Mengapa Harus Bernama Bener Meriah?

oleh

Oleh : Hammaddin

 Ketika kabut tipis masih membalut perbukitan. Ufuk timur masih berupa hamparan kabut putih. Semilir angin gunung yang sejuk. Cahaya mentari mulai menjilati pucuk-pucuk pepohonan. Bumi Bener Meriah  mulai tergugah. Telah banyak menjadi saksi bisu perjalanan sejarah. Menghiasi kebesaran bangsa dan negara ini. Anak negerimu santai bersahaja. Lentuman budayamu yang sahdu menggugah semangat. Hasil bumi negerimu mulai dilirik mata dunia. Kopimu terunik di dunia. Pinusmu terbaik di dunia. Tehmu terharum di dunia. Engkau dijuluki ; Bumi Gajah Putih. Miniatur Negeri Eropa Pedalaman. Engkau pecahkan rekor MURI ; Didong melibatkan 2013 orang. Minum kopi terbanyak. Riuhnya kicauan canda burung. Dipucuk pepohonan tinggi. Lambaian  daun pinus dan kopi. Saat mentari mengecup horizon. Gelap cepat menyergap. Dingin mulai bersahabat dengan tubuh

Hammaddin
Hammaddin

Kabupaten Bener Meriah merupakan hasil pemekaran dari kabupaten Aceh Tengah dengan jumlah penduduk ±115.569 jiwa yang tersebar di 10 kecamatan. Kabupaten ini merupakan kabupaten yang termasuk masih muda di dalam wilayah pemerintahan Aceh. Setelah resmi menjadi daerah otonomi dan melepaskan diri dari kabupaten Aceh Tengah pada tahun 2003 berdasarkan UU No 41 tahun 2003 tentang pembentukan kabupaten Bener Meriah tanggal 18 Meret 2003 yang sekarang memasuki usia yang XI.

Terbentuknya kabupaten Bener Meriah sebagai daerah otonom dan ditetapkan menjadi kabupaten baru merupakan langkah awal untuk memulai percepatan pembangunan menuju masyarakat yang lebih sejahtera. Tujuan pembentukannya adalah untuk mempercepat proses pembangunan sehingga dalam waktu yang cakup singkat dapat berdiri sejajar dengan kabupaten lainnya yang berada dilingkungan Pemerintahan Aceh Darussalam (NAD). maka dengan wilayah ini mengambil oleh 7 kecamatan dari kabupaten induk.

Keadaan suhu udara di daerah ini agak tetap, rata – rata 20.1 c, bulan terpanas adalah pada bulan April dan Mei (20.6 c) dan terdingin pada bulan September (19.7 c), distribusi hujan sangat variable, dimana pada musim kering dan musim hujan biasanya turun hujan 100 mm dengan curah hujan tertinggi dalam satu hari satu malam adalah 100 mm

Keadaan udara tidak begitu lembab, kelembaban ini biasanya rata-rata 80 %. Maksimum 84 % terjadi pada bulan Nopember dan minimum 78 % pada bulan Juni. Angin berhembus pada umumnya 2 musim yaitu musim panas di utara dan musim dingin di selatan. Karena pengaruh geografis, keadaan ini hanya terasa dilapisan udara bagian atas saja. Keadaan yang sering terjadi turun hujan dan di sertai angin kencang dengan kecepatan 20 mpd.

Kabupaten ini berdasarkan letak geografis dan kondisi alamnya, memang bukan hal baru lagi bahwa wilayah yang seluruhnya berada di kawasan penggunungan. Mayoritas penduduknya beretnis Gayo dan penduduknya masih mengandalkan sektor pertanian sebagai mata pencaharian utama. Hal ini diakibatkan oleh kondisi kemiringan tanah dan topografisnya yang berbukit-bukit. Lahan-lahan ini kemudian sebahagian dipergunakan sebagai lokasi pertanian seperti kacang tanah, wortel, bawang, cabe, coklat, vanila dan lain sebagainya. Sementara di sektor perkebunan, kopi merupakan komoditi unggulan disamping komoditi pendukung lainnya, seperti kentang, wortel, dan lain sebagainya.

Sejarah Bener Meriah
Menurut suatu sumber bahwa kata Bener Meriah berasal dari bahasa Gayo yang terdiri dari 2 buah kata, yakni : Bener artinya dataran yang luas. Sedangkan Meriah artinya senang. Jadi dapat disimpulkan bahwa arti Bener Meriah adalah sebuah dataran yang luas dan menyenangkan. Ada juga yang mengatakan Bener Meriah adalah pangeran pada masa kerajaan Linge yang makamnya diyakini terletak di daerah Samarkilang, kecamatan Syiah Utama, kabupaten Bener Meriah.

