[Cerpen]
Fathan Muhammad Taufiq
Malam belum begitu larut, jam di dinding baru menunjukkan pukul 9 malam tapi udara dingin menyeruak penjuru kota Takengon. Kota yang berada di dataran tinggi Gayo itu memang terkenal berhawa sejuk, ditambah lagi saat ini sedang musim hujan. Nun di sebuah desa tak begitu jauh dari kota Takengon, Pak Dullah bersama isterinya bu Aisyah masih duduk di ruang tengah menonton televisi. Segelas kopi dan sepiring ubi goreng menemani mereka menonton. Mereka hanya berdua saja di rumah, ketiga anak mereka kuliah dan sekolah di luar daerah. Fitra putra sulungnya sekarang duduk di semester akhir di Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, sementara Annisa dan Ifah putri kedua dan ketiga mereka sedang menempuh pendidikan di salah satu pondok pesantren di Banda Aceh.
Handphone di kamarnya berbunyi, pak Dullah bangkit dari kursinya dilihatnya Fitra yang memanggil.
“Assalamu’alaikum ayah”, Fitra mengucap salam dari seberang sana.
“Wa alaikum salam”, sahut pak Dullah
“Gimana kabar ayah dan ibu di sini?”, Fitra melanjutkan percakapannya.
“Alhamdulillah, ayah sama ibumu sehat-sehat saja. Ngomong-ngomong ada apa Win malam-malam telefon”, pak Dullah coba menelisik.
“Begini yah, Fitra butuh tambahan dana untuk merampungkan skripsi”, Fitra yang dipanggil Win mengutarakan maksudnya.
“Perlu berapa?”
“Nggak banyak kok yah, kira-kira delapan jutaan lah”
“Iya lah, Insha Allah besok ayah kirim, tapi kamu harus janji menyelesaikan skripsimu secepatnya”, pak Dullah mengiyakan sambil memberikan sedikit warning.
“Baik yah terima kasih, Fitra janji, assalamu alaikum”, Fitra menutup pembicaraan.
“Siapa yang nelpon pak”
“Anak kita Fitra, katanya dia butuh uang delapan juta untuk skripsinya”
“Lho kok banyak sekali pak”
“Ya biasa lah, sudah semester-semester akhir begini pasti perlu banyak biaya”, sahut pak Dullah enteng sambil bangkit mengambil dan memeriksa saldo buku tabungan.
“Tinggal lima juta lebih sedikit, berarti masih kurang tiga jutaan, apa ibu masih punya simpanan?”
Bu Aisyah menggeleng “Kalo cuma seratus dua ratus ya ada, tapi kalo sampe tiga juta ya ibu nggak nyimpan, kopi kita di kebun juga belum merah pak”.
“Ya sudah bu, besok kita fikirkan, Insha Allah pasti ada jalan keluarnya”, pak Dullah mencoba bersikap tenang dan optimis seperti biasanya. Sebenarnya pak Dullah bisa saja meminjam kepada toke kupi, yang biasa membeli kopinya. Tapi dia paling enggan berhutang karena nanti dia akan terikat dengan sang toke yang kadang-kadang sesukanya memainkan harga kopi pada orang yang berhutang.
Pagi harinya, seperti biasa pak Dullah duduk di teras rumah sambil menikmati kopi, dia masih berfikir mencari tambahan uang tiga juta lagi. Tadi bu Aisyah sudah menyerahkan gelang emasnya untuk digadaikan, tapi dia enggan mengambilnya karena merasa itu menjadi tanggung jawabnya. Pak Dullah melemparkan pandangan ke sekeliling rumah yang dipenuhi pohon kopi itu, dilihatnya buah kopinya masih berwarna hijau, ada satu dua yang memerah. Baru saja dia menyalakan rokok ulung nipah–nya, sebuah mobil pick up berhenti tepat di depan rumahnya. Bak mobil itu penuh dengan kotak-kotak kayu kosong, dua orang turun dari dan langsung menghampir.
“Assalamu alaikum pak”, sapa kedua orang itu.
“Wa alaikum salam”, pak Dullah bangkit dari tempat duduknya.
