Oleh : Feri Julianto Selian
Kliwon namanya, selalu menyendiri di bawah tebing diantara pepohonan pinus dipinggir danau, duduk termenung menatap ke tengah. Matanya jarang sekali berkedip, sesekali kepalanya mengikuti arah perginya sebuah boot motor, atau mengikuti lambannya seorang nelayan tua mengayuh perahunya memutar menebar benang-benang rajutan yang sudah kusam.
Kliwon selalu seorang diri, tidak pernah sekalipun berteman saat sedang menyendiri di pinggir danau itu. Tidak pernah memilih tempat lain selain di bawah tebing diantara pohon-pohon pinus, dipinggiran danau itu!
Orang-orang kadang meneriakinya “gila!”, namun sudah pasti dia tidak mendengarnya, karena dia sangat jauh dibawah tebing sana. Sudah setengah tahun ini dia adalah penghuni tetap pinggir danau itu, banyak pemancing yang sering mangkal di situ satu persatu pindah mencari lokasi lain, sehingga hampir saja orang menamai tebing itu dengan “tebing gila!”
Kliwon tidak sadar bahwa dia telah menjadi terkenal dikalangan penduduk kota kecil yang dingin itu, orang-orang diterminal membicarakannya, diwarung kopi tempat para penggila pancing sering mengopi, dia juga menjadi pembicaraan utama. Macam-macam asumsi orang tentang Kliwon, dari mulai mengatainya “gila!”, “stres!” bahkan ada pula yang mengatakannya “kerasukan setan!”
Entah mana yang benar tak seorangpun yang tahu! Asumsi! Orang-orang mulai meramal, banyak dukun mulai membuka lapak untuk bercerita tentang seorang laki-laki yang hilang di tengah danau karena ingin menikahi penghuni tebing pinggir danau! Namun Kliwon tidak pernah tahu, dan rasanya kalaupun Kliwon tahu dia tidak akan peduli.
“Persetan!”, mungkin ucapkan yang akan dia keluarkan untuk semua ungkapan-ungkapan orang yang sedang membicarakannya, namun sayangnya dia tidak akan pernah tahu, paling tidak untuk saat ini.
Larangan-larangan mulai bermunculan, orang tua melarang anaknya untuk lama berdiri di atas tebing karena takut akan gila juga, kalau-kalau penghuni tebing itu menginginkannya juga untuk dipersuami, kepala-kepala sekolah mulai membuat peraturan tentang larangan bermain di pinggiran danau. Dukun-dukun mulai didatangkan untuk menyelamatkan Kliwon dari kemungkinan dinikahi oleh penghuni tebing itu.
“Sangat sulit untuk menyelamatkannya,” ujar salah seorang dukun yang sangat terkenal.
Entah apa lagi yang menjadi pembicaraan dikalangan para dukun itu, tak satupun yang pasti, karena tak satupun yang punya pendapat yang sama, semua punya “diagnosa” gaib masing-masing, dan selalu saja tidak ada tindakan apapun.
Kliwon tidak sedikitpun sadar tentang kehebohan di tengah kota, kepalanya masih menatap kosong ke tengah danau yang luas, pandangan lurusnya belum lagi redup oleh masa, bahkan oleh hujan sekalipun, banyak hal yang berkecamuk di dalam kepalanya, namun tidak ada yang benar-benar menjadi perhatiannya, semua berputar, sejenak menjadi ingatan dan kemudian menjadi khayalannya.
Dia menggeleng!
Timbul tenggelam dari dalam ingatannya sebuah rumah yang hitam, timbul tenggelam dari dalam pikirannya orang-orang ramai yang berteriak, terang-terang di dalam ingatannya berpuluh-puluh pakaian yang terbungkus asal di dalam kain sarung yang kusam.
Lalu hilang! Dia kembali lagi dalam keheningan matanya yang sepi dan sunyi.
Jemarinya berjentik sesaat setelah pikirannya menjadi buram, kelopak matanya bergetar sesaat setelah jarinya berjentik, lututnya bergerak tak lebih dari beberapa detik sesaat setelah kelopak matanya bergetar. Selalu begitu! Dan akan kembali lagi begitu pada saat-saat yang akan datang.
Sudah enam bulan dia dipinggir danau itu!
Lumut sudah mengenalinya sebagai teman, ikan sudah tidak lagi takut kepadanya, hujan membasahkannya dan matahari kembali mengeringkannya, berputar dan terus berputar, sementara berita tentang lelaki penghuni pinggir tebing sudah mulai menjadi cerita yang hangat di tengah kota.
Kota punya cerita baru! Namun Kliwon belum punya pikiran baru!
Pada bulan yang keenam ini, hari sangat gelap, halilintar meledak-ledak hingga memekakan telinga, seluruh kota menjadi sunyi, jalanan sepi bahkan sampai ke lorong-lorong, orang-orang tak mau keluar, kota betul-betul sepi.