Ada juga pendapat mengatakan bahwa Bener Meriah  memiliki hubungan dengan legenda “Gajah Putih”. Yaitu di ambil dari nama abang kandung Segenda yang berhasil membawa Gajah Putih dari Negeri Linge ke Kute Reje (Banda Aceh sekarang) yang bernama Meria. Mereka adalah putra raja Linge XIII (M. Saleh Bukit) yang beribukan puteri kelurga Sultan Malaka. Ayahanda mereka (Raja Linge XIII) wafat ketika menjalankan tugas sebagai wakil Kerajaan Aceh  dalam pemerintahan Sultan Johor (Tahun 938 H-1533 M) yang dipimpin oleh Sultan Alaoedin Mansoer Syah Bin Sultan Mahmud Syah dan beliau juga ditugasi memimpin sebuah pulau dekat Selat Malaka dengan program  pokok mengembangkan kerajaan Johor dalam menghadapi Portugis (lihat master buku Visiklopedia Bumi Gajah Putih hal 9).

Kabupaten Rimba Raya
Yang menjadi pertanyaan, mengapa nama kabupaten hasil pemekaran dari Aceh Tengah itu bernama Bener Meriah? Kenapa tidak bernama kabupaten Rimba Raya yang telah begitu mendunianya ?

Kalau hanya beralasan pada sebuah legenda semata. Menurut hemat penulis, merasa tidak cukup beralasan sehingga nama tersebut diresmikan sebagai nama sebuah kabupaten. Kita mungkin mengetahui secara filsafat sehingga sesuatu dianggap menjadi sebuah kebenaran secara ilmiah harus melalui proses perpikir yang sistematis (baca ; nagasi-thesa-hipotesa-anti thesa-nagasi baru).

Efek psikologis yang ditimbulkanya adalah ada rasa tidak memiliki emosi sebagai  wilayah Bener Meriah. Contoh kasus ; ketika ada orang yang menelpon temannya, tapi dia nelponnya (baca ; di Rakal, Timang Gajah, Lampahan, Pante Raya, Teritit, dan Pondok Baru ). Dia tanya, di mana posisi sekarang. Kawannya menjawab, aku sudah di Bener Meriah (baca ; Simpang Tiga). Timbul sebuah pertanyaan. Memangnya ; Rakal, Timang Gajah, Lampahan, Pante Raya, Teritit, dan Pondok Baru bukan wilayah Bener Meriah. Apa Bener Meriah hanya Simpang Tiga. Dan hal  ini sering terjadi.

Kita terkadang secara membabi-buta mengklim bahwa yang berbau legenda maupun mitos menjadi sebuah kebenaran. Hal ini sebabkan terjadi pengulangan-pengulangan yang terus menerus dari satu ke generasi ke generasi selanjutnya. Apa lagi yang menuturkannya memiliki kharisma atau memiliki akses ke lingkaran kekuatan politik.

Pernah dalam suatu acara seminar yang diadakan di Bukit Tinggi-Sumatra Barat, yang kebetulan penulis menjadi salah satu nara sumber sebagai seorang Antropolog. Kita penulis memperkenalkan diri berasal dari Aceh-Bener Meriah. Para audien kurang begitu mengenalnya. Tapi, ketika penulis menyinggung Rimba Raya. Audien langsung dengan spontan menyebut Radio Rimba Raya (baca : R3).

Dalam session break, ada seorang peserta seminar bertanya kepada penulis. Mengapa harus Bener Meriah namanya, kenapa tidak Rimba Raya? Penulis hanya menceritakan sesuai dengan cerita di atas.

Dia mengomentari, Aceh khan syaria’at Islam, kok masih percaya kepada hal-hal yang berbau takhyul. Dalam Islam jelas masalah ruh adalah urusan tuhan, sesuai dengan firman Allah dalam surat Al Israa’ ayat 85 yang berbunyi : Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh, katakanlah roh itu termasuk urusan tuhanku dan tidaklah kamu diberi pengetahuanan melainkan hanya sedikit.

Memang harus kita akui secara jujur, kalau nama Rimba Raya dulu ditapalkan sebagai nama kabupaten Bener Meriah. Otomatis kata Rimba Raya sudah begitu menasional, malahan sangat mendunia. Dan banyak kata tersebut tercantum dalam buku- buku sejarah kemerdekaan Indonensia. Dan Negara Republik Indonesia bisa eksis kembali adalah karena jasa kiprah R3.

Radio Rimba Raya
Siapapun tidak akan dapat membantah, bahwa Indonesia Merdeka karena jasa Radio Rimba Raya (R3),  yang terletak di Daerah Dataran Tinggi Tanah Gayo atau tepatnya dikecamatan Pintu Rime, yang sekarang menjadi wilayah bagian kabupaten Bener Meriah (pemekaran dari Kabupaten Aceh Tengah), yang jaraknya ±20 km dari Kota ibu kota Kabupaten yaitu Redelong atau ±39 km jaraknya dari Kota Takengon yang merupakan ibu kota Kabupaten Aceh Tengah, dan ± 61 km jaraknya dari Kota Bireuen.

Daerah Rimba Raya ini pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia tahun 1948-1949 menjadi tempat pemancar radio. Dan dari sanalah disiarkan pesan-pesan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Karena pada saat itu Yogyakarta yang merupakan ibu kota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia telah dikuasai Belanda. Signal Colling “Suara Radio Republik Indoneia”, “Suara Indonesia Merdeka”, “Radio Rimba Raya”, “Radio Divisi X”, “Radio Republik Indonesia”.

