Social Value of Saman Dance
Saman, pada masyarakat Gayo banyak dimainkan oleh pemuda dan merupakan tarian khas masyarakat Gayo yang mendiami daerah pedalaman Aceh. Namun ada perbedaan ketika Saman dimainkan oleh kelompok/komunitas masyarakat pada daerah selain tanah Gayo. Gayo sangat berbeda dengan suku lain di Aceh, dari sisi budaya, bahasa, adat istiadat dan kebiasaan hidup. Perbedaan tarian itu terlihat dari variasi permainan Saman, kecepatan dan lantunan lagu yang hanya sesekali disuarakan.
Saman, kerap disajikan dalam momen tertentu atau menjadi pertunjukan manakala ada acara yang diselenggarakan oleh berbagai pihak dan diundang pemain Saman untuk memeriahkan acara-acara tersebut. Penikmat Saman biasanya cukup kagum dengan pertunjukkan itu, asyik memang, banyak yang menilai bahwa hentakan tangan (tepok)-dada-paha dan gelengan kepala serta suara yang sayup membuat para penonton takjub. Lihainya pemain dalam gerakan tubuh dan kepala merupakan kunci keberhasilan pemain Saman. Syair yang dibawakan juga faktor pendukung dalam Saman.
Disaat tarian Saman berlangsung ada hal yang sangat unik perlu diperhatikan, yakni gebrakan kolaborasi ketika semua anggota tubuh mereka terbangun dan dengan cepat menupuk tangan-dada dan paha dilanjutkan dengan suara seakan meng-gertak penonton. Sebenarnya mereka hanya membangunkan penonton dari konsentrasi pandangan dan penghayatan kemudian serentak penonton seakan sedang diajak ikut bermain bersama mereka. Disaat itulah panggung yang tersusun dari papan bergetar seolah gempa sedang terjadi pada pertunjukkan itu. Demikian cuplikan Saman yang diperkenalkan oleh masyarakat Gayo (Gayo Lues-Blang Kejeren) berlangsung dalam berbagai event.
Urang Gayo Blang yang melakukan perantauan juga dapat memainkan tarian Saman, mereka dengan sendiri bisa membuktikannya di depan umum walaupun terkadang tidak seperti apa yang dilihat oleh banyak kita. Tapi sungguh luar biasa, susah untuk mempelajarinya namun mudah memainkan bagi mereka yang terlatih.
Yang ingin saya sampaikan, bahwasanya tarian Saman masyarakat Gayo (Blang Kejeren) ini adalah kemampuan intelektual urang Gayo dalam menciptakan budaya tersendiri yang berbeda dari masyarakat lain. Ketika Gayo itu dikumpulkan maka akan berbeda budaya yang ditampilkan baik dari tarian, lagu, dan pertunjukkan lain yang dimiliki dalam keseharian masyarakat Gayo. Demikian pula Saman yang ditunjukkan oleh Urang Gayo Blang yang tidak dimiliki masyarakat lain di Gayo maupun Aceh.
Saman hanya ada di Kabupaten Gayo Lues (Blang Kejeren), di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah ada Didong, itu adalah contoh tarian yang berbeda di masing-masing kabupaten dalam masyarakat Gayo. Dan ada yang dapat memainkan Saman ditempat lain, itu karena mereka mempelajarinya dari penari Saman asli atau mereka keturunan dari Blang Kejeren. Tidak ada perkataan “haram” dimainkan Saman pada event budaya, karena sebenarnya pemain Saman itu adalah laki-laki, dan bukan perempuan. Itu adalah kode etik budaya masyarakat Gayo.
Bukan saja tarian yang dimainkan oleh kaum laki-laki yang ada pada urang Gayo Blang, namun ada juga tarian yang di mainkan oleh kaum wanita sehingga terjadi peran yang berbeda dalam pertunjukkan tarian pada masyarakat Gayo Blang, demikian masyarakat Gayo Blang Kejeren juga memahami tentang kesetaraan gender. Dalam tarian Saman lebih didominasi oleh kaum laki-laki, alasannya karena permainan Saman sangat beresiko jika dimainkan oleh kaum perempuan. Maka kaum perempuan Gayo Blang punya tarian yang belum dikenal oleh banyak orang seperti Saman yang sudah masyhur, tarian itulah yang bernama “Bines”. Bines sama seperti tarian-tarian lain. Jika diperhatikan secara seksama, tarian Bines sama seperti tarian perempuan-perempuan lain, namun jelas ada ciri khusus yang ditampilkan.
