Oleh : Win Wan Nur*
Selain kopi satu satu potensi besar Aceh Tengah yang sering disebut-sebut sebagai potensi unggulan adalah sektor Pariwisata.
Pariwisata adalah sektor ekonomi penghasil devisa yang sangat menggiurkan, sebab keberhasilan pengembangan industri pariwisata di suatu wilayah selalu menimbulkan DAMPAK EKONOMI MULTI GANDA. Keberhasilan pengembangan industri pariwisata akan menciptakan dampak ekonomi langsung, tak langsung, dan dampak ikutan yang menggerakan UMKM dan ekonomi rakyat.
Dampak ekonomi yang langsung terlihat dengan berkembangnya industri pariwisata adalah berdirinya Hotel, Restoran, Perusahaan penyedia layanan wisata, Perusahaan Angkutan Pariwisata, Toko Cindera Mata serta jasa keuangan (money changer) yang mana semuanya akan memberikan sumbangan langsung kepada Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Dampak ekonomi tak langsung diperoleh melalui terserapnya tenaga kerja menjadi karyawan hotel dan restoran, pemandu wisata, bertambahnya sopir angkutan umum, berkembangnya pengrajin cinderamata, penjual sayuran, buah dan bahan makanan lainnya serta terbukanya lapangan kerja bagi seniman dan percetakan. Kemudian masih ada dampak ikutan, berupa semakin bergairahnya usaha petani sayuran, bunga dan buah, peternak ayam, ikan dan kerbau serta penghasil bahan baku kerajinan dan sektor agribisnis lainnya.
Tapi seperti juga kopi, sejauh yang kita lihat dan perhatikan, pemerintah Aceh Tengah nyaris tidak memberikan perhatian apapun terhadap sektor ini.
David Miller, seorang ahli pengembangan daerah mengatakan, “If you have a strong mayor and a good city government, you can actually make real change very quickly.” Dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya; “Kalau anda punya seorang walikota (Bupati) yang kuat dan pemerintahan Kota (Kabupaten) yang bagus, anda sebenarnya dapat membuat perubahan yang nyata dengan sangat cepat”.
Mengacu pada ucapan Miller, kita sempat menaruh harapan besar, ketika Nasaruddin yang terpilih sebagai bupati untuk kedua kalinya, mendeklarasikan bahwa di periode kedua kekuasaannya dia akan memfokuskan kerjanya untuk mengembangkan pariwisata.
Tapi setelah sekian lama Nasaruddin menjalani periode kedua kekuasaannya sebagai bupati. Kita belum melihat ada perubahan mendasar dalam kebijakan Pariwisata Aceh Tengah. Kebijakan mendasar seperti arah pariwisata mana yang akan dituju saja kita tidak tahu kemana.
Kinerja Nasaruddin dalam mengembangkan Pariwisata Aceh Tengah, sangat jauh kalau kita bandingkan dengan kinerja Abdullah Azwar Anas, Bupati Banyuwangi yang baru. Yang dilantik lebih akhir dibandingkan Nasaruddin.
Hanya dalam waktu setahun menjabat bupati, Abdullah Azwar Anas yang selama kampanye tidak berkoar-koar mengatakan akan memfokuskan masa jabatannya pada pengembangan pariwisata.membuat pariwisata Banyuwangi bergairah, meningkatkan PAD dan memberikan dampak ekonomi berganda pada daerah yang dipimpinnya.
Di masa kepemimpinannya yang baru seumur Jagung. Abdullah Azwar Anas telah berhasil mendefinisikan pariwisata Banyuwangi secara khas, berbeda dengan tujuan-tujuan wisata yang sudah lebih dahulu populer seperti Bali dan Jogjakarta.
Dalam seumur jagung kepemimpinannya, Abdullah Azwar Anas telah berhasil merapikan organisasi pemandu wisata, membuat berbagai Perda yang merangsang investor pariwisata masuk ke daerahnya dan menyelenggarakan dua event kelas dunia. Tour de Ijen untuk balap sepeda dan Kejuaraan dunia Surving di pulau merah. Berbagai festival hadir di Banyuwangi setiap bulannya. Mulai dari festival batik sampai festival rujak, terbukti berhasil membuat daerah yang sebelumnya tidak dilirik, menjadi tujuan kunjungan dari banyak orang. Bahkan sekarang Garuda pun telah membuka rute penerbangan ke daerah ini.
Bandingkan dengan kinerja Nasaruddin.
Kita sebagai masyarakat tidak pernah tahu segmen pariwisata yang mana yang menjadi orientasi sang Bupati, untuk dikembangkan. Apakah Health Tourism, Edu Tourism, Theme Park Tourism (semacam Disney atau Trans Studio), ada Spiritual Tourism atau yang paling umum kita kenal ECO TOURISM yang di dalamnya termasuk juga budaya.
