Tanoh Depet; dari Belantara, Saman dan Tapal Batas

oleh
Salah satu kampung di Tanoh Depet. (LGco_Khalis)
Salah satu kampung di Tanoh Depet. (Dok. LGco)

Kawasan Tanoh Depet tentu akrab di telinga masyarakat Gayo khususnya Kabupaten Aceh Tengah. Tanoh berarti Tanah dan Depet berarti ditemukan, jadi Tanoh Depet maksudnya tanah atau hamparan yang ditemukan.

Tanoh Depet merupakan kawasan yang saat ini terdiri dari 3 Kampung masuk dalam wilayah Kecamatan Silihnara serta merupakan kampung terakhir sebelum mencapai batas Kabupaten Aceh Tengah dengan Kabupaten Nagan Raya.

Polemik perbatasan kedua kabupaten ini sempat muncul beberapa tahun lalu. Namun kini tapal batas itu “sudah” disepakati oleh kedua Kabupaten ini yang beberapa kilometer dari Tanoh Depet ke arah Nagan Raya.

Migrasi dari Gayo Lues
Didalam histori perkembangan kawasan belantara Tanoh Depet, siapa sangka kawasan ini diramaikan dengan migrasinya warga dari Negeri 1000 Bukit, Kabupaten Gayo Lues. Pada tahun 90-an Tanoh Depet adalah hutan rimba tanpa penghuni. Besarnya potensi yang dimiliki Tanoh Depet membuat warga Blangkejeren mulai menggarap hutan untuk dijadikan lahan pertaniannya.

Tak hanya potensi itu yang dijadikan alasan untuk pindah ke kawasan ini, desakan ekonomi yang sulit di Gayo Lues saat itu menjadi alasan utama perpindahan warga ke Tanoh Depet.

Dikatakan Kepala Kampung Depet Permata, Idris Sadri kepada LintasGayo.co beberapa waktu lalu, desakan ekonomi di Gayo Lues dengan susahnya perkembangan ekonomi menjadi pemicu perpindahan warga Blangkejeren ke Gayo Lues, dan dirinya merupakan rombongan migrasi pertama bersama 9 keluarga lainnya ke Tanoh Depet.

“Saat itu sekira tahun 1999 kami pindah kemari. Hanya dijumpai 3 rumah disini, kawasannya masih hutan belantara, akses jalan hanya sampai Beutong saja itupun kondisinya seperti jalan setapak, sedangkan jalan ke Jeuram belum ada,” ungkap Idris Sadri.

Tokoh masyarakat Tanoh Depet, Sadri
Tokoh masyarakat Tanoh Depet, Idris

Diceritakan proses perpindahan warga Blangkejeren ke Tanoh Depet dimotori serorang warga Wih Ni Bakong Kecamatan Silih Nara-Aceh Tengah bernama Syarif. “Awan Syarif lah yang datang ke Gayo Lues, dan mengajak kami kesini. Awan Syarif adalah orang pertama yang membuka kawasan ini,” ungkap Idris. Awan dalam bahasa Gayo berarti kakek.

Setelah Idris bersama 9 keluarga lainnya menetap dan membuka lahan di Tanoh Depet, secara periodik warga Gayo Lues mulai tertarik untuk pindah dan membuka lahan pertanian di Tanoh Depet.

“Tak lama dari kami datang kesini, secara berkala mulai datang lagi warga Gayo Lues kemari, dimana pada tahun 2000 sudah ada 70 Kepala Keluarga (KK), awalnya tanaman Kopi adalah andalan,” ujar Idris.

Tanoh Depet di tahun 2000-an merupakan kawasan terisolir di Kabupaten Aceh Tengah, saat konflik Aceh terjadi masyarakat Tanoh Depet harus mandah ke Kampung Paya Kolak, Kampung inilah daerah terdekat.

Saat ini lebih dari 300 KK tinggal di 3 Kampung di Kawasan Pemukiman Tanoh Depet dua Kampung diantaranya (Tanoh Depet dan Depet Indah) sudah berstatus Kampung Defenitif, sedangkan 1 Kampung yang baru dimekarkan 3 tahun lalu Depet Permata masih berstatus Kampung Persiapan.

Fasilitas Pendidikan dan Kesehatan
Diawal-awal terbentuknya Kampung Tanoh Depet, tidak ada fasilitas pendidikan (sekolah) saat itu. Warga harus menyekolahkan anaknya ke Kampung-kampung yang sudah memiliki sekolah. Tak terkecuali Idris Sadri yang kini menjabat sebagai Kepala Kampung Persiapan Depet Permata, dia harus menyekolahkan anak sulungnya ke Kampung Wih Ni Bakong.

“Anak sulung saya sekolah di Wih Ni Bakong, sejak kelas 1 SD dia sudah hidup mandiri dengan menyewa rumah warga disana sebagai tempat kost nya. Mau gimana lagi disini belum ada sekolah, banyak warga disini saat itu menyekolahkan anaknya keluar,” kenang Idris Sadri.

