[Cerpen]
Irama Br Sinaga
Malam itu cahaya bulan seperti membelai bumi. Dia terima sebuah pesan singkat yang berbunyi “Ass, minta maaf abang dex, kita akhiri saja hubungan ini dari pada berlayar lebih jauh. Maafkan abg”. Wassalam.
Setelah membaca pesan itu, tiba-tiba dia merasakan pengap dan penuh sesak.
saat itu dia sedang bersama seorang sahabat di rumah saudaranya. Dia raih kunci sepeda motor dengan tergesa, dan mengajak kawannya untuk segera pulang. Pikirannya kacau dan hatinya mendadak ingin marah. Keadaan sungguh tak berpihak padanya.
“Dia memutuskanku?”, tanyanya pada diri sendiri seolah masih meragukan pesan singkat itu.
Pesan itu tak mampu ia balas dan beberapa menit kemudian sang lelaki itu menghubungi. Tanpa salam dia langsung bertanya
“Apa alasan abang mengatakan itu?”. Rasa yang sulit dia terima karena baru dua jam lalu mereka sms-an dan berjanji akan membeli kartu yang sama dan menonaktifkan kartu lama agar tidak ada saling curiga.
“Maafkan abang dek, ternyata ayahku sudah setuju dengan Wati. Abang sangat mencintai adek dan selamanya abang mencintai adek. Tapi kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini, kata ayah terlalu jauh jarak tempat kita”.
Gerimis mulai merinai dingin, pikirannya kalut dan ingin lari menjauh sejauh yang dia bisa. Dia ingin menghapus semua tentang lelaki itu, ya lelaki yang sudah enam tahun menghiasi waktunya. Lelaki yang hadir atas nama Hadaini. Enam tahun bersama dan menjalani dengan penuh kebahagian, hari-hari dijalani dengan canda tawa serta berbuih janji yang diikrarkan. Sehingga dia yakin bahwa Hadaini adalah pangeran yang akan menemaninya hingga ajal menjemput.
Dia tak mampu berkata lagi dan memilih mengakhiri percakapannya, gemuruh mengguncang dada yang semakin sesak. Tak mampu ia bayangkan semua mendadak suram, buram dan muram menghiasi malamnya. Sepeda motor terus ia lajukan, deru air langit mulai menerpa wajah lusuhnya, menyatu dengan setitik kecewa yang menetes di manik matanya, campuran luka dan kecewa atas kepergian Hadaini yang telah ia tetapkan sebagai cinta terakhir.
Benci menghiasi keadaannya, hatinya terus menjerit kesakitan dan ia ingin berteriak seolah ini tak nyata, seolah ini hanya sebuah kisah dalam sebuah film di televisi. Namun cucuran air hujan menyadarkannya bahwa yang ia alami adalah nyata.
“Fi, kita berhenti dulu yuk, hujan ne?”, kata sahabatnya yang tidak tahu apa-apa tentang Sofi.
Deru sepeda motornya masih terus merangsek sepinya jalan yang terus diguyur hujan yang kian lebat. Kuyup raganya tak mampu mendinginkan hatinya yang terbakar, bara terus membara membakar jantungnya, meruntuhkan semua asa menjadi puing-puing berserakan. Dia tak mendengar apa kata sahabatnya. Sehingga sang sahabat pun mencubit dari belakang.
“Awww sakit, da pa…….!”, tanyanya dengan suara keras yang ia tak sadar.
“Iiih pelan ja kali, gua belum budek”, kata sahabatnya jengkel.
“Kamu tu cubit-cubit segala, kamu pikir gak sakit apa..? Aku bukan bantal sesuka mu dicubitu !”, Dia terbawa emosi.
“Lo, kok gitu sih ngomongnya. Kamu ne ya udah hujan, marah-marah lagi. Makanya bawa motor jangan asal gas, gua ngomong lo tarok kuping di dengkul”, sahabatnya ikutan marah karena hujan membasahi seluruh tubuhnya.
“Mang kamu ngomong apa?”, jawabnya sedikit merendah.
“Gak da remot untuk mengulang lagi, balap ja terus”, sahabatnya sudah pasrah dengan keadaan.
Dia tidak memaknai apa yang diucapkan sang sahabat. Dingin hujan, tak jua mampu meredam hatinya yang terlanjur hancur terbakar, laju sepeda motor pun ditambah sehingga mereka benar-benar basah kuyup.
“Dia sedang naik bulan apa habis pil ya? Udah tahu hujan lebat gak juga berhenti, tak biasanya dia seperti ini, ada apa gerangan?”, sang sahabat mulai berfikir.
Setibanya di rumah, Dia ganti baju dan berusaha tegar dihadapan sahabatnya. Sofi gadis malang yang harus menerima derita yang begitu dalam. Sakit sudah pasti, bagaimana bisa ia melupakan dalam sekejap. Bayangan wajah sang lelaki itu selalu menghantuinya, tak sedetik pun berlalu tanpa mengingat semua kenangan bersama.
