Oleh : Khalisuddin*
Loyang Koro adalah salah satu destinasi wisata di Aceh Tengah yang paling banyak dikunjungi wisatawan, berlokasi di kaki Bur Birah Pinyang, terpaut beberapa meter saja dari tepi Danau Lut Tawar. Loyang dalam bahasa Gayo berarti gua dan Koro, kerbau. Berlokasi sekitar 6 kilometer dari pusat kota Takengon melewati kampung Pedemun sebelum masuk pemukiman Toweren.
Lalu kenapa diberi nama Loyang Koro atau Gua Kerbau?, menurut cerita yang berkembang di tengah masyarakat kemukiman Toweren Lut Tawar yang diceritakan Aman Martian salah seorang pewaris lokasi tersebut, dulu Loyang Koro tembus hingga Loyang Kaming di kampung Isaq Kecamatan Linge yang jaraknya puluhan kilometer arah selatan. Dinamakan Loyang karena menjadi jalur mobilisasi ternak kerbau dari Takengon menuju Kawasan Linge dan sebaliknya. Linge sejak dulu dikenal sebagai kawasan penggembalaan ternak, khususnya kerbau.
Konon, hingga abad ke-18 Loyang Koro masih dipakai sebagai lintasan mobilisasi kerbau karena jalur lain mesti melintasi kawasan hutan lebat Bur Lintang yang hingga tahun 1970-an masih berkeliaran berbagai macam binatang buas seperti harimau.

Pertanyaannya, kenapa kerbau-kerbau mesti digelandang dari Linge ke Toweren atau daerah lain di Takengon? Sebagian masyarakat dataran tinggi Gayo yang memiliki sawah hingga zaman moderen saat ini masih mengandalkan kerbau untuk membajak sawah, bukan dengan tenaga 1 atau 2 ekor kerbau tapi hingga puluhan ekor. Caranya, gerombolan kerbau digiring mengelilingi petak sawah yang sudah diairi hingga betul-betul lembek. Kaki-kaki kerbau melumatkan tanah sawah hingga siap untuk ditanami bibit padi.
Pola menggarap sawah seperti ini dikenal dengan istilah Mungoro yang dilakukan setelah subuh hingga matahari terbit. Waktu lain kerbau sulit dikendalikan karena keinginan kerbau mencari pakan.
Saat musim Mungoro sudah usai dan padi mulai ditanam, tentu areal penggembalaan ternak termasuk persawahan menjadi berkurang sementara areal lainnya merupakan areal perkebunan, maka kerbau-kerbau kembali dimobilisasi ke areal penggembalaan ternak di kawasan Linge. Saat padi selesai panen yang dalam bahasa Gayo dikenal dengan istilah Lues Belang, sebagian pemilik kerbau kembali menjemput kerbaunya dari kawasan Linge hingga menjelang musim tanam padi kembali tiba.
Loyang Koro menjadi alternatif lintasan kerbau dari dan ke Linge juga dikarenakan adanya pencurian kerbau secara bergerombol. Menurut kisahnya, pencurian secara massal tersebut marak terjadi di abad ke-18.
Markas Tok Rebise melawan Belanda
Di era berikutnya, Loyang Koro dijadikan sebagai markas para pejuang dan pang-pang Gayo yang berperang secara gerilya melawan penjajah Belanda. Kisah yang turun temurun berkembang di kemukiman Toweren, para tentara Muslimin yang bermarkas di Loyang Koro dipimpin oleh Tok Rebise alias Jemerah Aman Catur yang tak lain adalah Muyang dari Aman Martian.
Tok Rebise dikenal behu, istilah Gayo untuk orang yang memiliki kelebihan berupa kekuatan yang tidak dimiliki orang awam. Tok Rebise mampu berjalan dengan cepat di kegelapan. Kelebihan lain dari Tok Rebise ibarat nabi Ibrahim, tahan di bakar api berkobar.
Dan yang paling ditakuti tentara kolonial Belanda dari sosok Tok Rebise adalah kemampuan pisiknya yang mampu berperang selama tidak kurang dari sejemat (satu jum’at, sepekan) tanpa butuh makan atau minum. Tok Rebise juga kebal terhadap berbagai jenis senjata tajam dan senjata api.
