[Cerpen]
Zuliana Ibrahim
Langit kembali terang dan embun membekas di pelopak dedaunan. Ini adalah keempat kalinya megang Ramadhan, Mak Item tak membuat lepat. Bukan perkara tak ada belanja apalagi deraan rasa malas yang membekam. Karena bagi Mak Item lepat bukan saja sebagai kudapan penyambut Ramadhan.
Megang adalah hari menjelang Ramadhan dan lebaran Idul Fitri. Mak Item kerap hanya duduk menghabiskan hari dengan menselonjorkan kaki yang sendi-sendinya mulai berulah. Di bebalen rumahnya ia seolah ingin menghabiskan megang cukup dengan mengunyah daun sirih yang telah dilumuri kapur dan biji buah pinang. Ia kemudian menyisir sisa-sisa kunyahan sirih yang menyisip di sela gigi tuanya dengan segumpal kecil tembakau. Oi, betapa Mak Item merasa nafasnya lebih segar setelah mangas, ia seolah siap untuk berpuasa esok hari.
Kalau dipikir-pikir apalah lagi yang memberatkan pikiran Mak Item. Di usianya yang terus merangkak lebih muda dua tahun dari perayaan kemerdekaan Indonesia, perkara dunia tak ada lagi tanggungkan. Cukuplah baginya, ibadah buat bekal menghadap-Nya kelak. Tapi, apa pula yang masih menjadi beban pikiran Mak Item setiap megang tiba? Ah, Mak Item seperti bermain dengan kenangan. Ia mengorek kembali kenangan yang telah coba ia kuburkan.
Mak Item acapkali kehilangan senyum, entah karena ia tak pandai lagi menyingirkan senyum atau bahkan tak lagi ingat bagaimana meng-ikhlas-kan senyuman.
“Berapa kilo kau beli daging?”, Mak Item memandang Ryah anaknya yang baru saja tiba di rumah dengan membawa sebuah bungkusan plastik hitam.
“Hanya satu kilo, Mak! dan ini sudah kumasak, jadi Mak tak perlu lagi membeli bumbu”, ujar Ryah.
Mak item beranjak dari duduknya mengikuti Ryah yang berjalan menuju dapur. Lekat Mak Item memerhatikan Ryah yang dengan hati-hati menuangkan daging rendang buatannya ke dalam sebuah panci kecil. Mak Item kemudian membuka lemari makan, membantu Ryah untuk menyimpan rendang tersebut disana. Tiba-tiba Mak Item terpaku matanya pada sebuah bungkusan plastik yang terletak tepat dibagian bawah dalam lemari. Ia terdiam, seperti berpikir sejenak. Ryah menangkap ekspresi Mak Item, ia pun mengambil bungkusan tersebut dan meletakkannya di atas meja.
“Mak ingin aku membuatnya?”, Ryah menawarkan diri setelah membuka ikatan plastik yang ternyata berisikan sekilo tepung pulut, sekilo parutan kelapa dan sekilo gula merah. Mak Item bergetar, bendungan air asin sudah telungkup di kantung matanya, ia tak berkata lalu bergegas meninggalkan Ryah yang berdiri di sebelahnya. Ryah pun mengerti, ia tak akan menanyakan untuk kedua kalinya. Diikatnya kembali bungkusan dan meletakkannya dalam lemari.
Mak Item berjalan keluar rumah berjalan tak tahu hendak kemana. Pikirannya menerawang. Seperti kembali menuju kenangan. Kenangan yang ia sesali, kenangan yang ia coba timbun di perigi hati, namun selayak kertas putih yang telah dicoret oleh tinta warna-warni, ia tak lagi bisa kembali kewarna asli. Dalam doanya ia memohon kepada Tuhan untuk menjadikannya segera uzur saja. Kenangan yang membuat dadanya sesak untuk mengingat. Mak Item masih berjalan, anak-anak yang sedang berkeliaran bermain di samping rumah tak ia hiraukan sapaan mereka. Mak item, sungguh seolah ingin menolak kenangan.
Kemanakah kaki melangkah, kalau hati dan pikiran tak kunjung merelakan kenangan?
Mak Item berjalan dengan tubuh tuanya. yang sebenarnya tak mampu berjalan sejauh ini lagi. Ia sudah hampir tiba di ujung kampug. Mungkin hampir empat puluh lima menit ia berjalan pelan-pelan namun tak berpalang. Ryah baru tersadar tak menemukan Mamak-nya yang ia kira kembali duduk di bebalen, tempatnya menghabiskan waktu dengan mengaji. Ryah menuju kamar mandi, halaman belakang dan halaman depan rumah. Tak ada bau mangas, ia mulai gelisah.
Mak Item telah tiba di menasah di ujung kampung, ia baru sadar ketika suara azan Zuhur menggema. Ia bergegas menuju kamar mandi menasah untuk berwudhu. Ia sungkurkan tubuh tuanya di atas sajadah, ia nelangsa memohon ampun pada pencipta-Nya. Tak bermaksud menyesali takdir, ia malah bersyukur atas nikmat yang telah dianugerahkan.