Ini hari sangat dingin! Ini hari sangat mencekam! Hujan mulai turun tanpa gerimis, air berjatuhan menimpa seng, sangat ribut, memekakan telinga. Kalau berbicara harus sedikit berteriak, kalau tidak, tidak ada yang bisa mendengar.
Kegemparan dimulai dari pinggir tebing tempat biasanya Kliwon duduk termenung.Kliwon menghilang!
“Coba lihat dipinggiran danau, apakah ada jasad yang terapung?”, saran beberapa warga.
“Tidak ada”, jawab warga yang lain.
Jadi, kemanakah Kliwon?
Kota menjadi heboh bukan main, jalanan menuju danau menjadi macet luar biasa, orang-orang penasaran karena Kliwon sudah tidak disana lagi, orang-orang secara spontan ikut mencari Kliwon, hingga sore hari belum ada yang mengabari kalau Kliwon sudah ditemukan.
“Kasihan lelaki itu”, bisik orang-orang.
Menjelang magrib, terdengar kabar bahwa Kliwon ditemukan, orang-orang Geger! Lelaki gila penghuni tebing itu sudah ditemukan, kata orang-orang, “dimana dia ditemukan?” tanya orang-orang, “di sebuah kampung,” jawab yang lain.
Betul saja, ada Kliwon di sana, dia berdiri menunduk diatas kayu-kayu hitam yang rapuh, dia menggesek-gesekkan kakinya di tengah bekas rumah itu, dia tidak berbicara, matanya kosong, diamnya sangat dalam dan menyakitkan.
“Lelaki gila di pinggir tebing itu kini berada di atas puing sebuah rumah yang terbakar”, kata Orang-orang.
“Uh, menyedihkan sekali nasib lelaki itu,” kata orang-orang.
Kliwon masih bediri disana, samar-samar terbayang olehnya teriakan orang, terbayang olehnya sirene yang silau, dulu dia tepat di tengah ini, dia juga berdiri, saat tiang-tiang itu mulai berjatuhan di belakang dan di depannya.
Dari luar orang berteriak-teriak!
“Pak, keluar!”
“Pak, keluar!”
Kliwon bediri tegak ragu-ragu di tengah ruangan itu, suhu semakin panas dan kulitnya terasa sangat terbakar.
“Pak, awas ada tiang jatuh!”
“Pak, selamatkan dirimu!” kata orang-orang sangat cemas.
Kliwon bergeming, dia mendobrak pintu kamar di tengah ruangan itu, api menyembur hampir mengenai mukanya, kamar itu penuh api, Kliwon lemas, Kliwon hampir tersungkur mencium tanah, namun sepasang tangan segera menariknya keluar.
Sejak itu Kliwon tak punya batas pandangan, sejak itu matanya menjadi kosong, isi matanya dipanggang api, batas pandangannya dilahap musibah! Kliwon terisak setelah enam bulan diatas puing rumahnya itu, dia mulai menangis tersedu-sedu, orang-orang menatapnya sangat iba, hingga azan berkumandang orang-orang masih disana, ada yang berusaha menghampiri namun dilarang oleh orang-orang.
“Biarkan dia melepaskan kesedihan,” kata seseorang.
Isak Kliwon semakin menjadi-jadi. Tangisnya sangat pilu, beberapa Ibu-ibu yang sangat pengasih sudah mulai ikut menangis, bahkan beberapa lelaki juga sudah mulai merasa iba dan ikut terisak. Kliwon tersesat selama enam bulan dalam kesedihan, namun kini dia kembali dan tetap tersesat dalam duka yang dalam, bibirnyapun mulai menggambarkan lukanya, bibirnya mulai menceritakan kisahnya.
“Disini putriku kutinggalkan”, katanya penuh dengan penyesalan dan tangis yang sangat dalam. Magrib itu adalah magrib Kliwon.[SY]
Bebesen, 14 November 2014
Untuk para Ayah yang mencintai anak-anaknya.
Feri Julianto Selian dalam beberapa karya ia mempunyai nama pena sebagai Feri Mahdi, Selian, RumahBoekit, Yoesuf Malaka. Saat ini tinggal di Bebesen dengan alamat email feriselian@gmail.com. Karya-karyanya yang sudah terbit adalah “Bara Api Tartar” (Epik, Annida Edisi Cetak 2007), “Serakkah Uang Kertasnya” (Dibukukan bersama dengan pemenang kompetisi LMCR Nasional-2008). Beberapa cerpennya yang telah dimuat di www.lintasgayo.co adalah ” Aroma Tanah dalam jejak Aman Dimot”, “Yusuf yang kunanti” dan lain-lain.