Seluk beluk Loyang Koro sangat dihapal oleh Tok Rebise, bahkan Tok Rebise pernah menemukan lorong tembus selain ke Loyang Kaming di Isaq juga ke Loyang Gajah dan Loyang Kemili yang berlokasi masih di kaki Bur Birahpanyang.
Perlawanan rakyat di bawah pimpinan Tok Rebise terhadap Belanda ini terjadi di awal abad ke-19. Dikisahkan, Reje Ilang saat itu diminta penjajah Belanda untuk meredam perlawan pejuang Muslimin yang membabi buta dikomandoi Tok Rebise.
Reje Ilang mengangkat Tok Rebise menjadi salah satu dari 5 panglima kerajaannya. Tak hanya itu, Tok Rebise dan pasukannya diberikan puluhan ternak kerbau, namun perlawanan tetap berlanjut saat kelakuan Belanda terhadap penduduk pribumi di luar batas.
Koro-Kaming Mujadi Atu
Seperti danau Lut Tawar, Atu Belah, Peteri Pukes dan tempat-tempat lain di Tanoh Gayo, keberadaan Loyang Koro juga tidak lepas dari legenda atau cerita rakyat.
Konon, di kedalaman Loyang Koro berjarak sekitar 15 kilometer di areal yang cukup luas ada liang yang tembus ke atas permukaan tanah yang membuat cahaya masuk kedalam Loyang Koro. Karena ada udara dan cahaya, di tempat ini ada rawa yang ditumbuhi Beldem, salahsat tumbuhan rawa yang lazim dimanfaatkan warga Gayo sebagai bahan utama pembuatan tikar.
Sekitar 1000 meter dari lokasi rawa ini atau 16 kilometer dari mulut gua Loyang Koro konon terdapat ratusan batu yang berbentuk kerbau dan kambing. Dikisahkan, suatu ketika terjadi keributan antara pemilik ternak yang menggiring ternaknya dari arah berlawanan. Satu kelompok ratusan ternak kambing dan satu kelompok lainnya ratusan ternak kerbau.
Kedua kelompok ini berpapasan di tempat tersebut dan saling ngotot untuk lebih dulu berlalu. Saat itu tidak ada yang mau mengalah untuk mundur agar satu kelompok bisa melintas. Terjadi ketegangan yang berujung perkelahian. Akibat kelakuan kedua kelompok ternak yang digembalakan ini Yang Maha Kuasa menjadi murka, seluruh ternak tersebut menjelma menjadi batu, wallahu a’lam bishawab.

Objek Wisata
Di zaman moderen sekarang ini, Loyang Koro menjadi salah satu destinasi wisata teramai dikunjungi baik wisatawan lokal maupun dari daerah lain. Pungunjung bisa masuk beberapa meter boleh dipandu atau tidak perlu pemandu lokasi wisata tersebut.
Pengunjung tidak perlu khawatir dengan kegelapan karena pengelola Loyang Koro menyediakan penerang listrik hingga beberapa meter ke dalam gua.
Di dalam gua, pengunjung bisa menikmati hiasan alam berupa batu stalaktit dan stalakmit yang menjura dari atap dinding gua. Sayangnya, di beberapa sudut gua banyak yang cacat akibat ulah pengunjung dengan membuat tulisan-tulisan yang sangat mengurangi keasrian gua tersebut. Masuk ke lokasi wisata Loyang Koro dikenakan biaya Rp.3000,- saja perorangnya dan Rp.5000,- jika ingin menjelajah ke dalam gua.
Selain pesona gua, pengunjung ke lokasi wisata Loyang Koro juga bisa menikmati keindahan danau Lut Tawar dengan menyewa boat yang disediakan pengelola.
Bagi pehobi memancing, kawasan Loyang Koro adalah tempatnya. Sudah tidak asing lagi ditelinga warga dataran tinggi Gayo jika di sekitar gua ini adalah tempat memancing paling diminati karena ada jaminan akan dapat hasil pancingan. Berbilang pemancing yang datang dari daerah lain bahkan menginap di sekitar lokasi tersebut, khusus memancing.[]
*Pemred LintasGAYO