Saman pemainnya tidak berdiri tetapi hanya badan yang tegak pada posisi setengah bagian badan, dari dengkul sampai ke kaki tetap berada di alas. Sementara untuk tarian Bines, mereka kaum perempuan memainkan dengan posisi badan berdiri. Kemudian dalam tarian Saman dan Bines ada syair/lagu disana, syair itu dibawakan ada menyangkut kehidupan sehari-hari, kondisi lingkungan, sosial ekonomi, politik juga ada, amanah guru-orang tua-dan agama, selian itu juga ada gurauan kata-kata untuk semua orang. Itu semua berbahasa Gayo.
Kembali ke event Saman. Benar yang disampaikan oleh Ayi Jufridar (majalah “Saman” edisi I, Okt 2010), jika Saman di Gayo sering dipertunjukkan disaat selepas lebaran idul fitri dan selepas Maulid Nabi Muhammad SAW. Ternyata, bukan saja kedua hari besar tersebut ada event Saman di Blang Kejeren. Tetapi juga dilaksanakan setelah hari raya haji (Idul Adha), ketiga hari besar tersebut dapat dikatakan musim Saman. Masyarakat Gayo menamakan event Saman ini dengan nama “bejamu Saman”. Bejamu Saman merupakan kegiatan perantauan masyarakat dari satu kampung ke kampung lain tujuan pelaksanaan Saman, mereka yang datang ke kampung tujuan disebut dengan “Jamu”, sementara untuk kegiatannya adalah “beSaman”, sehingga event tersebut dinamakan Bejamu Saman (Bertamu Saman), atau jamu beSaman (Tamu BerSaman). Mereka tamu berSaman yang datang adalah kaum laki-laki.
Ada yang menarik dari bejamu Saman ini, adalah pembentukan silaturrahmi antara pemain Saman dimasyarakat Gayo pada musim Saman berlangsung. Semenjak orang tua saya (1960-an) muda tradisi jamu beSaman ini sudah ada didapatkan. Sampai pada saat sekarang, Saman dengan berkunjung ke kampung-kampung dalam Kabupaten Gayo Lues masih terjadi, atau ada juga yang berkunjung ke daerah lain namun tempat yang dituju sudah pasti komunitas masyarakat Gayo Blang. Mereka datang dari satu kampung ke kampung lain untuk memainkan Saman, kemudian dibalas dari kampung tempat mereka bermain dengan berkunjung ke kampung pemain tersebut dengan membawa personil Saman lengkap. Demikian balas-berbalas Saman dalam budaya urang Gayo blang. Kegiatan Saman ini biasanya berlangsung selama dua hari dua malam.
Taukah kita, bahwa dalam kegiatan itu rupa-rupanya terbentuk satu ikatan persaudaraan yang kuat sampai ke anak dan cucu mereka. Jika satu kampung sudah berkunjung ke kampung tempat mereka bermain, maka sudah menjadi kewajiban untuk kampung tersebut melakukan hal yang sama ke kampung mereka. Budaya ini tidak bisa dilupakan oleh masyarakat Gayo, jika mereka tidak bertemu dalam beberapa tahun maka akan diadakan kembali acara tersebut untuk mengukuhkan tali persaudaraan yang selama itu renggang.
Serinen Saman
Masyarakat Gayo memperkenalkan kepada kita kegiatan di Gayo pada event Saman berlangsung dengan membentuk tali persaudaraan antara pemain Saman dan panitia pelaksanaan jamu beSaman. Hal ini diistilahkan dengan “serinen” yang arti dalam bahasa Indonesia disebut saudara. Serinen dalam Saman itu bukan terbentuk secara serta merta, misalkan karena datang pemain Saman dari kampung “Godang” ke kampung “Atu Kapur” maka semua personil Saman kampung Godang dapat di katakan serinen. Akan tetapi salah satu mereka ditunjuk dan diarahkan oleh pimpinan kedua kampung untuk mendapatkan satu saudara angkat di kampung tempat mereka akan bermain.
Dari sisi etimologi, serinen dalam pandangan umum masyarakat Gayo adalah panggilan untuk saudaranya. Namun, yang di tunjukkan oleh masyarakat Gayo Blang ini adalah pembentukan persaudaraan melalui silaturrahmi antara pemuda kampung asal jamu beSaman dan kampung tujuan beSaman dengan memenuhi mekanisme pemilihan serinennya.
Nah, bagi banyak masyarakat yang memeluk agama Islam, mereka pasti terbanyang dan harus memperingati tahun hijriah. Dimana tahun tersebut ditandai dengan hijrahnya Nabi Muhammad Saw dari Mekah ke Madinah. Disaat mereka sampai di Madinah kaum Anshar langsung menyambut kaum muhajirin dengan penuh harap dan kasih sayang kemudian kaum muhajirin dilayani dan dijaga seperti layaknya saudara kandung kaum Anshar. Hijrahnya Nabi Muhammad Saw dan pengikutnya dari Mekkah itu membuat catatan besar dalam Sirah Nabawiyah.
