Konflik Gajah; Rakyat Gayo Meregang Nyawa, Pemerintah Aceh Dimana?

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

Saat ini rakyat Gayo masih dalam suasana berduka akibat dari serangan Gajah liar  di Kampung Musara Pakat , Dusun Gedok, Kecamatan Pintu Rime Gayo.

Langkah cepat dari Pemkab Bener Meriah dalam merespon tragedi ini patut kita apresiasi. Mulai dari mengunjungi keluarga korban sampai berkoordinasi dengan BKSDA dan PKSL Unsyiah untuk menyiapkan antisipasi agar tragedi ini tidak berulang di masa depan sudah dilakukan. Meskipun seharusnya yang paling bertanggung jawab atas terjadinya tragedi ini adalah Pemerintah Provinsi Aceh.

Mengapa yang paling bertanggung jawab adalah Pemerintah Aceh?

Sebab Gajah, hewan dilindungi yang ada di Bener Meriah adalah Gajah yang sama dengan yang ada di Bireun, Aceh Utara dan Aceh Timur. Bukan semata berada di Bener Meriah. Jadi jelas tanggung jawab terbesar dalam urusan konflik Gajah dan Manusia ini ada di Pemerintah Aceh bukan Pemkab Bener Meriah.

Tragedi yang mengenaskan ini sebenarnya tidak perlu terjadi seandainya pemerintah provinsi Aceh benar-benar peduli dengan rakyatnya (kalau mereka memang benar menganggap rakyat Gayo adalah rakyat Aceh juga) dan tidak hanya sibuk dengan urusan rebutan jabatan politik dan kepentingan kelompok.

Serangan Gajah yang terjadi di Pintu Rime Gayo bukanlah sesuatu yang tidak dapat diprediksi.  Wilayah Bener Meriah yang  memiliki Topografi relatif datar sudah sejak lama diketahui sebagai habitat favorit Gajah. Kondisi saat ini bahwa manusia hidup berbagi wilayah dengan gajah-gajah liar ini, bukanlah hal yang baru hari ini diketahui oleh Pemerintah Provinsi Aceh. Bener Meriah sudah sejak lama masuk dalam Peta rawan konflik antar Gajah dan Manusia. Maraknya pembukaan dan alih fungsi Hutan sekitar wilayah ini yang mengganggu habitat Gajah dan meningkatkan resiko serangan gajah ke perkampungan penduduk. Juga bukan informasi yang tidak diketahui pemerintah Provinsi Aceh.

Pemerintah Aceh bahkan telah mendapat mandat Undang-Undang untuk melindungi warga di wilayah rawan konflik ini. Tata cara pencegahan konflik antara Gajah dengan manusia semua telah termuat dalam Peraturan Menteri kehutanan P. 48/Menhut-II/2008. Di sana jelas tertulis bagaimana pencegahan ini dimulai dari pemantauan keberadaan Gajah, Penjagaan pada daerah perbatasan habitat gajah dengan pemukiman, dimana konflik mungkin terjadi, Pengusiran dan Penggiringan ke Habitat  sampai Tindakan mematikan dan atau euthanasia.

Masalahnya, semua itu membutuhkan dana. Dan yang memiliki dana ini tentu saja pemerintah. Tapi selama ini, pemerintah provinsi Aceh jelas abai dengan resiko kematian yang senantiasa menghantui rakyat Gayo yang tinggal di Bener Meriah.

Ketika resiko kematian setiap hari dihadapi oleh Rakyat Gayo yang tinggal di daerah rawan serangan Gajah. Pemerintah Aceh masih sibuk dengan urusan birokrasi, untuk menurunkan dana. Harus ada koordinasi dengan DPRA dan berbagai birokrasi lainnya. Melihat lambatnya aksi pemerintah Aceh dalam penanggulangan serangan Gajah ini. Nyata sekali terbaca kalau Pemerintah dan DPR Aceh menganggap remeh serangan Gajah yang sudah berulangkali terjadi. Sampai terakhir seorang ibu Gayo warga Bener Meriah, kehilangan nyawa menyusul beberapa korban nyawa sebelumnya.

Sangat janggal dan sama sekali tidak lucu membayangkan Aceh yang memiliki dana APBA mencapai 11 Triliun lebih, tidak mampu mengalokasikan dana beberapa milyar untuk menyelamatkan nyawa rakyat Gayo yang tinggal di wilayah yang rawan konflik dengan gajah.

