Oleh : Win Wan Nur
Pagi jam 9 pagi saya sudah berada di Jalan Time ruang Kemili untuk bersiap-siap berangkat ke Gayo Lues guna menghadiri pementasan bersejarah Saman 5005 penari. Saya berencana berangkat dengan Zulfan Diara Gayo, seorang tokoh pemuda Gayo yang berdomisili di Takengen.
Saat tiba di Kemili, Fahruddin, pegiat Redelong Institute sudah ada di sana dan mengajak kami untuk berangkat bersama, kami setuju dan langsung berangkat bertiga.” Tar Lane renye ku Ise-ise”, seperti lirik lagu Almarhum Muse. Melalui toa dan melewati Isak kampung leluhur saya. Sampai di sini saya masih mengenali tempat-tempat yang saya lewati.
Tahun 1996 adalah terakhir kali saya melewati daerah ini. Dalam perjalanan ke Belang Kejeren, saat kami dari Fakultas Teknik Unsyiah melakukan Pekan Bakti Mahasiswa Teknik (PBMT II) di Rema.
Lewat dari Uning, banyak perubahan yang membuat daerah itu tidak lagi saya kenali. Padahal ini adalah daerah yang semasa kecil secara reguler selalu saya lewati semasa kecil. Ketika kami masih memiliki peruweren Kerbau di Lane.
Lewat Owaq, saya benar-benar merasa seperti di negeri asing. Ketapang, tempat dulu saya sering berjalan kaki mencari kerbau, sekarang sudah berubah menjadi seperti kota. Tidak ada lagi padang rumput membentang, yang ada tanaman jabon dan perkebunan warga. Bahkan Lane, yang begitu lekat dengan masa kecil saya. Sudah tidak bisa lagi saya identifikasi dengan tepat posisinya di mana. Bahkan bukit tempat Uwer kerbau kami dulu berada pun sudah tidak saya kenali di mana. Tiba-tiba kami sudah sampai di Kalampo. Tempat saya sering mandi di masa kecil dulu, yang juga sudah tidak lagi saya kenali. Di sana sudah banyak warung dan hampir di tiap rumah orang-orang memajang Batu Giok Lumut yang menjadi buah bibir belakangan ini. Untungnya, beberapa warga masih mengenali saya.
Dari Kalampo, kami langsung menuju Ise-ise. Di sana hujan rintik-rintik mulai turun. Atas saran Fahruddin, kami tidak makan di Ise-ise. Kami membeli nasi dan langsung tancap gas, karena khawatir jalan akan longsor kembali.
Benar saja, selepas dari Ise-ise bekas-bekas longsor masih terlihat nyata. Back Hoe dan alat berat lainnya bekerja tanpa henti. Menurut Fahruddin yang sering melintasi jalan ini. Pihak otoritas memberlakukan kebijakan buka tutup jalan. Tapi sepertinya, demi mensukseskan acara ini, pihak pemerintah Gayo Lues melakukan pengecualian hari ini.
Kami makan siang, di pondok eksplorasi emas milik sebuah perusahaan dari Jakarta.
Ketika kami kembali melanjutkan perjalanan kami mendapati sebuah mobil Kijang Inova berhenti di tengah jalan. Kami pikir ada masalah dan berhenti. Ternyata, yang berada di mobil itu adalah Fikar W. Eda, seorang penyair Gayo yang juga anggota Dewan Kesenian Jakarta. Dia berhenti untuk memunguti batu di pinggir jalan yang dianggapnya sebagai batu berharga.
Tidak lama ketika kami berhenti, melintas lagi sebuah mobil warna hitam dan juga ikut berhenti. Ternyata dalam mobil ini ada Bardan Sahidi, Anggota DPRA dari Gayo bersama dengan Miko Jeget dari Gayotoday. Mereka turun dan langsung menyalami kami.
Tidak lama kemudian, datang mobil lain lagi yang ditumpangi oleh Bapak Ray Iskandar, seorang pengusaha Gayo dari Jakarta.
Ternyata Saman 5005 penari, telah menjadi magnet bagi urang Gayo dari mana-mana. Saya yang tinggal di Bali, Fikar dan Bang Ray dari Jakarta, Bardan dari Banda Aceh, Zulfan, Fahruddin, Miko dan lain-lain dari Takengen. Bertemu dalam perjalanan dalam tujuan yang sama, menuju Gayo Lues dengan tujuan yang sama. Menyaksikan sejarah yang akan tercipta.
Bahkan, belum dimulai saja Aura dari Saman 5005 telah mempersatukan Gayo dari berbagai pelosok Nusantara.
*Pengamat Sosial Budaya Gayo.





