Matahari perlahan beranjak tenggelam menyembunyikan diri, udara dingin menghembuskan kemesraannya dengan manja membelai seluruh sudut dataran tinggi gayo. Seperti biasanya saya melayani para penikmat kopi yang hadir di coffee shop berukuran kecil berada di bagian barat RSUD Datu Beru di Takengon, secangkir eapresso ya cangkir kecil yang sering juga di sebut “slocky” dengan ukuran 25 ml di depanku dan seorang pemuda yang menikmati cairan hitam pekat yang sama.
Tak lama kemudian handphone saya berbunyi menandakan ada panggilan masuk langsung saya ambil dan menerima panggilan, baru saja seorang dosen yang merupakan salah satu pembantu rektor di Universitas Gajah Putih. Dia mengabarkan bahwa akan ada Workshop bersama mahasiswa dari Taiwan yang difasilitasi oleh The Rainforest Coffee. Sebelumnya memang sudah dikabarkan oleh The Rainforest coffee yang di sampai ibu Anggi langsung melalui telephon dua hari sebelum itu.
Waktunya telah tiba semua persiapan telah disiapkan dengan apa adanya, harapannya acara memang diselenggarakan di dalam kampus namun dengan keterbatasan fasilitas yang dimiliki maka dengan terpaksa harus di laksanakan 11-15 Agustus 2014 di sebuah hotel yang ada di kota Takengon, hotel Mahara.
Mahasiswa dari Taiwan telah tiba di hotel dua malam sebelum acara, itu artinya mereka punya waktu satu hari untuk memeprsiapkan diri dan jalan-jalan menikmati indahnya alam dataran tinggi Gayo dengan danaunya yang indah udaranya yang sejuk nan segar melintasi indra pencium menuju syaraf-syaraf otak, sambil mebisikkan ini adalah anugrah Tuhan yang diberikan untuk Urang Gayo, sambil menyicipi masakan khas Gayo di pinggiran danau yang sangat dicintai oleh Urang Gayo.
Dihari pertama pelatihan sejujurnya saya sendiri merasa sangat takut karena berdasarkan pengalaman yang selama ini telah dilakukan kegiatan yang sifatnya pendidikan seperti Workshop sangat sulit mengajak mahasiswa untuk ikut berpartisipasi,tapi kenyataannya pada hari ini tidak, semua berada di luar dugaan yang menghantui fikiran saya, pada saat acara pembukaan ruangan yang berukuran 200 m² itu sesak dibanjiri peserta, entah kenapa itu terjadi ini memang sesuatu yang mengagumkan telah terjadi perubahan yang cepat (the Changes Quickly) dalam tubuh mahasiswa yang harus kita berikan apresiasi terlepas dari faktor apa yang mempengaruhinya.
Workshop di mulai dengan berbagi pengenalan budaya Gayo dan Taiwan, hari pertama tidak ada materi yang serius kecuali hanya adaptasi dan pendekatan antar dua kelompok anak manusia yang sangat berbeda, mulai dari warna kulit, sosial budaya, agama, bahasa dan karakter.
Pelatihan Pendidikan kopi Internasional Aceh-Taiwan 2014 yang dilaksanakan oleh tiga lembaga besar yaitu Universitas Gajah Putih, The Rainforest Coffee, dan National Chio-Tung University di sponsori oleh ASUS ini telah membuat saya berpikir jauh bukan tentang isi dari beberapa materi yang disampaikan tapi karena bagaimana mereka memikirkan kopi sementara di negara mereka sangat sedikit pohon kopi, tapi mereka begitu menghargai dan mencintai kopi hanya karena di negara mereka banyak penikmat kopi. karena itu saja? Lalu mereka datang untuk memberikan pencerahan kepada kita?
Mungkin sesuatu yang tidak masuk akal tapi realitasnya begitu mereka melakukan penelitian demi memenuhi rasa ingin tahu mereka tentang kopi dan bagaimana kondisi petani kopi yang mereka katakan penghasil emas hitam (The Black Gold), bagi saya ini sebuah teguran yang menusuk sanubari dan ruang intuisiku terus mengalir bak air bah menghantam daratan.
Workshop bersama mahasiswa Universitas Gajah Putih sore ini, saya mengajak mahasiswa dari National Chiao-Tung University untuk berdiskusi lepas di PMW Coffee, awalnya tidak ada ijin dari The Rainforest Coffee selaku pelaksana tapi saya memaksa dan akhirnya diizinkan,
Mahasiswa dari NCTU yang berjumlah delapan orang diantaranya empat perempuan dan empat wanita, tambah seorang Profesor yang bernama Tsai, Yen-Ling dan seorang stafnya, ba’da Shalat Isya dibawah hujan dengan sebuah bus berwarna hijau kami melaju menuju PMW Coffee sampai tempat, mahasiwa NCTU dan mahasiswa UGP menggelar makan malam bersama setelahnya diskusi lepas sambil menikmati kopi Arabika Gayo yang disuguhkan oleh sahabat saya Ariza Sahputra dan Hendrika Fauzi diskusipun mengalir hingga larut malam.
Dalam diskusi ini ada sebuah pesan yang menurut saya sangat penting untuk saya catat adalah Prof. Tsai, Yen-Ling mengatakan “Universitas Gajah Putih adalah universitas yang terbesar yang berada di seantero bumi kopi, dan kalian yang mempunyai kopi kalian harus lebih peduli dengan kopi UGP kan bisa dijadikan sebagai institusi yang fokus untuk meneliti dan membahas berbagai persoalan tentang kopi jadi akan ada khas yang ditampilkan oleh UGP sehinga para lulusan dari UGP akan identik keilmuannya dengan kopi saya yakin banyak mahasiswa dari luar yang akan kuliah di sini (UGP) ini besar dampaknya terhadap pembangunan daerah semakin banyak mahasiswa dari luar yang kuliah disini maka perputaran uang juga akan terus bergerak disi tidak lagi keluar, dampaknya kepada perekonomian masyarakat maka ekonomi mikro akan berjalan dengan berkembangnya usaha-usaha kecil dan pariwisata juga semakin kuat promosinya kalian harus bersyukur dengan apa yang kalian miliki”.
Untuk sebuah pesan sekaligus bagi saya sebuah kritik yang cukup menyayat ini menjadi sebuah tekad dan motivasi dalam diri untuk berbuat lebih besar, dalam hal ini Urang Gayo harus lebih banyak bersyukur dan menjaga harta yang di miliki dengan sebaik mungkin, seperti kutipan lagu Tawar sedenge “Nti datën, bôrkêliêtên, Mongotpudêdêru, Oyalêrahmatni Tuhên, Ken ko bëwënmu”.
*Mahasiswa Universitas Gajah Putih