Fasilitas pendidikan berupa Sekolah Dasar di Tanoh Depet mulai dibangun pada tahun 2001 dan berstatus negeri pada tahun 2004, selanjutnya pada tahun 2008 Sekolah Menengah Pertama (SMPN 35 Takengon) sudah dibangun disana.

Saat ini, di Kampung Tanoh Depet juga telah tersedia Puskesmas Pembantu (Pustu) dan Polindes sebagai sarana penunjang kesehatan masyarakat dengan adanya fasilitas pendidikan dan kesehatan perkembangan Kawasan Tanoh Depet mulai terlihat.

Hamparan kebun Sere Wangi
Hamparan kebun Sere Wangi. (Dok. LGco)

Sere Wangi
Awal perpindahan warga dari Blangkejeren ke Tanoh Depet, penghasilan masyarakatnya ditumpukan pada tanaman Kopi, namun seiring waktu, petani Kopi ditanoh Depet mulai mengembangkan tanaman Sere Wangi sebagai penghasilan tambahannya. Saat ini sekitar 500 hektar lahan sudah ditanami Sere Wangi.

“Saat ini warga punya dua kebun, satu nya ditanami Kopi dan satunya lagi Sere Wangi, sehingga membuat roda perekonomian masyarakat disini mulai bergeming,” kata Idris.

Namun, penjualan hasil minyak Sere Wangi di Tanoh Depet memiliki sedikit kendala. Tidak tersedianya pasar hingga pembeli di Aceh Tengah, mengharuskan petani Sere Wangi di Tanoh Depet harus menjual hasil panennya ke Gayo Lues.

“Karena sulitnya pemasara, kami pun berinisiatif menjadi pedagang pengumpul disini, sekarang ada 4 pedagang pengumpul, salah satunya saya, saat panen kami membeli dari petani, kemudian kami harus menjual kembali ke Gayo Lues,” terang Idris Sadri, sambil menambahkan tanaman tersebut sudah dikembangkan sejak 5 tahun terakhir.

Ditambahkan, proses perawatan Sere Wangi tergolong mudah, dan pemanenan dilakukan 3 bulan sekali. Perhektarnya dapat menghasilkan 100 Kg minyak Sere Wangi. Per kilogram dijual dengan harga 150 ribu rupiah.

“Jika dilihat dari harga tentu tanaman ini juga menjanjikan, namun saat ini kami juga terkendala dialat penyulingan (Ketel), sudah pernah diusul, namun belum dipenuhi, kami hanya membuat Ketel dari bahan seadanya saja,” keluhnya.

Aliran Listrik dan Sinyal Seluler
Sempat menjadi kawasan terisolir diawal-awal pembukaan kawasan tersebut. Warga Tanoh Depet kini sejak setahun ini sudah bisa menikmati aliran listrik. Didaerah ini juga ada Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hydro (PLTMH), aliran listrik yang dihasilkan dari PLTMH mengalir ke rumah-rumah warga yang belum teraliri arus listrik karena tempat perumahan yang jauh dari pusat listrik dari aliran PLN.

“Jika aliran listrik dari PLN tidak sampai, warga memanfaatkan tenaga listrik dari PLTMH, namun itupun hanya nyala saat malam hari saja, sedangkan siang hari padam,” jelas Idris.

Pun begitu, Idris menambahkan warga Tanoh Depet kini sudah merasa senang, karena keberadaan kampung nya yang sudah diterangi listrik yang membuat masyarakat disana bisa melihat informasi, terlebih di Tanoh Depet saat ini sudah dimasuki sinyal seluler.

“Listrik dan sinyal seluler menjadikan masyarakat Tanoh Depet tak tertinggal informasi lagi,” ungkap Idris.

Tradisi Mudik dan Saman
Dihuni sekitar 95 persen warga yang berasal dari Gayo Lues, warga Tanoh Depet tetap menjaga kelestarian tari Saman dimana baru-baru ini, Saman ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO.

“Saman itu budaya, jadi tidak boleh hilang, anak-anak disini selalu berlatih Sama. Pelatihnya orang-orang tua disini,” kata Idris.

Selain menjaga nilai budaya tari Saman, warga Tanoh Depet juga mengenal istilah mudik lebaran. Hal ini dikarenakan banyak sanak saudara bahkan orang tua dari warga yang masih tinggal di Gayo Lues, namun keadaan mudik itu dilihat dari induknya saja.

“Jika orang tuanya berada di Tanoh Depet, maka anak atau saudara di Gayo Lues yang datang kemari, begitu juga sebaliknya jika warga masih memiliki orang tua di Gayo Lues, maka setiap lebaran tiba mereka pulang kesana,” demikian Idris Sadri.

(Darmawan Masri)


Ikuti channel kami, jangan lupa subscribe :

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.