Oleh Murthalamuddin
25 September 2014. Hari itu menjadi sangat istimewa bagi Aceh. Saya mengikuti perjalanan Gubernur Aceh Zaini Abdullah untuk menerima sertifikat lembaga PBB Unesco untuk tari Saman. Saman diakui sebagai kekayaan warisan dunia tak benda. Berlangsung di Anjungan Aceh, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur, kegiatan ini diselenggarakan Kementerian Pendidikan.
Saat itulah saya baru tahu bahwa Saman yang sangat populer itu ternyata berasal dari Gayo Lues. Begitu dangkalnya pengetahuan saya tentang warisan dunia itu. Dulu saya mengira Saman berasal dari pesisir yang kemudian berkembang juga di budaya Gayo dengan sejumlah perubahan.
Saman kabarnya diciptakan oleh seorang pembawa Islam bernama Saman. Siapapun yang menonton tari ini dipastikan terhipnotis dengan keriangannya dan harmonisasinya. Bagaimana gerakan cepat dan penuh harmoni. Sepertinya hampir tidak kita temukan tarian heroik dan penuh harmoni seperti Saman. Tanpa perlu menghayati kita sudah bisa merasakan magisnya.
Sorenya saya sampai di hotel dan membuka ATJEHPOST.Co lewat Blacberry. Saya amat terkejut karena pada hari tersebut adalah dicatat sebagai hari lahirnya Hasan Tiro. Tentu saja tak perlu saya menjelaskan siapa beliau. Saya yakin tidak ada warga Aceh yang tidak mengenal beliau. Walaupun sekedar mendengar nama beliau. Saat itu langsung saya bernostalgia ke suatu masa di tahun 2008. Saat itu saya ikut bersama rekan-rekan wartawan menjemput beliau ke Malaysia. Kisah itu menjelang kepulangan beliau ke Aceh. Saat itu kami amat bangga sempat berinteraksi langsung dengan tokoh yang selama konflik menjadi legenda di Aceh dan di Indonesia.
Sepanjang saya berinteraksi dengan beliau, saya mencoba merekam kebiasaan seorang Hasan Tiro . Pertama saya memperhatikan beliau dengan pakaiannya. Tingkah laku dan bahasa tubuh beliau. Saya melihat bagaimana rapinya beliau walaupun dengan baju dan jas yang sudah sangat tua. Jas wol itu sudah pudar di belakangnya. Begitu juga di sikunya. Bahkan lipatan bawahnya membulat. Begitu juga sepatu dan kaus kaki beliau. Tapi jangan bayangkan bahwa beliau lusuh. Hasan Tiro amatlah rapi. Bahkan tempat tidurnya pun dia rapikan ketika bangun. Caranya duduk, menatap lawan bicara, dan cara makannya seperti kita menonton film aristokrasi atau bangsawan barat. Saya amat terkesan dengan beliau.

Kembali ke cerita 25 September lalu. Sepanjang sore itu saya sendiri di kamar Hotel Koetaradja, Jakarta Pusat. Hotel ini adalah merangkap perwakilan aceh di Jakarta. Dalam kesendirian itu saya sempat menelepon beberapa teman di Aceh menanyakan apakah ada kegiatan peringatan kelahiran Hasan Tiro. Saya juga membuka beberapa situs berita.
Ternyata tidak ada peringatan apapun di Aceh. Saya gamang dan sedikit galau melihat kenyataan itu. Usai magrib saya bersama sejumlah rekan makan di sebuah mal kecil dekat perwakilan. Selesai makan kami kembali ke hotel. Saya langsung tidur karena harus bangun cepat. Sebab pagi pagi saya terbang kembali ke Medan.
Sekitar jam empat lewat saya terbangun. Saya ambil blackberry saya untuk melihat pesan masuk. Dari sekian banyak BBM masuk saya melihat pesan dari Pemred media ini, Yuswardi A. Suud. Dia mengirimi saya artikel ” Hasan Tiro, Ayah Ideologis yang Dilupakan” .
Tanpa sadar air mata saya berlinang. Saya dan Yuswardi sama-sama ke Selangor dan juga menginap di hotel Concord, Shah Alam, Malaysia, tempat Wali Hasan Tiro singgah sebelum pulang ke Aceh pada 11 Oktober 2008. Kami dua dari sedikit wartawan yang mendapat kesempatan menjabat tangan beliau saat kepulangan pertamanya setelah keluar Aceh pada 1979. Sepertinya, Yuswardi sedang melampiaskan marahnya terhadap orang orang yang melupakan Hasan Tiro.
