Baca Sastra Belajar dari Pengalaman

oleh

Oleh; Usman D. Ganggang*)

Usman D.Ganggang dan Sutardji (Presiden Penyair Indonesia)
Usman D.Ganggang dan Sutardji (Presiden Penyair Indonesia)

Garis-Garis Besar haluan Negara yang sering disebut GBHN itu pernah mengungkit keeksistensian pembangunan. Dikatakan, hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya. Ini berarti, pemerintah republik ini berusaha menempatkan manusia sebagai titik fokus usaha pembangunan. Pertanyaan mengganjal,” Mengapa bukan gedung pencakar langit?”

Jawaban atas pertanyaan di atas, adalah hanya orang cerdaslah (bukan orang pintar) yang dapat berbuat demikian. Karena itu, manusianyalah yang perlu dibangun terlebih dahulu. Maksudnya, dengan membangun manusia berarti berupaya memperbaiki atau menyempurnakan kualitas manusia generasi muda di negeri ini.

Merealisasikan maksud baik di atas, kita harus belajar banyak, baik melalui pendidikan formal maupun nonformal. Harus diakui, melalui lembaga dimaksud, dapat dikembangkan ilmu pengetahuan, keterampilan, teknologi, juga kependidikan nilai. Dan pendidikan nilai di lembaga – lembaga tersebut mempunyai peranan sangat besar dalam pendidikan menjadi manusia seutuhnya.

Pendidikan nilai – nilai tersebut dapat diperoleh melalui berbagai disiplin ilmu. Salah satunya yang perlu dikembangkan terkait dengan judul tulisan ini adalah melalui belajar sastra. Yang jelas, hakikat belajar sastra dapat dipahami sebagai belajar kehidupan (pengalaman) manusia lain dengan segala problemnya.

Bersyukurlah kalau kita mencoba melihat hidup ini melalui karya sastra para sastrawan. Sebab, bila kita renungkan dengan cermat, sampailah kita pada pemahaman terhadap keeksistensian kita di alam fana ini. Kita adalah khalifah (=utusan) Allah SWT yang bila tiba saatnya dipanggil kembali (meninggal), kita harus mempertanggungjawabkan segala kegiatan atau perbuatan kita selama hidup di dunia ini.

Tentu, selama mengembara di ala mini, pengalaman manusia begitu banyak dan beragam. Namun sadar atau tidak, bila dibanding dengan umur kita, pasti kita kecewa karena hasil penelitian para pakar, umur orang Indonesia rata – rata 60 tahun. Terasa singkat memang. Saya teringat Chairil Anwar Sang Pelopor Angkatan 45 itu, mengganggas ekspresinya melalui puisinya yang terkenal itu, “Aku mau hidup seribu tahun lagi”. Setelah kita lacak umurnya, ternyata tidak sampai 30 tahun. Lalu Ali Hasjim berceloteh,” Ah, pagiku hilang?” Apa maunya Chairil Anwar dan apa pula keinginan Ali Hasjim yang tak sampai? Ternyata, Chairil Anwar mengetuk hati kita untuk senantiasa beroptimis dalam hidup. “Bekerjalah seakan – akan kita mau hidup selam –lamanya dan berdoalah seakan – akan mati esok dan kemudian, ada pengakuan total: /di pintu-MU aku mengetuk, aku tidak bisa berpaling lagi//. Dan Ali Hasjim memp[eringatkan kita untuk tidak main – main di masa muda, karena di masa tua tinggal memetik hasilnya. Jangan sampai: Pagiku hilang/, demikian kata Ali Hasjim.

Hasil penggelandangan imanijasi kita terhadap penggalan puisi yang dipta Chairil Anwar dan Ali Hasjim di atas, dapat diambil kesimpulan, setidaknya untuk memberikan semangat, beri arti ini hidup, sebab demikian Chairil Anwar: sekali berarti/ sesudah itu mati//. Begitu pula Ali Hasjim, mengamanatkan kepada generasi muda di negeri ini khususnya, agar memanfaatkan hidup di masa muda (pagi hari) dengan sebaik – baiknya, sehingga di hari senja ( tua) nanti tidak menyesal.

Karya sastra yang disebut di atas, bukan sekedar hadir untuk dinikmati. Penikmat harus berusaha, setidaknya, menyingkapkan segala yang dianggap misteri atau terselubung dari karya sastra yang menyangkut makna, baik yang tersurat, tersirat, maupun makna yang membuat orang lain (penikmat) tersihir atau terkait dengan hakikat dan nilai yang terkandung di dalam produk karya sastra.

Cermati saja novel “Siti Nurbaya”karya Marah Rusli misalnya. Setelah dibaca atau disaksikan lewat layar perak, orang lalu ramai – ramai membicarakan nilainya. Paling kurang dengan menikmati alur – alur yang begitu menarik, kita pun tertarik karena mengasyikkan.Melalui kisah-kasih Siti Nurbaya, Syamsulbahri, lagi pula si Bandot tua Datuk Maringgi, sebenarnya membuka cakrawala kita agar tidak gegabah dalam mengambil keputusan.

Atau ketika kita menonton sinema “Putri yang Ditukar”yang pelaku utamanya antara Prabu Wijaya, Amira, Jahira, dan lagi – lagi Wisnu yang selalu membuat masalah, pasti kita berkesimpulan beginilah kehidupan di sekitar kita. Iya, ada manusia kepiting, ada manusia labar –laba yang pekerjaaannya selalu membuat onar sekaligus menggigit orang lain (perhatikan si Wisnu yang pincang itu!). Akhirnya tokh, kita simpulkan, keputusan gegabah dan membuat onar pasti menimbulkan ketidakbahagiaan bagi diri pelaku dan keluarganya.

