Salman Yoga S
Perkembangan sastra di Asia Tenggara yang melingkupi Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand dan Brunei Darussalam ternyata menjadi topik pembicaraan menarik dalam berbagai diskusi kebudayaan di Eropa. Termasuk dalam Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) di berbagai kota dan kajian-kajian kesusastraan di Asia Timur. Sastra di negara-negara Asia Tenggara mendapat ruang dan dunianya sendiri yang terus berkembang.
Salah seorang sastrawan senior Malaysia, Siti Zainon Ismail dalam perjalanannya dalam diskusi-diskusi tersebut mencatatkan Gayo sebagai satu wilayah yang melekat dalam sejumlah karyanya. Di Indonesia dan Aceh khususnya namanya sudah tidak asing lagi. Ia kerap bertandang ke Banda Aceh, Jakarta, Medan, Yogyakarta dan beberapa kota lainnya walau hanya untuk sekedar mengikuti acara peluncuran buku atau diskusi-diskusi kecil.
Siti Zainon Ismail adalah seorang sastrawan wanita produktif. Belasan kumpulan puisinya telah diterbitkan dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Demikian juga dengan sejumlah karyanya dalam bentuk artikel, features, novel, termasuk lukisan-lukisan dan sketsa-sketsanya. Perempuan ramah dan familier yang tak pernah melepaskan balutan kerudung dari kepalanya ini dikenal juga sebagai salah seorang Guru Besar di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM).
Dalam dunia sastra Malaysia Siti Zainon Ismail adalah tokoh penting, selain penyair ia dikenal juga menggeluti lebih dari satu macam bentuk seni di antaranya adalah seni lukis, aktif dalam berbagai penulisan dan pertemuan serta kajian-kajian ilmiyah. Ia juga menulis cerpen, dan kritik sastra. Dalam sebuah tulisan yang dimuat Majalah Sastra yang diterbitkan oleh Dewan Sastra Malaysia (DSM) menulis; Siti Zainon Ismail adalah seniman berbakat besar dalam dunia lukis, beliau telah memenangi berbagai macam hadiah lukisan sejak tahun 1967. Sampai saat ini Siti Zainon Ismail telah menggelar karya lukisnya sebanyak 32 kali pameran diberbagai tempat dan momen.
Sebuah lukisan sakralnya tentang seorang penari Gayo yang tengah menarikan tari Guel dari kota Takengon yang berukuran 32 x 38 cm menjadi pajangan utama dalam setiap kali pamerannya. Lukisannya yang lain dengan nuansa tanah Gayo adalah tentang keindahan Danau Laut Tawar yang juga diberi judul dengan “Danau Tawar” telah terjual kepada seorang kolektor lukisan berkebangsaan Swedia. Tidak tanggung-tanggung, nilai lukisan itu dihargai setara dengan sebuah sedan mewah.
Kekaguman dan interes Siti Zainun Ismail terhadap kesakralan tari Guel hingga dalam sebuah puisinya yang berjudul “Rembang Si Ulen-Ulen” Ia menggambarkan bagaimana cuaca dingin menghantarnya sampai ke kutub utara yang dipenuhi taburan salju dan bentangan padang es yang membeku.
Gayo, khususnya Takengon telah membawa berkah dan inspirasi besar bagi penyair penting negara tetangga ini. Ia mengenal tanah Gayo sudah sejak 35 silam. Hubungan bathin antara Takengon dengan Siti Zainon Ismail seperti anak dan ibu, demikian katanya kepada penulis ketika secara bersama kami mengikuti sebuah acara peluncuran buku dan pentas “Baca Puisi Untuk Aceh” oleh penyair Indonesia-Malaysia di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta beberapa waktu silam.
Siti Zainon Ismail bertandang selama dua minggu penuh ke tanah Reje Linge pada tahun 1986. Kehadirannya dengan sejumlah penyair nasional lainnya kemudian menjadi tonggak sekaligus spirit bagi tumbuh dan berkembangnya dunia sastra di kota dingin itu. Dengan antusias saat ia membacakan sejumlah puisi-puisinya bersama Hamid Jabar dan Taufik Ismail bertempat di halaman Kantor Bupati pada tahun 1986. Pementasan itu sempat menjadi kenangan yang tidak terlupakan. Bagaimana tidak, para penonton saat itu mulai dari pelajar, pejabat pemerintah sampai masyarakat umum penuh sesak memadati lapangan.
“Takengon telah menjadi tanah air keduaku, Takengon telah menjadi ibu dari sejumlah puisi-puisi yang saya tulis,” katanya bangga sambil membacakan beberapa bait pusi di hadapan saya.
Penyair yang juga pernah menjadi istri dari mantan menteri Kabinet Gotong Royong asal Aceh Hasball M. Saat ini kerap juga di undang baca puisi di sejumlah negara, termasuk dalam Pembacaan Puisi Dunia (Woard Reading Poetry), seperti Thailand (1985), Belanda, Korea Selatan (1986), London, Indoesia (1985), Jerman (1986), Perancis (1998) serta sejumlag negara-negara lainnya.
Dalam sebuah bincang-bincang bersama sejumlah seniman dan satrawan Aceh dan Jakarta di Universitas Indonesia (UI) beberapa waktu yang lalu, Siti Zainon Ismail sempat mengutarakan kerinduan besarnya untuk dapat bertandang kembali ke Tanoh Gayo. Tanah yang telah menjadi tempat lahirnya sejumlah puisi-puisinya.
Kepada penulis kak Siti, panggilan akrabnya, juga sempat menitipkan salam untuk sejumlah seniman dan budayawan; “Dan jangan lupa taburkan hasrat dan kerinduanku ke bening Danau Tawar, Buntul Kubu, Atu Tingok, dan Singah Mata” katanya dengan harap penuh dan bola mata berbinar.
Tak berselang lama, pasca penandatanganan kesepakatan perdamaian GAM-RI, Ia-pun kembali bertandang ke tanah Iskandar Muda, termasuk mengunjungi beberapa tempat dan situs-situs bersejarah di Lhokseumawe, Bireun, Banda Aceh dan Takengon tentunya. Pada kesempatan ini, ia tidak lagi menitipkan salam, karena ia dapat bersilaturrahmi langsung dengan siapa saja yang ia kehendaki.
Di antara puisi yang sempat ia tulis dari keindahan kota Takengon adalah puisi yang berjudul Danau Laut Tawar, Guel, Ulen-ulen, Toweren dan masih banyak lagi. Sebuah pusinya dengan judul “Catatan Danau Laut Tawar” petikannya dapat disimak di bawah ini :
Suara yang turun di danaumu
Gemuruh sayap angin menampar, mungkin bau alam
Menolak tabir diri, siapa lagi kalau bukan Dia
Membentuk kelopak Dahlia atau Renggali
Kebun-kebun hijau kebanyakan rumput-rumput renik Bale
Sebenarnya kita tak kehilangan puncuk angin
Memberkas ranting hidup
Sebelum gugur Renggali
Berpucuk-pucuk pinus jati
Akar mendenyut di Burni Bintang, Bayi yang tumbuh
Bertapak Gajah Putih
Sebenarnyalah takkan hilang wajahmu
Gayo
Di jabat mentari kini
Satu dari sekian puisi Siti Zainon Ismail yang mengeksplorasi kesyahduan dan keindahan Takengon yang telah menjadi kenangan terindahnya, yang telah sempat menjadi taman sekaligus ibu dari karya-karyanya.[]