Saya tidak melanjutkan tidur pagi itu. Bersiap untuk berangkat ke bandara. Jam enam kurang saya sudah di taksi. Sepanjang perjalanan pikiran saya berkecamuk. Tapi saya tidak mengetik apapun atau menulis. Saya merenungi tentang diri saya bahwa saya adalah salah satu penikmat perjuangan Hasan Tiro. Saya adalah guru sekolah dasar di Baktia, Aceh Utara, sejak 1993. Setelah perdamaian dan revolusi politik di Aceh kini saya menduduki eselon dua dan menduduki jabatan di Sekretariat Daerah Aceh. Dengan tidak menafikan kehendak Allah, namun liniernya jelas tidak mungkin saya seperti hari ini.
Dalam penerbangan Jakarta Medan saya mengetik tulisan ini. Saya mencoba menghubungkan dua peristiwa ini. Bahwa begitu berharganya pengakuan Unesco bagi tari Saman, karena di Indonesia bisa dihitung dengan jari jenis kekayaan tak benda yang diakui dunia. Intinya semua warisan dunia yang diakui Unesco baik yang berupa benda seperti candi Borobudur atau tak benda seperti Saman, bila keduanya dijumlahkan maka tak mencapai sepuluh dari Indonesia.
Nah, untuk Aceh tentu Hasan Tiro tiada duanya. Artinya beliaulah yang telah mengangkat sebuah perjuangan panjang dengan mengorbankan segalanya. Ia yang dikenal dalam pergaulan luas dan bisnis. Tapi demi cita-citanya ia meninggalkan semua itu dan berjuang tanpa pamrih. Anak semata wayangnya tak mampu menaklukkan keteguhannya.
Saya tak bisa membayangkan bila kemudian setelah kenikmatan dari jerih beliau tidak kita besarkan. Jika kita tak merawat Saman maka akan ada konsekuensinya. Misalnya, sertifikat itu akan dicabut bila pemiliknya tidak menjaga, memelihara, dan mengembangkan Saman.
Dalam konteks Aceh, maka rakyat Aceh akan mencabut kebercayaannya pada kita jika mengabaikan Hasan Tiro. Sebab, hasil yang kita capai dan kita nikmati sekarang adalah perjuangan panjang yang di gerakkan Hasan Tiro. Saya mengutip kalimat langsung dari Yuswardi, “saya yakin rakyat melihatnya dengan sederhana saja, jika jasa Hasan Tiro saja tak dihiraukan apa lagi kami yang rakyat biasa.”
Artinya, nikmat ini tentu harus disyukuri. Kedua hal diatas membutuhkan kerja kita untuk menjamin kelanggengannya. Saman harus dilestarikan dan diwariskan untuk generasi selanjutnya. Bahkan diperkenalkan kepada dunia yang lebih luas. Begitu juga dengan semua perjuangan Hasan Tiro. Perlu dilestarikan dan disampaikan ke generasi selanjutnya. Beliau tak butuh apa-apa lagi sekarang. Tapi kita jelas masih membutuhkan beliau. Beliau masih menjadi ikon. Masih akan dikenang.
Itulah sebabnya, sangat patut kita peringati hari-hari yang sakral bagi beliau agar kita sadar. Kita belajar. Kita mawas diri. Tidak ada ataupun komunitas atau bangsa di dunia ini yang tidak punya pahlawan. Bahkan di masyarakat primitif pun menghargai leluhur atau tokohnya.
Nah kemarin kita barang kali alpa mengingat hari lahirnya seorang Hasan Tiro. Golongan apakah kita ini? Komunitas atau bangsa apakah kita ini. Tidak ada peringatan. Tidak ada diskusi bahkan barangkali sebagian besar penikmat perjuangan Hasan Tiro lupa mengirim sebait doa. Salah seorang yang lupa diri itu adalah saya sendiri. Sungguh tiada arti air mata saya malam itu. Tulisan ini sengaja saya tulis sebagai bentuk penyesalan saya atas lupa diri saya. Kenikmatan sebagai pejabat dengan segala fasilitas yang saya nikmati hari ini adalah pemberian Allah yang salah satu jalannya saya percaya atas perjuangan beliau.
Tentu tak guna semuanya kita sesali. Tapi dua catatan sejarah 25 September itu berkait dengan “Saman”. Tari Saman dan Hasan Tiro yang cucu Muhamad Saman alias Teungku Chik di Tiro yang menarikan tariang perang sabil melawan penjajah Belanda. Dua-duanya milik kita yang mendunia. Dua-dua mereka tak butuh kita. Namun kita membutuhkan keduanya. Dua-duanya kebanggaan kita.
Saya menutup tulisan ini dalam rangka mengutuk kebodohan dan kenaifan saya. “Hanya orang tak waras dan bukan manusia yang tidak punya sejarah dan tokohnya”.[] atjehpost.co
Penulis, Kepala Biro Humas Setda Aceh dan Mantan Jurnalis.