuk mengambil sikap dari kemajuan ini, diantara penyebabnya adalah adanya sifat egoisme yang dimiliki pada era industeri ini yang pada masa sebelumnya belum ada. Pola sebagai pelayan dilabelkan perempuan dan orang yang dilayani ditujukan kepada laki-laki sangat menonjol. Dimana Laki-laki sangat merasa dihargai dan dihormati oleh masyarakat sekitarnya bila dilayani secara baik oleh isteri dan suami merasa hina dan menjadi cemoohan bila isteri mereka tidak melayaninya dengan baik. Demikain juga dengan perempaun dianggap baik oleh semua orang apabila ia bisa melayani laki-laki (suami) mereka secara baik dan ikhlas. Demikian sebaliknya bila laki-laki melayani suami maka dianggap suami itu sangat hina dan perempuan yang dilayani juga jadi pembicaraan di dalam masyarakat.
Pola pelayanan dan dilayani ini diamalkan scara kaku di dalam masyarakat sampai kepada saat mereka tidak mampu memenuhi kewajibannyapun tetap harus melayani dan dilayani. Inilah diantara sebab banyaknya terjadi perceraian di dalam masyarakat modern saat ini. Ada kasus yang bisa kita sebutkan di sini dengan tidak menyebut nama orangnya yang dapat penulis uraikan. Sepasang suami isteri yang menikah ketika keduanya belum mempunyai lapangan perkerja, menikah dengan kerelaan dan kemauan berdua, mereka saling kenal dan satu sama lainnya mengetahui latar belakang mereka masing-masing, dan selanjutnya setelah selesai pendidikan mereka berharap mendapat pekerjaan sebagaimana layaknya mereka yang sudah selesai kuliah. Dengan izin Allah salah seorang dari mereka yaitu isteri diterima menjadi PNS, berarti harapan mereka tercapai wlaupun belum keduanya menjadi pegawai, sedangkan suami dalam waktu lama tidak mendapat pekerjaan sebagai pegawai, namun demikian suami tetap berusaha dan bekerja sebagaimana layaknya orang yang tidak mempunyai pekerjan tetap dan hasil yang didapat juga tentu sepasti isteri sebagai pegawai negeri. Pernikahan berjalan normal sebagaimana diharapkan oleh keduanya sampai mendapatkan seorang anak, setelah itu keduanya berupaya mempertahankan posisi sebagaimana diajarkan dalam pola melayani dan dilayani.
Artinya suami kepingin kalau dalam keluarga isteri yang melayani dirinya, isteri harus bekerja di rumah sebagaimana layaknya perempuan yang diharapkan oleh semua orang sebagaimana perempuan yang hanya bekerja di rumah saja, juga sebaliknya perempuan walaupun dia telah bekerja sebagai pegawai dan punya penghasilan tetap masiih beranggapan kalau semua kebutuhan rumah tangga merupakan kewajiban laki-laki, dia selalu mengeluh dan merasa lelah dengan pekerjaannya dan hasil yang didapat juga selalu dianggap tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehingga akhirnya keduanya saling menyalahkan, kalau isteri tikak melaksanakan kewajiban untuk melayani suami dan steri menyalahkan suami tidak memenuhi kewajiban nafkah dalam rumah tangga. Ditambah lagi dengan lingkungan yang juga menganut pola pembagian pekerjaan sesuai dengan jenis kelamin secara kaku.
Menganggap sakral pola pelayan dan dilayani membuat orang merasa sangat bersalah bila pola itu dilanggar atau dirubah, alasan pensakralan ini biasa diambil dari pemahaman terhadap Kitab Suci yakni al-Qur’an dan Hadis, padahal dalam kajian-kajian ilmiah pemahaman itu sangat ditentukan oleh masa, lingkungan, ilmu dan kemampuan yang dimiliki oleh mereka sehingga pemahaman sangat mungkin berubah terhadap dalil al-Qur’an dan Hasir tersebut. Pada zamannya dimana laki-laki dan perempuan tidak mempunyai lapangan pekerjaan selain bertani masyarakat mampu memahami bahwa pesan al-Qur’an dan hadis dipahami dengan sama-sama bekerja dan saling membantu bahkan mereka menjadi pelayan dan sekaligus yang dilayani. Tetapi ketika kesempatan bekerja menjadi lebih luas bahkan lebih mudah dan sanggup dikerjakan oleh laki-laki dan perempuan masyarakat menjadi tidak siap merubah pemahaman, mereka takut meninggalkan tradisi yang mereka anggap sakra padahal tradisi tersebut tidak mengakar dalam masyarakat sebagaimana telah disebutkan (dimana munculnya tradisi ini sejak berubahnya masyarakat dari era agraris penuh menjadi era mesin).
Solusi yang diambil untuk menyikapi perubahan masa yang tidak bisa dihindarkan ini adalah setiap orang harus menempatkan posisi sesuai dengan kehendak dan kebutuhan hidup masing-masing dengan tidak meninggalkan tradisi kebersamaan dan saling membantu dalam hidup. Tidak mempertahankan ego yang hanya karena merasa malu dilihat atau dalam pendangan orang lain. Selanjutnya pemahaman terhadap dalil nash al-Qur’an dan Hadis bisa berubah sesuai dengan keadaan, kebutuhan dan pengetahuan dan yang tidak oleh adalah merubah dalil nashnya sendiri.