Sikap pemerintah Aceh yang meremehkan nyawa rakyat Gayo ini juga terbaca jelas dari situasi yang berkembang sampai saat ini. Perhatian atas tragedi di Pintu Rime Gayo ini hanya hanya dari lembaga-lembaga seperti BKSDA di mana Kepala instansi ini Genman S. Hasibuan bersama Staf Pusat Kajian Satwa Liar FKH Unsyiah Wahdi Azmi yang berasal dari Medan langsung berkoordinasi dengan Bupati Ruslan Abdul Gani, belakangan Dede Suhendra dari WWF menyatakan lembaganya akan turun ke Bener Meriah untuk memberikan pelatihan cara pengusiran Gajah secara aman. Padahal WWF tidak punya program di Bener Meriah.

Sementara satu-satunya anggota DPRA yang berkomentar tentang tragedi ini adalah Ramadhana Lubis yang naik dari daerah pemilihan Bener Meriah. Meskipun pernyataan Ramadhana Lubis yang memiliki latar belakang aktivis lingkungan yang terkesan menimpakan tanggung jawab sepenuhnya kepada BKSDA, padahal urusan dana ada di pemerintah bukan di BKSDA. Dan sebagai legislator, Ramadhana juga seharusnya membaca peraturan menteri kehutanan yang menyatakan bahwa penanganan konflik hewan liar ini tidak hanya tanggung jawab satu pihak saja.

Dan lebih konyol lagi ketika ketua Fraksi Nasdem ini mengharuskan LSM Flora dan Fauna untuk komit dan ikut menangani persoalan gajah ini dengan menjadikan keterbatasan dana di kabupaten, sebagai alasan yang menyebabkan tidak maksimalnya upaya pengusiran gajah. Padahal LSM Flora dan Fauna sejak tahun 2014 sudah tidak mengurusi Gajah lagi. Dan urusan dana sebenarnya adalah tugas DPRA untuk mendesak pemerintah Aceh. Dimana Ramadhana Lubis adalah anggotanya. Dan ini harus dilakukan secepatnya, jangan sampai akibat kelalaian pemerintah Aceh, lebih banyak lagi rakyat Gayo yang kehilangan nyawa, harta benda serta sumber penghasilan utama dari sektor pertanian dan perkebunan.

Benar Bupati Bener Meriah sudah bersepakat dengan BKSDA dan Pusat Kajian Hewan Liar Unsyiah membuat komitmen untuk segera memasang GPS Collar pada salah satu individu dalam kelompok Gajah yang menyerang warga Pintu Rime Gayo, sebagai sistem peringatan dini. Tapi itu semua akan sia-sia jika tidak ditindaklanjuti dengan pengerahan gajah jinak dengan cepat, tidak didukung dengan ketersediaan dana sebagai pengganti tanaman warga yang dirusak gajah dan berbagai program penanganan konflik lainnya. Yang kesemuanya tentu saja tidak akan mampu ditanggung oleh Pemkab Bener Meriah sendiri, tanpa campur tangan provinsi.

Tapi terlepas dari segala kekurangannya, paling tidak Ramadhana sudah menunjukkan empati, kepada korban. Sedangkan anggota DPRA Asal Gayo yang lain, Iberamsyah, Bardan Sahidi, Ismaniar dan yang lainnya belum kita dengar komentarnya.

Lalu bagaimana dengan pemerintah Aceh yang sebenarnya paling bertanggung jawab atas terjadinya tragedi ini?.

Ibarat kata pepatah “Jauh panggang dari api”. Jangankan menyatakan komitmen untuk mencegah tragedi ini terulang. Sampai hari ini, setelah tragedi ini lewat beberapa hari, sekedar ucapan duka cita terhadap korban dari gubernur Aceh, Ketua DPRA atau Wali Nanggroe pun tidak pernah kita dengar. Seolah warga Gayo, tidak memiliki pemerintahan tingkat provinsi.

Melihat sikap tidak peduli pemerintah, DPRA dan Wali Nanggroe Aceh pasca tragedi serangan Gajah Liar di Pintu Rime Gayo ini. Sulit bagi kita untuk tidak menduga bahwa ucapan Abdullah Saleh, anggota DPRA asal Partai berkuasa yang mengatakan “Tidak bisa berbahasa Aceh, Orang Tidak Jelas”, adalah Ideologi dari pemerintah Aceh yang sedang berkuasa pada hari ini.

*Pemerhati sosial, budaya, politik dan lingkungan

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.