
Banda Aceh-LintasGayo.co: Pengadilan Tinggi Aceh telah memutuskan Pemerintah Aceh harus membayar dana sisa pekerjaan pelebaran jalan Cot Panglima yang menghubungkan Bireuen-Gayo Rp127,5 miliar, terdiri dari Rp107 miliar sisa proyek tahap kedua dan Rp20,2 miliar bunga pinjaman penggugat di Bank Aceh.
Hukuman itu lebih besar dari putusan Pengadilan Negeri sebelumnya yang memerintahkan pembayaran sebesar Rp99,3miliar. Aktivis antikorupsi di Aceh menilai putusan pengadilan ini penuh kejanggalan. Proses hukum ini dinilai sebagai akal-akalan untuk merampok uang negara.
Misalnya, Masyarakat Tranparasi Aceh (MaTA), menyatakan sejak Oktober 2013 telah melaporkan kasus itu ke KPK berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Badan Pemeriksa Keuangan telah menemukan kelebihan bayar pada pembayaran termin pertama proyek itu. Dari total yang dibayarkan sebesar Rp25 miliar, BPK menemukan kelebihan pembayaran sebesar Rp300 juta.
Berikutnya, Pemerintah Aceh kembali melakukan pembayaran sebesar Rp40 miliar. “Dengan demikian untuk jalan sepanjang 1,5 kilometer itu telah dilakukan pembayaran sebesar Rp65 miliar,” kata Alfian.
Alfian menemukan indikasi mark up di sana. Lembaganya membandingkan dengan jalan yang dibangun USAID di Calang. Jalan selebar 8 meter dengan panjang yang sama dan telah diaspal hotmix hanya menghabiskan anggaran sebesar Rp24,6 miliar. “Sementara di Cot Panglima, pemerintah telah membayar Rp65 miliar dengan kondisi jalan yang belum diaspal,” Alfian menambahkan.
Selain itu, kata Alfian, rupanya pihak kontraktor kembali melanjutkan pembangunan jalan 1,5 kilometer lagi. Padahal, kata dia, pekerjaan itu dilakukan tanpa Surat Perintah Kerja. “Pengusahanya mengatakan ada perintah lisan dari gubernur Aceh sebelumnya untuk melanjutkan pekerjaan sepanjang satu setengah kilometer lagi,” kata Alfian.
Dari sana, masalahnya kian bertambah. Itu sebabnya, ketika Gubernur Aceh Zaini Abdullah mengalokasikan dana Rp40 miliar untuk membayar proyek tanpa Surat Perintah Kerja itu, Alfian menyurati gubernur agar tidak melakukan pembayaran.
Selain soal dugaan penggelembungan harga dan tanpa surat perintah kerja, masih ada perkara lain. Oleh Pemerintah Aceh yang saat itu dipimpin Gubernur Irwandi Yusuf, kata Alfian, proyek itu dimasukkan sebagai proyek tanggap darurat bencana alam. Padahal, jika mengacu pada aturan yang ada, proyek itu tidak termasuk dalam katagori bencana. “Proyek itu bahkan dikerjakan dengan sistem penunjukan langsung tanpa tender,” kata Alfian.
Badan Pemeriksa Keuangan, kata Alfian, telah membuat rekomendasi agar negara tidak membayar proyek yang dikerjakan tanpa surat perintah kerja. [] atjehpost.co