Untukmu Gajah Putihku

oleh

Oleh : Dr. Al Misry, MA*

Sejak lahirnya Yayasan Gajah Putih Takengon yang diberi mandat untuk membentuk dan mendirikan Perguruan Tinggi Swasta di Gayo tahun 1985, Perguruan Tinggi yang diinginkan dapat terwujud tahun 1986 dengan nama Universitas Gajah Putih Takengon dengan membuka Sekolah Tinggi Pertanian (STP) dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) dan SMA swasta Gajah Putih, tahun 1987 didirikan pula Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE), disayangkan SMA akhirnya ditutup, karena belum memenuhi syarat universitas sesuai aturan, maka nama UGP menjadi Perguruan Tinggi Gajah Putih (PTGP) Takengon, pimpinan PTGP hanya 1 orang yang disebut Dekan Koordinator. Tahun 2001 STIT berubah menjadi STAI dan tetap berada dalam naungan Yayasan Gajah Putih Takengon.

Tahun 2008 STP dan STIE digabungkan, menjadi Fakultas Pertanian dan Fakultas Ekonomi, ditambah beberapa program studi serta mengusulkan pembukaan Fakultas Tehnik dan Fisipol, sehingga persyaratan menjadi Universitas terpenuhi dan resmi menjadi Universitas Gajah Putih Takengon. Seterusnya tanggal 25 April 2012 lahir Keputusan Presiden Nomor 50, STAI berubah status menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Gajah Putih Takengon Aceh, setelah perjuangan panjang dan melelahkan sejak tahun 2001.

1. Lokasi Kampus Induk Jalan Aman Dimot Takengon
Pasca diberhentikannya TM.Yoesoef  Zainoel dari Bupati Aceh Tengah, maka  (Alm) Drs.H. Buchari Isak ditunjuk sebagai Pemangku Jabatan Bupati, menjelang pemilihan Bupati tahun 1998, pak Buchari juga maju sebagai calon Bupati bersamaan sebagai calon antara lain  pak Mustafa M.Tamy (alm), pak Muchlis Gayo dan lain-lain.

Pada saat bersamaan keberadaan Yayasan dan Perguruan Tinggi Gajah Putih mengalami masa sulit yang tak terlukiskan, gedung kampus belum ada milik sendiri, sehingga pelaksanaan kuliah semakin tidak jelas, untuk ST.Pertanian  kuliah di gedung papan SMP Johansyah Ujung Gergung, STI.Ekonomi kuliah dimana kehendak dosen, untuk STI.Tarbiyah kuliah di komplek MIN 1/MTsN 1 Boom Takengon.  keuangan sangat sulit diperoleh Yayasan. Waktu itu pula beberapa tokoh yang langsung dalam jajaran pengurus yayasan dan perguruan tinggi terkomtaminasi dengan kesibukan tugas pokoknya masing-masing, wajah mereka terbayang adalah orangtuaku : Mohd.Syarif, Harun Ugati, Arifin MR Banta Cut, Samarnawan termasuk Tagore AB. Nampak mondar-mandir mengurusi kampus hanya pak Drs.H.Mahmud Ibrahim, MA, Ir.Syukur Kobath, Vimartian Sagara, B.Sc dan Drs.Syuhir Muhur Yogia.

Membaca situasi kampus bak “kerakap di atas batu pada musim kemarau” muncul ide dari tokoh mahasiswa waktu itu yang didominasi mahasiswa Pertanian untuk mendatangi kantor DPRK Aceh Tengah, untuk tujuan mempertanyakan nasib Perguruan Tinggi Gajah Putih Takengon, sebab keberadaan kampus tersebut tidak dapat dipisahkan dari Keputusan Wakil Rakyat di DPRK ini pada tahun 1984. Maka entah dari mana atau dari siapa ide menyambangi lembaga wakil rakyat itu muncul.

Dipastikan terjadi mahasiswa Gajah Putih Takengon menuju ke DPRK Aceh Tengah, hari Senin tanggal 11 Mei 1998. Mengingat mahasiswa yang bergerak, saya selaku mahasiswa Jurusan Bahasa Arab STI. Tarbiyah beramai-ramai menuju gedung Dewan, jumlah mahasiswa yang hadir memang sedikit, karena jumlah mahasiswa yang sedikit, seluruh mahasiswa dapat masuk ke ruang siding dewan, kami mahasiswa Tarbiyah karena terlambat datang, posisi kami lebih berada di barisan belakang, teman-teman dari pertanian sudah melakukan orasi dihadapan para Muspida Aceh Tengah yang telah hadir untuk mendengarkan apa-apa aspirasi yang kami sampaikan.

Saya kagum pada  kawan-kawan mahasiswa yang menyampaikan orasi terutama Sohibku (alm) Darussalam, Islamiati dan Sumeri dari ST. Pertanian, secara bergantian dengan Khairussaleh, M. Saleh dari STI. Tarbiyah yang intinya menyoroti Pemerintah yang terkesan tidak peduli dengan eksistensi kampus Gajah Putih Takengon, mulai bantuan pinancial dari Pemda, lokasi kampus yang belum jelas,  pemerintah untuk memajukan kampus, tekad untuk peningkatan kualitas SDM di Gayo.