Apa yang dilakukan oleh kaum Muhajirin dan Anshar itulah yang diadopsi oleh pemain Saman atau masyarakat Gayo, mereka berkunjung ke kampung lain untuk bersilaturrahmi dengan saudara seiman dengannya. Bedanya, pemain Saman tidak bermaksud untuk tinggal selamanya di kampung tempat mereka bermain, tapi mereka memberi kabar gembira tentang apa yang didapat di kampung mereka dan menggali ilmu dari kampung berikutnya tentang apa yang belum mereka ketahui. Intinya adalah silaturrahmi, berbagi informasi, dan persahabatan.
Prosesi pengenalan serinen ditentukan disaat pemain Saman tiba pada kampung yang dituju. Mereka diarahkan oleh pengulu/orang yang dituakan kampung tersebut untuk menentukan siapa yang akan menjadi serinen mereka disaat awal pertemuan jamu Saman. Satu pemain dan/atau satu crue Saman untuk satu keluarga serinen. “Jamu”(tamu) Saman tinggal di rumah serinen yang telah dipilih secara terpisah. Di rumah itulah apa yang dilakukan pemilik rumah maka itupulalah yang dilakukan oleh “Jamu” yang tinggal di rumah tersebut. Pemilik rumah yang biasanya adalah kepala keluarga memperkenalkan anggota keluarganya kepada serinennya, maka tidak ada lagi yang tertutupi oleh kepala keluarga/tuan rumah kepada serinen. Jika kepala keluarga sudah tua dan tidak dianggap layak lagi untuk melayani tamu maka yang menggantikannya adalah anak laki-lakinya (bujang). Bersama tuan rumah itulah sang jamu melaksanakan semua aktivitas sehari-hari secara santun. Mereka menjadi serinen. Merekalah serinen (Saudara). Dan mereka saling panggil “Rinen”; “Kune Rinen”. “Man Kini Rinen.”
Serinen ini terjalin kuat manakala dari kedua belah pihak menyambut dengan tulus dan memberikan pelayanan yang khusus kepada jamu/serinen Saman. Upaya ini terus dilakukan oleh tuan rumah dengan memberikan perhatian yang baik kepada jamu sampai pada jamu Saman mempunyai batas waktu tinggal dan akan kembali. Ikatan persaudaraan akan dilanjutkan ketika masyarakat kampung tersebut hadir bermain di kampung serinen sebelumnya (beles beSaman). Serinen yang meninggalkan jamu beSaman akan diberikan selpah (ole-ole) apapun bentuknya, itu akan menjadi “syarat serinen” jika serinen akan berjumpa pada kesempatan lain. Atau menjadi tanda persaudaraan yang kuat sampai pada tahun-tahun berikutnya, anak dan cucu mereka.
Ikatan persaudaraan dalam event Saman yang berlangsung hanya dalam beberapa hari ini membentuk satu tali persaudaraan yang kuat dalam Serinen selama bertahun-tahun, lalu ada yang terus menerus membentuk persaudaraan sampai anak bahkan cucu mereka, kemudian ada pula yang langsung mengangkat serinen menjadi adik/abang mereka, serta ada juga yang menjodohkan anak atau saudara lain dari pihak keluarga yang berbeda untuk menikahkannya.
Persaudaraan yang kuat ini dimanfaatkan oleh kedua belah pihak untuk kepentingan-kepentingan keluarga mereka, pihak keluarga akan meminta bantuan apabila ada sesuatu yang negatif terjadi pada salah satu serinennya. Si jamu akan memberikan bantuan seoptimal mungkin sampai keluar dari kesulitan itu, misalkan pemenuhan pendidikan anak serinen, maka serinennya akan membantu biaya pendidikan, jika pun tidak maka serinen akan mengusahakan tempat tinggal, atau memberikan akomodasi atau hal-hal lain. Bahkan ada yang paling menarik, jika salah satu serinen mengalami perkelahian dengan orang lain di kampung serinennya, maka rumah dari serinennya bisa menjadi andalan tempat berlindung dan tempat untuk melakukan negosiasi.
Dikarenakan ketatnya tali persaudaraan antar serinen dapat dijadikan saudara sedarah, bahkan sampai pada tidak boleh menikah antara saudara serinennya karena itu dianggap tabu dari masing-masing serinen.
Inilah yang berlangsung antara serinen selama bertahun-tahun dari jamu beSaman yang hanya dilaksanakan selama dua hari. Ikatan persaudaraan itu terjadi bukan pada musim Saman, tetapi setelah acara Saman selesai dan persaudaraan terjalin dalam beberapa tahun tanpa putus. Demikian indahnya mencari saudara di musim Saman.[]
*Hasil observasi di Kabupaten Gayo Lues
**Pengurus Yayasan Redelong Institute, tinggal di Takengon