Wajah Baru “Aneh” Tugu Aman Dimot

oleh
Tugu Aman Dimot bersebelahan dengan Masjid Agung Ruhama Takengon. (Foto : Sylviana Mirahayu Ifani)

Catatan : Sylviana Mirahayu Ifani*

Tugu Aman Dimot dari sisi barat laut. (Foto :
Tugu Aman Dimot dari sisi barat laut. (Foto : Sylviana Mirahayu Ifani)

Kota Takengon sebagai ibukota Kabupaten Aceh Tengah telah melalui sejarah panjang selama hampir 438 tahun. Kota ini kaya akan berbagai produk budaya termasuk arsitektur. Namun ada yang berubah dari “wajah” arsitektur kota Takengon beberapa waktu terakhir. Sebuah monumen yang didedikasikan kepada seorang pahlawan Tanoh Gayo, tugu Aman Dimot, berubah secara dramatis menjadi sesuatu yang ganjil.

Tidak untuk menyalahkan pihak manapun termasuk pengelola tugu yang terletak di komplek kantor Bupati Aceh Tengah tersebut, namun tampaknya ini adalah saat yang tepat bagi kita masyarakat Gayo bersama-sama dengan pihak pengelola untuk lebih memahami lingkungan. Tugu bersama dengan bangunan lainnya merupakan bagian dari lingkungan kita yang dikenal dengan istilah built environment (lingkungan terbangun).

Lingkungan terbangun itu sendiri adalah bagian dari arsitektur. Rumah, kantor, toko, rumah sakit, masjid, termasuk monumen adalah bagian dari arsitektur kota ini, dan semuanya sangat dekat dengan masyarakat. Seorang warga Takengon tidak dapat mengatakan bahwa dirinya tidak memiliki kaitan dengan objek-objek arsitektur kota ini sebab lingkungan terbangun itu sendiri adalah tempat ia melakukan aktivitas sehari-hari.

Tampak depan (timur) Tugu Aman Dimot. (Foto : Sylviana Mirahayu Ifani)
Tampak depan (timur) Tugu Aman Dimot. (Foto : Sylviana Mirahayu Ifani)

Pada dasarnya monumen merupakan bentuk penghargaan kepada seseorang, kelompok orang, maupun peristiwa tertentu. Kata monumen berasal dari bahasa latin monere yang berarti memberitahu, menegur dan mengingatkan. Monumen dapat hanya berbentuk bongkahan batu, pahatan, atau desain arsitektural (kebanyakan berbentuk geometri simetris), namun inti utama dari sebuah monumen adalah pesan yang disampaikannya.

Monumen adalah “teks” yang dapat “dibaca” (Gombrich, 1972). Dengan atau tanpa tulisan yang menyertainya, monumen dapat disamakan dengan sebuah papan pengumuman untuk mengingatkan publik pada peristiwa atau tokoh kepada siapa ia didedikasikan. Arsitektur monumen memiliki semangat formal (resmi), artinya secara desain ia bersifat formalistik sebab tujuan emosional dari pembangunannya adalah menciptakan suasana serius dan penuh perenungan (Elliott, 1964). Dari sini jelas bahwa desain sebuah monumen tidak didasarkan pada selera umum atau personal melainkan pada semangat formal yang merujuk pada tokoh terkait.

Tugu Aman Dimot bersebelahan dengan Masjid Agung Ruhama Takengon. (Foto : Sylviana Mirahayu Ifani)
Tugu Aman Dimot bersebelahan dengan Masjid Agung Ruhama Takengon. (Foto : Sylviana Mirahayu Ifani)

Kembali pada pembahasan tugu Aman Dimot. Masyarakat Gayo pada umumnya tentu mengetahui sejarah tentang perjuangan Abu Bakar Aman Dimot sebagai pahlawan kemerdekaan Republik Indonesia. Keberanian, sifat pantang menyerah dan kecintaannya terhadap tanah air puluhan tahun lalu adalah beberapa dari banyak hal yang diharapkan kembali menjadi perenungan dan inspirasi kita ketika melihat tugu Aman Dimot saat ini. Itulah inti dari sebuah tugu peringatan, untuk membuat kita mengenang kembali dan mengambil nilai-nilai positif dari tokoh Aman Dimot.

Berdasarkan hal tersebut maka muncul pertanyaan, dengan melihat tugu Aman Dimot saat ini, apa yang anda rasakan? Adakah dengan melihat tugu tersebut mampu membangkitkan kenangan akan sejarah jiwa patriotik Aman Dimot dalam benak anda?                                         

Perubahan warna tugu Aman Dimot yang sangat signifikan di tahun 2014 lalu adalah bagian dari desain yang sulit untuk difahami. Alih-alih membangkitkan kenangan jiwa patriotisme Aman Dimot, pilihan warna baru tersebut bahkan cenderung tidak menciptakan atmosfer serius maupun formal yang mengajak publik untuk terlibat dalam suasana perenungan.

Tugu Aman Dimot sebelum perubahan warna (2012). (Foto : kaloada.blogspot.com)
Tugu Aman Dimot sebelum perubahan warna (2012). (Foto : kaloada.blogspot.com)

Disamping itu, dalam pemilihan warna mestinya dapat disadari bahwa tugu ini berada di zona beriklim tropis. Cahaya matahari pada zona iklim tropis membuat warna kelihatan lebih cerah dibandingkan dengan penerapan warna yang sama di belahan dunia yang lain.

Sangat menyakitkan melihat warna-warna vibran atau mencolok pada bentukan geometris bersebelahan langsung dengan masjid agung Ruhama yang memiliki kubah kerawang megah didominasi warna putih. Kiranya tidak diperlukan jiwa seni atau pendidikan arsitektural yang tinggi bagi seseorang untuk menilai betapa absurd-nya warna-warna vibran ini.

Namun demikian kita tetap menghargai usaha perbaikan yang dilakukan pengelola. Kita percaya mereka mengusahakan yang terbaik untuk perkembangan kota Takengon, dan tentunya akan menerima masukan-masukan untuk itu. Kita berharap untuk kedepannya penataan “wajah” kota Takengon dapat lebih difokuskan pada landasan budaya dan filosofi desain yang memadai, dan tentunya dilakukan oleh pihak-pihak yang berkompetensi dibidang tersebut. (01/01/2015 – S.Ifani)

 *Mahasiswi Program Magister Arsitektur Universitas Sumatera Utara 

 

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.