Usai shalat rasa pegal mulai terasa menyelimuti sendi-sendi tuanya. Siang itu menasah tampak lebih ramai. Para orang tua yang kebanyakan berusia sama dengannya memilih untuk menghabiskan waktu berzikir dihari megang ini. Anak-anak ikut menghiasai megang Ramadhan dengan bershalawat bersama menggunakan pengeras suara. Suasana dalam menasah lebih membuatnya teduh, dibandingkan di rumah. Ia pun ikut berzikir sambil memejamkan mata, seakan ingin lebih dekat pada-Nya.
Seketika aroma menyusup masuk rongga hidungnya, ia kenal betul aroma makanan yang nikmat ini. Sepertinya seseorang baru saja menghidangkan makanan di hadapannya. Nikmat sekali, cacing di perutnya mulai menggeliat manja. Memang, ini sudah waktu jam makan siang. Perlahan ia buka mata dan betapa ia tergagap ketika mendapati setumpuk makanan di atas piring yang sangat ia kenal aroma dan rasa makanan tersebut. Ia gemetar, setumpuk lepat sudah ada di hadapannya. Lepat Gayo yang melengkapi hari megang menjelang Ramadhan. Ia ingin menangis, namun tercekat. Suaranya pendar, ia tak tahan ingin segera pulang.
“Mak dimakan dulu lepatnya”, tiba-tiba seorang ibu muda menahannya untuk pulang.
“Tidak, aku tidak mau”, ucapnya datar.
“Di menasah ini, setiap megang kita adakan zikir dan shalawat bersama Mak, sampai menjelang Ashar. Lepat adalah makanan khas yang selalu jadi kudapannya. Jika Mamak tidak mau, baiknya aku bungkus dan bawa pulang saja, ya!”, Ibu muda itu menyimpan beberapa lepat kedalam sebuah kantong plastik dan menyerahkannya. Mak Item pun menerimanya dengan wajah datar dan hati bergetar.
Ryah sungguh gelisah hatinya di rumah, tak biasanya Mak Item meninggalkan rumah hanpir tiga jam lamanya dan tanpa berpamitan. Pikiran Ryah mulai dibayangi dengan hal-hal yang sebenarnya tak ingin dia bayangkan. Ia beristighfar. Tak lama, Mak Item muncul. Kali ini wajahnya tampak lebih segar dengan sebuah senyuman melengkung, pelangi terbalik. Ya! senyum yang sudah hampir empat tahun ini, Ryah tidak temui. Ia langsung menuju dan menggandeng lengan Mak Item. Ia bersyukur Mamaknya tidak apa-apa. Namun ada yang berbeda dengan Mak Item kala itu. Ini adalah megang dengan semangat Mak Item yang berbeda. Ryah ingin menebak tapi ia takut terjebak.
“Mak dari mana? Aku gelisah, Mak pergi tidak berpamitan. Maafkan aku, jika tadi sempat membuat Mak….”, Ryah tak kuasa menyambung kalimatnya, ia tertunduk.
“Kaukah yang sengaja meletakkan bahan-bahan lepat itu di lemariku?’ Mak Item menyelidik. Ryah diam, sewajarnya ia berusaha tenang. Matanya menatap leka. Ia memang diam-diam telah menyusupkan bahan-bahan itu ke lemari makan, ia ingin Mamaknya tak lagi mengungkit kenangan sebagai alasan.
“Maafkan aku, Mak”, Ryah tiba-tiba merasa menyesal. Mak Item mengelus rambut anak perempuannya yang kini tak lagi tinggal bersamanya karena telah menikah.
“Kau rindu lepat buatanku?”, Mak Item seolah membaca hati anak perempuannya. Ryah mengangguk, seperti anak kecil yang menginginkan sesuatu dari sang ibu. Ia diam hanyut dalam elusan Mak Item.
“Bawa kemari semua bahannya, akan aku olah menjadi lepat yang sangat nikmat, beda dari buatanku sebelumnya”. Mak Item, senyumnya menetas dan itu adalah senyuman empat tahun lalu. Ryah terperanjat tak menunda kesempatan, ia langsung menuju dapur menyiapkan apa-apa yang dibutuhkan. Ia bersemangat.
Oi, apalah yang paling berkesan, selain kenangan yang paling menyenangkan?
Lembut tangan Mak Item perlahan menyatukan adonan demi adonan. Ryah membantu mengambil daun pisang di samping rumah sebagai bungkus lepat. Seperti kenangan-kenangan sebelumnya, dan Mak Item ingat betul bahwa lepat yang ia bawa dari menasah tadi masih kalah rasanya dengan lepat buatannya.
Kenangan itu kembali pulang, bersama Juhri, mendiang suaminya. Mereka berdua lihai membuat lepat, setiap megang kebersamaannya dengan Juhri selalu terngiang, lepat jadi kenangan yang merindukan. Namun kepergian Juhri, jadi kenangan pilu yang membuat sembilu hatinya. Ah, lepat adalah rindu dan kebersamaan.[SY]
KOMPAK Gayo, Juni 2014
* Telah dimuat dalam Tabloid Lintas Gayo Edisi 12, 22 Juli 2014