Asam Keuéung damai Aceh

oleh

Oleh Murthalamuddin
murthala_humasSEJUMLAH konsensi damai yang disepakati antara Pemerintah Pusat dengan GAM dalam MoU Helsiki masih gagal di wujudkan. Salah siapa? Dalam kontek Aceh barangkali kita merasa sudah maksimum. Sehingga kemudian kegagalan ini kita timpakan ke Jakarta. Tapi dalam sebuah proses mencapai tujuan ada kesalahan atau kegagalan diri sendiri yang juga menyebabkan tujuan tak tercapai.

Meski demikian kuah  asam keuéng perdamaian ini harus kita syukuri dan nikmati, tanpa harus membakar lidah. Berbagai kesalahan harus diperbaiki, mari kipasi nasi agar dingin, hingga kita bisa nikmati asam keuéng  tanpa menyiksa kerongkongan. Harus ada upaya bersama untuk menjadikan damai ini maksimal.

Ada beberapa kesalahan  kita (baca: Aceh) selama ini yang membuat realisasi butir-butir perdamaian itu belum sepenuhnya terwujud. Pertama, perdamaian hanya menjadi komoditas politik untuk merebut suara saat Pemilu. Perdamaian dianggap hasil berjuangan GAM yang bergabung kedlaam Partai Aceh (PA). Akibatnya, kekuatan politik lain resisten dan apatis dalam proses penyelesaian semua kesepakatan damai. Gawatnya lagi ketika kemudian muncul anggapan bahwa penguatan perdamaian dan implementasi konsesinya hanya akan memperkuat PA. Mereka yang di luar PA jadi apatis.

Kedua, kita lalai dalam proses sehingga tujuan menjadi samar. Bahwa limpahan dana yang besar sebagai sebuah konsensi perdamaian membuat banyak pihak di Aceh terlena. Kita sibuk berpikir dan bekerja untuk mengambil keuntungan dari dana ini. Kita sibuk membangun retorika bahwa dana adalah tujuan pokok kita. Padahal dulu kita tentang Jakarta kerana kita terhina. Kita ditelantar kan diabaikan.

Seharusnya apa yang kita dapatkan hari ini hanya jalan untuk mencapai tujuan sebenarnya yaitu Aceh yang bermartabat dan sejahtera. Sepertinya kita sedang berlaku seperti kawanan lalat yang terperangkap lem karena bau manis yang ditebarkan oleh perangkap itu. Tamsilan lainnya, lagèe léuk meukumat bak geutah, makèn gabuék makèn sayeup han-èk jipeuglah.

Yang ketiga, paska damai kita kehilangan perekat sesama komponen perjuangan. Tamsilannya kita seperti burung pemakan bangkai di sabana Afrika. Terbang bersama dalam kelompok besar mencari bangkai sisa . Namun ketika bangkai ditemukan maka yang terjadi saling berebutan. Siapa yang paling dekat dengan bangkai akan mengusir teman lain yang coba mendekat. Padahal bangkai gajah itu dimakan untuk semua burung itu juga tak akan habis. Tapi dasari naluri “jumoh” sang burung tetap merasa tersaingi.

Ini membedakan burung pemakan bangkai dengan heyna sejenis serigala pemakan bangkai sisa juga. Mereka mencari bangkai bersama dan makan bersama. Mereka hanya memusuhi hewan lain yang mencoba mengambil makanan mereka.

Kemudian yang keempat, sebagian kita merasa tak rela simpul simpul politik dipegang oleh mantan kombatan dan jaringannya. Mereka dipersepsikan bodoh, tidak sopan dan tidak cukup kapasitas memimpin negeri ini. Padahal kebanyakan simpul simpul itu mereka dapatkan melalui pemilu demokratis. Mandat itu dari rakyat. Ego dan perasaan superior sebagian golongan terutama kelas menengah dan intelektual menjadi arena pengkotak-kotakan dan membuat kehilangan energi untuk memproduktifkan energi perdamaian.

Selanjutnya, Aceh sepanjang sejarah dan sejak zaman kemerdekaan selalu punya musuh bersama. Sehingga Aceh mampu terus melawan walaupun ditekan serepresif mungkin. Sejak damai sasaran tembak dan kambing hitam itu menjadi samar. Kemudian energi dan alam bawah sadar kita yang terdidik dengan konflik membutuhkan penyaluran baru. Nah untuk memuaskan libido konflik ini cara yang paling dekat adalah melihat sumber pemicu yang paling dekat dengan kita.

Ini kemudian menghabiskan energi yang besar. Lihat opini yang berkembang di kalangan kelas menengah terpelajar. Mereka cenderung apatis bila pokok bahasan kita UUPA dan MoU Helsinki. Cenderung mudah memberi opologi opologi kalau kita bicara kegagalan Pemerintah Aceh atau infrastruktur politik PA.

Sudah sepatutnya kita menghentikan segala kesalahan itu. Mari bersama menuntut aya yang menjadi hak rakyat Aceh. Karena perdamaian ini bukan antara pemerintah pusat dengan GAM saja, tapi juga dengan segenap rakyat Aceh. katrep masa geutanyoë prèh, bék lè tapeukabéh dame nyang kana. []

Murthalamuddin adalah Kepala Biro Humas Pemerintah Aceh dan mantan Jurnalis

atjehpost.co

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.