Banda Aceh-LintasGayo.co: Sejumlah Lembaga Swadaya di Aceh yang bergabung dalam Pernyataan Bersama Gerakan Renspon Hukum Cepat (GRHC) menilai situasi politik paska dua tahun pemerintahan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf (ZIKIR) sangat memprihatinkan dan tidak menentu. Jika dibiarkan berlarut tentu situasi ini dapat mengancam transisi demokrasi, hak asasi manusia (HAM) dan keberlangsungan perdamaian Aceh.
“Suasana tidak kondusif ini telah menciptakan ketakutan (trauma) bagi masyarakat, seperti munculnya aksi-aksi kriminalitas dan upaya teror yang dilakukan oleh kelompok yang menentang pemerintahan ZIKIR,” kata Koordinator GeRAK Aceh Askhalani melalui rilis yang diterima LintasGayo.co, Jum’at (17/10/2014). Rilis tersebut turut diteken Edy Syahputra, Program Manajer Kontras Aceh.
Menurut Askhalani, kelompok yang dipimpin Nurdin bin Ismail Amat Alias Abu Minimi di Aceh Timur dan kemudian dalam pernyataannya menyatakan bahwa siap melawan pemerintahan ZIKIR dikarenakan kecewa karena tidak adil dalam memperhatikan nasib rakyat. Pernyataan yang kelompok Abu Minimi menjadi Early Warning (Peringatan Dini) bagi pemerintahan ZIKIR karena ketidakmampuan pemerintahan ZIKIR membangun Aceh menjadi maju, baik ekonomi, demokrasi, hukum, dan penghormatan terhadap HAM.
Dari hasil kajian, GeRAK Aceh dan Kontras Aceh menemukan beberapa faktor mengapa Din Minimi melawan pemerintahan ZIKIR:
1. Tidak terlepas dari situasi relasi dan komunikasi yang kurang kondusif’ dan konstruktif yang dibangun ZIKIR, terutama untuk mantan kombatan.
2. Perselisihan antar elit politik yang kemudian menimbulkan ketidakharmonisan dalam memimpin Aceh. Lebih-lebih melihat Gubernur Aceh yang cenderung bersikap diam dan pasif, dan tidak mampu menjalankan perannya sebagai pemimpin rakyat.
3. Penempatan pejabat atau kepala dinas masih bersifat kolusi, dimana para SKPA atau kepala dinas yang kemudian bekerja tidak menghasilkan dampak positif dalam segi ekonomi dan pembangunan Aceh, akibatnya arah pembangunan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat tidak berjalan dengan baik.
4. Upaya untuk mewujudkan keadilan bagi masyarakat korban konflik seperti menjadi angin surga, padahal hal tersebut jelas termaktub dalam Memorandum of Understandi (MoU) Helsinki dan diterukan dalam bentuk Undang-Undang (UUPA No. 11/20060. Memang, Qanun KKR sudah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada Desember 2013 lalu, namun hingga kini Qanun yang sudah disahkan oleh DPRA tidak berjalan sama sekali.
Untuk itu, Gerakan Renspon Hukum Cepat (GRHC) meminta kepada semua pihak untuk segera menghentikan dan menyelasaikannya, agar konflik horizontal yang masif dan berimplikasi lebih luas dapat dihindari. KontraS dan GeRAK Aceh juga meminta para pemimpin atau para elite harus mampu menjadi media pendidikan politik yang santun bagi kombatan itu sendiri, dan masyarakat secara keseluruhan. (tarina/rilis)