Girang Pemulo

oleh

Catatan Khalisuddin*

GIRANG pemulo, satu istilah yang kerap saya dengar semasa kecil bersama kawan sepermainan jika bermain semisal men (main) Bak Uwo, men keneker, men eskot, men karet dan permainan tradisional lainnya yang sifatnya kompetitif (lomba). Girang Pemulo juga akrab ditelinga saat beranak remaja, saat menekuni olahraga moderen, badminton dan tenis meja.

Girang pemulo kemudian nyaris tak terucap dan tak terdengar lagi ditelinga saya saat menginjak kaki diperantauan. Pertama karena bahasa sehari-hari bahasa Aceh dan Indonesia. Sebab kedua karena tidak menggeluti lagi aktivitas yang membuat saya dan lingkungan mengucapkan Girang Pemulo.

Kembali ke tanah kelahiran di Takengon dan menetap di Pegasing sejak tahun 2000, girang pemulo kembali akrab di telinga. Ketika giliran jaga malam di Pos Siskamling ketika konplik Aceh berkecamuk. Lazim, warga mengisi kejemuan dengan men atu (domino).

Girang pemulo kembali makin akrab ditelinga saat terpanggil turut membina berbagai macam olahraga di tingkat desa hingga kabupaten sejak 2005. Baik itu olahraga sepak bola di klub Angin Aras Simpang Kelaping atau bersama Almarhum Katung alias Hikmah Jaya di Persatuan Sepak Bola Takengon Sekitar (Persitas). Girang pemulo juga kerap saya dengar dan ucapkan saat bersama atlet cabang olahraga balap sepeda, dayung, renang dan pacuan kuda, saat latihan atau perlombaan.

Girang Pemulo bermakna “gembira duluan, suka (senang) diawal saja, merasa menang” sebelum suatu perlombaan berakhir (finish). Kerap diucapkan oleh pihak yang kalah menanggapi kemenangan lawannya di awal-awal perlombaan. “eleh, oya ke girang pemulo we ya”, (halah itu kan hanya menang diawal), begitu yang kerap diucapkan.

Ucapan ini bisa jadi betul-betul terjadi saat kondisi permainan berbalik, posisi unggul berbalik menjadi pihak yang kalah diakhir lomba. Namun kerap juga bermakna menghibur diri atau sugesti saja karena pada akhirnya mesti mengakui keunggulan lawan.

Secara teknis dalam sebuah perlombaan, katakanlah balap sepeda atau sepak bola, girang pemulo dilakoni atlet atau tim yang hanya “merasa” atau sebenarnya lebih memiliki skill ketimbang lawannya, namun harus kalah diakhir karena tidak dibekali kondisi fisik sesiap pihak lawan hingga tuntasnya pertandingan atau tiba di garis finish.

Girang pemulo juga bisa terjadi karena kegagalan membaca kekuatan lawan serta lemahnya memenej waktu “lamanya” perlombaan. Pihak lawan justru mempermainkan dengan memberi kesempatan lawannya untuk girang pemulo, tujuannya bisa ditebak tentu untuk lebih mempermalukan lawannya dengan memberi peluang girang pemulo.

Pelaku Girang Pemulo biasanya tidak terima dengan kekalahan, dalam sepak bola di Gayo biasanya berujung pada keributan karena mencari-cari kesalahan pihak lain, baik itu wasit, lawan main atau bahkan penonton. Dalam balap sepeda biasanya membanting sepeda, menyatakan sepedanya rusak, terjatuh serta upaya lainnya sebagai wujud tidak terima atas kekalahan.

Di Gayo, girang pemulo juga terpraktekkan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan lainnya seperti membentuk satu organisasi. Awalnya semangat seolah-olah semua mudah alias gampang namun ternyata kian hari semangat itu kian pudar dan malah organisasinya bubar tanpa resepsi. Kerap terjadi di Gayo, pelantikan pengurus ini dan itu, namun nyatanya tak berlanjut dengan aktualisasi tujuan organisasi itu dibentuk. Kepentingan sesaat saja.

Keinginan merebut suatu kedudukan dalam organisasi baik profit maupun sosial sangat kuat, namun setelah berhasil merebutnya ternyata gagal menjalankan program, hanya sebatas Girang Pemulo dan sebatas pampang nama yang diistilahkan dengan “terih gere ker” atau “ngenaki gah”.

Dalam kontek lain, misalnya politik, girang pemulo memang kurang tepat dijadikan salah satu istilah karena lebih cenderung diartikan terlalu percaya diri untuk menang. Namun lazim dipraktekkan oleh individu atau kelompok yang tidak matang atau kurang lihai dan jeli membaca perpolitikan. Merasa akan menang sebelum laga politik usai (final), bahkan girang pemulo sebelum permainan dimulai.

Kenyataannya mesti menelan pil pahit “kalah” saat penghitungan suara. Contoh kasusnya hampir disetiap penyelenggaraan Pemilu langsung, Pilkada atau Pemilu Legislatif.

Bagi pemenang politik juga kerap terjebak girang pemulo saat memenuhi janji politik kepada pemilih untuk capai kemenangannya. Pejabat politik girang pemulo menggulirkan program yang telah dijanjikan. Program hanya mampu dimulai, namun gagal finish alias gagal. Akibatnya, simpati pemilih berkurang dan malah hilang samasekali.

Sangat tidak bermaksud memvonis individu atau kelompok di Gayo berkelakuan “Girang Pemulo”, namun mari sama-sama merenung dan berkaca (auto kritik). Girang Pemulo adalah salahsatu karakter negatif dari Urang Gayo yang mesti diminimalkan prakteknya. Generasi Gayo perlu menanggalkan kelaziman Girang Pemulo untuk mencapai tujuan memarwahkan diri pribadi dan bangsa Gayo. Tentu kita berharap kedepannya tidak ada lagi yang mengatakan “Urang Gayo hanya kaya gagasan, namun tuh lukup (langka) yang berhasil diaktualisasikan”.[]

*Warga Takengon

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.