“Maaf pak, apa batang pokat itu punya bapak?”, tanya salah seorang tamu itu sambil menunjuk beberapa pohon alpukat yang ada di samping rumah pak Dullah.
“Betul, itu punya saya”, pak Dullah juga mendongakkan kepalanya ke arah yang ditunjuk tamunya itu,
“Kalo boleh, kami mau membelinya pak”, sambung si tamu yang ternyata seorang pedagang pengumpul buah-buahan.
Ada beberapa batang pohon alpukat yang sedang berbuah lebat dan sepertinya buahnya sudah mulai tua. Selama ini memang dia tidak begitu memperhatikan tanaman yang dianggap hanya sebagai selingan di kebun kopi itu. Kalaupun pohon alpukat itu berbuah, dia hanya memberikan buahnya cuma-cuma kepada tetangga dan saudara-saudaranya yang memintanya atau sekedar untuk oleh-oleh tamu-tamu yang datang ke rumahnya. Sesekali dia mengirimkannya untuk para ustadz dan ustadzah di pesantren dimana dua anaknya belajar, tidak pernah sekalipun dia menjual buah-buah alpukatnya. Dia nampak berfikir sejenak yang memang lagi butuh uang untuk anaknya.
“Ya boleh saja, tapi saya nggak bisa manjat”
“Nggak apa-apa pak, biar teman saya ini yang memanjatnya”, sahut si pedagang sambil mengeluarkan karung kecil yang sudah dimodifikasi menjadi tas bertali, serta segulung tali dari mobilnya.
Setelah mendapat ijin dari pak Dullah, seorang dari tamu itu mulai memanjat pohon-pohon alpukat itu, dia memasukkan buah-buah alpukat kedalam “tas”nya, setiap kali tasnya penuh, dia menurunkan tas itu dengan tali supaya buah-buah itu tidak rusak atau pecah, teman yang satunya lagi menerima dan memindahkan buah-buah itu kedalam kotak-kotak kayu yang dibawanya.
Sudah sepuluh batang alpukat yang dipanjat dan buah alpukat yang terkumpul sudah 14 kotak, orang yang memanjat pohon itu hanya mengambil buah yang sudah tua saja, sementara buah-buah yang masih kecil tetap dibiarkannya bergelantungan di pohonnya. Dihadapan pak Dullah, kedua orang itu mulai menimbang.
“Semuanya ada delapan ratus dua puluh kilo pak, berapa mau bapak jual per kilonya pak”
Pak Dullah sedikit bingung, dia nggak tau harga pasaran alpukat karena memang tidak pernah menjualnya.
“Ya sudah, ambil saja lima ribu per kilo”, pak Dullah mengira-ngira. Si penjual tidak menawar lagi dan langsung setuju, karena dia tau alpukat yang dia beli kualitasnya bagus, daging buahnya tebal, tekstur buahnya lembut dan nyaris tidak berserat, kulit buahnya pun terlihat mulus. Pedagang itu menyerahkan uang sejumlah Rp 4.100.000 kepada pak Dullah kemudian segera permisi meninggalkan tempat itu.
Sepeninggal kedua orang itu, Pak Dullah masih menimang-nimang uang di tangannya,
“Alhamdulilah, terima kasih ya Allah, tanpa aku minta pun Engkau telah memberikan jalan kepadaku”, gumamnya. Dia tidak menyangka sama sekali sepagi ini sudah mendapatkan uang sebanyak itu, ternyata pohon-pohon alpukat yang ditanamnya beberapa tahun yang lalu itu benar-benar membawa berkah. Aawalnya dia menanam pohon-pohon alpukat itu hanya sekedar sebagai pelindung tanaman kopi, disaat kopi belum bisa di petik ternyata alpukat itu telah memberi solusi keuangan, tepat ketika ia membutuhkannya. Senyumnya mengembang “Aku harus segera ke bank, mengirim uang ini untuk biaya kuliah anakku”, ucapnya dalam hati.
Pak Dullah masuk ke rumah mengambil buku tabungan, setelah berpamitan kepada isterinya iapun menuju bank.[SY]