Kita pun seakan – akan menyaksikan sebuah peristiwa penting dalam sejarah. Misalnya ketika membaca sekaligus mencermati puisi Taufik Ismail berikut ini:

Karangan Bunga
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu –malu
Sore itu “Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak kami yang ditembak mati
Siang tadi

Setelah dicermati, kita akan bertanya,” Untuk siapa ucapan itu?” Jawbannya, tentu untuk warga Salemba Kampus UI Jakarta. Dan seabrek pertanyaan yang susul-menyusul. Yang jelas orang memuisi tentu punya sasaran antara lain: (1) Kepada siapa ucapan itu ditujukan? (2)Apa yang diperkatakan penyair? (3) Apa amanatnya?; dan terakhir (4) Apa hikmahnya bagi kita sebagai penikmat?

Kita pun akan terkesima ketika menikmati penggalan puisi Armjin Pane berikut ini:

Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Anttara kita mati dating tidak membelah

Dalam kaitan makna denotatif (makna yang sebenarnya) , betapa tidak masuk akalnya baris – baris puisi di atas. Sepintas kilas puisi itu seolah – olah dibangun atas bahasa yang pudar dan atau tidak jelas. Lain halnya kalau makna konotatif ( makna yang tidak sebenarnya/kias) ditemukan. Maka kita akan berdecak kagum betapa indahnya makna puisi itu.

Untuk lebih jelasnya, berikut ini apresiasinya. Pertama, Kau depanku bertudung sutra senja.Sutra senja yang dimaksud di sini adalah yang indah dan menarik. Jadi, baris puisi itu menyampaikan: bagiku engkau adalah seorang gadis atau dara yang menarik dan member harapan. Kedua, Di hitam matamu kembang mawar dan melati. Kembang mawar biasanya berwarna merah muda. Warna merah muda sering diartikan sebagai lambing cinta. Kembang melati berwarna putih. Putih artinya suci. Jadi, baris puisi itu bermaksud untuk menyampaikan, di sinar matamu terpancar rasa cinta yang tulus dan suci. Ketiga, antara kita mati datang tidak membelah, maksudnya kematian pun tidak akan mampu memisahkan percintaan kita berdua.

Secara keseluruhan maksud baris – baris puisi di atas adalah, bagiku, engkau adalah seorang gadis atau dara yang menarik dan memberi harapan. Dari sinar matamu terpancar rasa cinta yang tulus dan suci. Karena itu, kematian pun tidak akan mampu memisahkan percintaan kita berdua.

Belajar sastra memang sangat amat sangat memikat hati. Ia mampu menahan kita duduk berjam – jam dan meninggalkan kegiatan lain. Bahkan, kadang – kadang dapat membuat kita lupa makan dan minum. Apa yang menyebabkannya? Ada dua hal yang membuat kita terpukau: (1) karya sastra dapat menggoda batin pembacanya dengan pertanyaan – pertanyaan yang minta dijawab. Pembaca terasa dipaksa membaca terus karena yakin bahwa jawaban pertanyaan – pertanyaan tersebut ada atau terdapat pada kalimat berikutnya; (2) Kemampuan menghanyutkan diri pembaca masuk ke dalam alur cerita. Karya sastra berhasil meniadakan jarak antara pembaca dengan pelakunya, karena itu, perasaan kadang – kadang terhanyut ke dalam karya tersebut.

Menimbang paparan di atas, terbersit sebuah kesimpulan bahwa belajar sastra berarti belajar pengalaman orang lain. Apalgi kalau disadari bahwa hakikat sastra (dongeng, puisi, novel dan drama) adalah berbicara tentang manusia. Oleh karena itu, kalau mau mengenal diri sendiri ( baca= sebagai khalifah) yang mengembara di alam fana ini hanya sebentar, sementara isi ala mini begitu banyak dan beragam, mau tak mau harus belajar pengalaman orang lain supaya berarti ini hidup. Sebab seperti kata Chairil Anwar,” Sekali berarti sesudah itu mati”.

Nah, karya sastra sudah memberikan pengalaman yang demikian, mengapa pula kita meninggalkan? Apalagi kalau mencemooh, untuk apa kita belajar sastra yang penuh daya khayal itu? Pertanyaan ini menyesatkan, iya kalau orang yng tidak sekolah, mungkinlah, tapi kalau sudah belajar apalagi kalau sampai di PT, pertanyaan dan cemoohan itu tidak perlu hadir. Bagaimanapun para sastrawan sudah berusaha menghadirkan karyanya yang sanggup memberikan sesuatu yang baru bagi kita. Dan yang baru itulah yang perlu kita petik untuk dikonsumsikan dalam keseharian tentu sebelum kita dipanggil oleh-NYA. Insya Allah kita bernilai di hadapan-NYA, amien.[SY]

Usman D.Ganggang adalah salah seorang seniman, budayawan dan penyair dari Nusa Tenggara Timur yang saat ini tinggal di Manggarai Nusa Tenggara Barat, dikalangan seniman Indonesia ia dikenal dengan nama Penyair dari Timur. Usman D. Ganggang saat ini tengah menterjemahkan sebuah cerpen yang diangkat dari kearifan sastra lisan Gayo kedalam bahasa daerah Nusa Tenggara Timur. Ia bercita-cita satu saat akan tiba di tanah Reje Linge dan Iskandar Muda.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.