Pasar yang dituju apakah kelompok Youth Tourism, Retirement Tourism atau bahkan Muslim Tourism. Kita tidak pernah tahu.
Kita juga tidak melihat Nasaruddin menyiapkan infrastruktur pendukung semacam penyiapan tenaga pemandu wisata, peraturan daerah yang memberi rangsangan pada investor pariwisata untuk masuk ke Aceh Tengah.
Kita juga tidak melihat Nasaruddin melakukan jemput bola mendekati para agen perjalanan untuk memasukkan Aceh Tengah ke dalam salah satu daerah kunjungan wisata mereka.
Bahkan yang paling mendasar, kita juga tidak pernah melihat Nasaruddin melakukan hearing atau sarasehan atau apapun namanya mengundang para pelaku atau ahli-ahli pariwisata untuk dimintai pendapatnya tentang pengembangan Pariwisata di daerah yang dia pimpin.
Yang kita tahu dalam kurun waktu dua tahun saja, sejak juni 2012 sampai sekarang. Sudah 5 kali Kadis Pariwisata diganti. Apa alasannya?, hanya Tuhan dan Bupati Nasaruddin yang tahu.
Kenapa dua bupati dengan wewenang yang sama ini bisa begitu berbeda?. Kalau kita perhatikan, hanya ada satu hal kecil saja yang menjadi pembeda. Abdullah Azwar Anas sangat kooperatif, dia suka mendengarkan pendapat orang lain yang lebih mengerti di bidangnya, termasuk dalam urusan pariwisata. Sebagai pribadi Abdullah Azwar Anas juga egaliter, gampang berbaur, tidak gengsi dan tidak bergaya bos. Sebagaimana Jokowi ketika memimpin Solo.
Abdullah Azwar Anas juga menerapkan kebijakan transparansi anggaran. Misalkan untuk urusan Pariwisata ini, pemerintahan Abdullah Azwar Anas mempublikasikan anggaran yang dikeluarkan secara transparan. Sehingga public bisa menilai sendiri, sejauh apa efektifitas kebijakan itu terhadap kemajuan daerah. Kemudian kalau ada anggota masyarakat yang akan menyumbangkan saran. Mereka juga bisa dengan mudah berhitung, berapa anggaran yang ada untuk mewujudkan sarannya.
Sementara Nasaruddin, sebagaimana kita kenal adalah tipe Bupati yang suka menutup diri, menjaga jarak dari masyarakat dan agak alergi kritik serta hanya percaya pada pendapatnya sendiri. Nasaruddin hanya mendengarkan masukan dari orang-orang di sekitarnya, yang terdiri dari tim suksesnya. Kalau muncul ke publik. Nasaruddin belum bisa meninggalkan gaya feodal ala pejabat zaman orde baru yang sudah ketinggalan zaman.
Berbeda dengan Abdullah Azwar Anas dan bupati setipenya yang melakukan jemput bola terhadap ide-ide segar di sekelilingnya. Nasaruddin menunggu orang yang punya ide dan pemikiran untuk menghadap, sebagaimana mantan anggota tim suksesnya menemuinya saat meminta jatah proyek.
Kemudian, soal anggaran. Pemkab Aceh Tengah dikelola seperti perusahaan keluarga. Hanya pemilik yang tahu kondisi keuangan yang sebenarnya. Masyarakat tidak pernah tahu, berapa anggaran per sektor, kemana saja alokasinya dan apa sasarannya.
Akibatnya, kalaupun ingin menyumbangkan saran. Kita tidak pernah punya gambaran, apakah kondisi keuangan Pemkab memungkinkan untuk mewujudkannya.
Adalah mustahil mengharapkan munculnya satu terobosan brilian dari seorang bupati dengan karakter seperti ini. Untuk bupati yang memiliki tipe seperti pahat yang hanya berfungsi kalau dipalu ini, sebenarnya sangat dibutuhkan rakyat yang peduli dan sadar serta tanpa canggung menanyakan haknya. Tapi sayangnya, ini bukan tipe rakyat Aceh Tengah.
Sehingga kalau kita menginginkan perubahan di Aceh Tengah. Kita hanya bisa berharap kepada anggota dewan yang baru dilantik. Untuk memberi tekanan kepada Bupati.
Kalau tidak, sampai habis masa jabatan Nasaruddin sebagai bupati. Majunya sektor pariwisata Aceh Tengah, hanya akan ada dalam angan-angan, laksana mimpi di siang bolong.
*Analis Budaya dan Pariwisata, Anggota Dewan Adat Gayo