Dia berfikir, inilah akhir hidupnya. Belum pernah dia merasakan sesakit itu, cintanya harus berakhir dengan pilu. Dia mencoba untuk bangkit, berusaha melupakan segala yang pernah tercipta. Beberapa pesan ia kirim untuk Hadaini, kata perpisahan, permintaan maaf dan meminta dia di undang, di hari pernikahan Hadaini dengan Wati pilihan orang tuanya.
Pesan ia kirim dengan perasaan yang tidak stabil, terkadang ia pasrah dan terkadang ia tabah tapi ia tak rela. Ia tak bisa bayangkan bila harus melihat dan menghadiri pernikahan itu. Cintanya terlalu dalam sehingga lukanya sulit terobati. Terkadang jua ia berfikir, “inikah balasan yang aku terima” , ya dia gadis malang yang harus menerima kenyataan pahit dalam hidupnya. Hadaini memilih Wati menjadi pendamping hidupnya. Suatu hari dia tak sanggup menahan air mata dihadapan sahabatnya.
“Kamu kenapa Fi?”, tanya sahabatnya.
“Aku tidak apa-apa sob, hanya aku saja yang belum bisa menerima kenyataan?”.
“Lo, mang kenyataan apa? Kamu mau menikah?????”, tanya sahabatnya.
“Bukan aku tapi….”
“Tapi siapa sob”, sahabatnya penasaran.
Dengan linangan air mata dia menjawab “Hadaini dengan Wati”.
“Hah apa..?? yang benar, jadi kamu?”.
Dia tak menjawab, air mata terus mengalir.
“Yang sabar ya sob, semua pasti ada hikmahnya. Dan yakin pasti ada yang lebih baik dari dia, yang datang dan mencintaimu setulus hati”. Sahabatnya mencoba memberikan semangat.
“Kamu tidak tahu bagaimana hatiku sob, aku sangat terpukul sekali, dia tega memutuskan aku. Dan yang paling menyakitkan dia memberikan aku janji yang indah dan harapan yang pasti”.
“Hmm aku cuma bisa memberimu nasehat sob, jangan gara-gara itu ngak mau makan dan tidak bisa tidur, dia bahagia kamu sakit”.
“Jika harus memilih, lebih baik aku sakit parah dari pada aku disakiti seperti ini, rasanya bagai mimpi dan sungguh sangat menyakitkan”.
“Ya, tapi kamu harus tahu bahwa setiap masalah itu pasti ada hikmahnya”.
“Tapi sob, aku belum pernah sesakit ini”.
“Ya, setiap manusia pasti merasakan pahit, sakit dan kecewa. Mungkin dengan masalah ini kamu semakin dewasa”.
“Tahlah sob, doain ya semoga aku bisa hidup tanpanya dan aku bisa melupakannya”.
‘Pasti sob, doaku menyertai mu. Tapi sob harus tahu bahwa langkah, pertemuan, rizki dan maut hanya Allah yang tahu, dan sob harus tahu juga orang menikah saja bisa berpisah apalagi masih pacaran. Jadi sob harus sabar dan mungkin akan ada pangeran yang lebih tampan, baik, setia dan kaya yang mencintaimu selamanya. Hadaini adalah laki-laki yang rugi meninggalkan wanita sebaikmu karena kamu adalah sahabat yang paling baik yang aku kenal”.
“Terkadang juga aku sadar jika dia mencintaiku tidak mungkin dia memutuskanku dan memilih wanita lain, tapi aku terlanjur mencintainya sob dan aku benar-benar mencintainya”.
“Ya, memang sulit untuk melupakan orang yang kita cintai tapi dari pada kamu ditinggal mati mending ditinggal nikah he he”.
“Hah kamu ne ya masih sanggup tertawa di atas penderitaanku”.
“Eits bukan gitu sob, tadi cuma menghibur aja. Aku gak mau melihat ada air mata membasahi pipimu yang lembab itu dan aku ingin senyummu selalu merekah menghiasi wajah manismu”.
“Hmm makasihlah sob, akan ku coba untuk melupakannya dan menghapus segala tentangnya”.
“Setuju, berarti kamu tercipta bukan dari tulang rusuknya. Hmmm dari tulang rusuk siapakah sahabat ku ini tercipta ya? he he”.
“Ah kamu ne ada-ada ja”, sembari tersenyum tipis menghiasi lukanya.
Selain indah, cinta juga berduri tajam dan sanggup melumpuhkan segalanya. Inilah yang dialami Sofi yang mencintai Hadaini begitu dalam. Pesan terakhir yang dia terima dari Hadaini membuat hatinya semakin sakit “Adek boleh tidak sms abang tapi tolong jangan lupakan abang”. Dia membalas pesan terakhir itu.
“Selamanya abang tak pernah bisa kulupakan, karena hanya abang yang sanggup menyakiti hatiku”. [SY]
Irama Br Sinaga, lahir di Samardua Singkil pada Tanggal 11 Juli 1991. Salah seorang cerpenis perempuan Aceh yang produktif, alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh. Mottonya La takhof, Innaka Antal a’la (Jangan takut, sesungguhnya engkau yang paling unggul).