R3 sangat berperan sangat besar terhadap kelangsungan pemerintahan Republik Indonesia. Pada Saat itu Belanda telah menguasai ibu kota pemerintahan Indonesia. Dan mengumumkan lewat radio Hiverson (miliki Belanda) kepada dunia, bahwa Negara Indonesia tidak ada lagi.

Tapi dengan suara yang sayup lantang dari Dataran Tinggi Tanah Gayo, Radio Rimba Raya mengcansel berita tersebut dan mengatakan bahwa Indonesia masih ada. Akhirnya, akibat berita yang di suara itu, banyak negara dunia dengan serta merta mengakui kemerdekaan Indonesia. Dan dengan ada berita yang disiarkan R3  merupakan pukulan “KO” bagi Pemerintahan Belanda.

Ada beberapa alasan atau faktor yang mendorong didirikan sebuah pemancar di belantara hutan tanah Gayo yang di beri nama Radio Rimba Raya, yakni antara lain sebagai berikut : Pertama ; untuk meng-counter suara Radio Belanda yang dipancarkan dari Medan dan sabang, yang hampir setiap malam melancarkan “psywar” (perang urat syaraf) terhadap para pejuang dan penduduk di daerah republik di Sumatera bagian Utara yakni Aceh dan Sumatera Utara.

Perang suara di udara antara R3  yang kadang-kadang menamakan dirinya Suara Indonesia Merdeka dipancarkan semula dari desa Krueng Simpur, terus berlangsung seru dengan radio milik Belanda di Medan, radio Batavia, bahkan juga radio Hilversium di Holland. Debat ini dipantau oleh kepala perwakilan RI di India Dr. Sudarsono lewat radio Penang di Malaya dan meneruskannya kepada kepala perwakilan RI di PBB, L. N. Palar.

Inilah dasarnya pihak Belanda memburu dan ingin menghancurkan pemancar ini secepatnya. Karena pengalaman ini pula yang menyebabkan lokasinya selalu berpindah- pindah. Dari desa Krueng Simpur, kemudian ditarik ke pengunungan Cot Gue di Aceh Besar. Ternyata di sini pun pemancar ini tidak aman. Akhirnya diinstruksikan lagi oleh GM untuk diamankan di pengunungan Rimba Raya yang terkenal strategis dan punya hutan lebat yang sulit ditembus pesawat terbang Belanda.

Kedua ; Dengan terpilihnya Dataran Tinggi Tanah Gayo sebagai terugval basis gerilya jangka panjang, sudah tentu diperlukan sebuah pemancar yang memiliki tekanan tinggi dengan kekuatan yang dapat diandalkan.

Waktu itu seluruh ibukota provinsi di seluruh Jawa dan Sumatera sudah diduduki Belanda. Suara RRI pun tidak kedengaran lagi. Hanya Radio Rimba Raya ini dalam situasi tranisi yang sulit itu dapat berfungsi sebagai alat perjuangan, yang mampu menyalurkan aspirasi nasional. Kevakuman itu segera dapat diisi, sehingga rakyat Indonesia tidak mudah diombang-ambing oleh isu-isu yang menafikkan perjuangan Republik, baik di dalam maupun di luar negeri.

Ketiga. R3 yang mempunyai daya pancar dengan kekuatan 300 watt telegrafi dan 300 watt telefoni, memelihara komunikasi dengan pemimpin pusat perjuangan di sekitar pedalaman Yogyakarta dan Surakarta. Dan R3 inilah yang menyiarkan (dikutip dari master buku Visiklopedia Bumi Gajah Putih hal 34-36).

Penutup
Ini penulis ungkapkan semua bertujuan hanya sebagai wujut kepedulian penulis terhadap keberadaan kabupaten Bener Meriah, yang sekarang lagi menggeliat membangun diri dengan gaya kepemimpinan R2. Ditambah lagi dengan Sekda baru yang merupakan mantan kepala dinas ditingkat provinsi dan pernah menjadi dekan selama 2 periode.

Untuk membawa tanah kabupaten Bener Meriah kita ke hari depan yang penuh tantangan, yang hanya dapat kita atasi dengan selamat, dengan sebesar mungkin sikap ilmiah, rasional, keterbukaan, kesediaan menerima kritikan dan koreksi, dengan pola yang horizontal dan egaliter agar terbuka, kemungkinan mengeluarkan pikiran-pikiran alternative lewat proses kreatif yang bebas oleh sebanyak mungkin orang dalam stuktur yang benar-benar demokrasi dengan tidak mengenyampingkan hak-hak azasi manusia sebagai landasan yang kuat untuk mengwujudkan daerah yang maju dan diberkati Allah swt.

*Penulis adalah antropolog, waksek bid. Kurikulum  di SMAN 1 Timang Gajah,  dan Ketua P3M  Fisip UGP – Takengon

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.