Penyampaian aspirasi terakhir adalah kesempatan saya berbicara, awalnya saya memperkenalkan diri dan berstatus mahasiswa (banyak yang tau kalau Al Misry sudah menjabat Kepala Bahagian Tata Usaha pada STI. Tarbiyah, para politisi di Aceh Tengah lebih mengenal Al Misry sebagai Sekretaris DPC. PPP Aceh Tengah) Jurusan Bahasa Arab STI. Tarbiyah, kemudian inti yang saya sampaikan adalah : “1). Para pegawai negeri dalam lingkungan Pemerintah Aceh Tengah yang belum S1 agar Bupati menyuruh mereka kuliah di Gajah Putih Takengon sepanjang jurusannya sesuai, 2).sejak adanya Gajah Putih beberapa kali Bupati berganti, lain bupati lain pula programnya tentang kampus Gajah Putih Takengon, maka di saat bapak Buchari Isak saat ini Bupati akan akan maju sebagai calon Bupati, kami akan mendukung Bapak jika Bapak Bupati mau menyerahkan bekas Rumah Sakit Umum Takengon kepada Yayasan Gajah Putih Takengon untuk dijadikan Lokasi Perguruan Tinggi Gajah Putih Takengon sampai batas pencalonan ke DPRD Aceh Tengah berakhir, sebaliknya jika bapak Bupati tidak menyerahkan itu, maka kami akan menolak tegas pencalonan bapak Buchari Isak menjadi Calon Bupati Aceh Tengah priode mendatang”.

Disela-sela saya berbicara, di belakang kami berdiri aparat keamanan dari TNI dan Kepolisian berbisik keras, kalau mereka menganggap sayalah “dukun” unjuk rasa yang terjadi. Saya sadari juga bahwa ketika demo untuk pemberhentian/pemecatan Bupati bapak Kolonel T.M. Yoesoef Zainoel saya termasuk orang yang paling lantang berbicara, karena oknum Bupati itu telah melanggar etik pejabat dengan perbuatan asusila.

Beberapa minggu kemudian, Pj. Bupati melarangkan surat kepada DPRK Aceh Tengah yang intinya “mohon persetujuan DPRD Tk.II Aceh Tengah untuk pengalihan asset Pemda berupa tanah dan bangunan yang tidak bergerak eks RSU Takengon kecuali rumah jabatan Sekretaris Daerah Aceh Tengah kepada Yayasan Gajah Putih Takengon dan sempat terbaca oleh saya (Al Misry). Namun karena DPRD disibukkan oleh proses pemilihan Bupati, yang sampai akhirnya Drs. H. Mustafa M. Tamy, MM tampil sebagai pemenang dan menjabat Bupati Aceh Tengah, surat yang dilayangkan Bupati kepada DPRK, disayangkan  tidak pernah dibahas dalam paripurna DPRK Aceh Tengah.

Dalam pemilu legislatif tahun 1999, saya dinyatakan terpilih menjadi anggota DPRK Aceh Tengah, kemudian di tahun 2000 saya tau adanya surat bupati kepada DPRK untuk pengalihan asset di atas. Surat tersebut aya cari di Arsip DPRK, Arsip Daerah, Sekretariat Yayasan Gajah Putih Takengon, dan menemukannya dalam arsip Yayasan Gajah Putih dan kebetulan saya sudah menjabat Sekretaris Yayasan. Surat itu saya bawa ke DPRK dan menunjukannya kepada Ketua DPRK Bapak Drs.H. M. Din A.Wahab yang beliau juga menjabat Ketua STI. Tarbiyah Gajah Putih untuk konsultasi. Petunjuk Ketua DPRK kepada saya hanya sederhana, lobi teman-teman untuk mendukung persetujuan pengalihan asset itu. Sehingga saya mulai bergerilya kepada semua anggota dewan. Saya tidak kesulitan ketika menghadapi anggota Fraksi PPP karena saya menjabat Ketua FPPP DPRK Aceh Tengah.

Sayapun menjadi rekan anggota Dewan yang ada hubungan emosi dengan Gajah Putih, Ir. Tagore AB (Golkar) yang pernah ketua LPPM, Ir. Syukur Kobath (Golkar)  pernah Ketua STI. Pertanian, Drs. Mohd. Syarif (PAN) adalah pendiri, Drs. H. Mustafa Ali (PBB) adalah pendiri, Drs. Fauzi M. Saleh adalah dosen, M. Yusuf Yatim (TNI/Polri) adalah dosen. Saya juga menjabat Ketua Komisi A, sangat mudah meyakinkan anggota komisi seperti H.M.Yusbi Hakim, Widarno (PDI.P), Firdaus (PDI.P), Ali Ramsyi (PKB).

Ketika melobi pak Basyrah Hakim,SH dan Pak H. Aliuddin (PAN), keduanya sepakat, jika FPPP mendukung STIHMAT, maka mereka akan mendukung Gajah Putih, dan saya berani komitmen untuk saling mendukung. Ada beberapa orang melihat dulu dalam paripurna termasuk dari TNI/Polri, hanya 1 orang yang menolak yakni bapak Razali Ali (PKNU), alasannya bahwa kampus yang strategis di Aceh Tengah lokasinya lebih tepat di sekitar Pante Raya, tanahnya luas dan material batu/pasir untuk pembangunan gedung tidak perlu dibeli.

Dalam rapat paripurna Dewan yang dihadiri pihak ekskutif, khusus pembahasan pengalihan asset Pemda kepada Yayasan Gajah Putih, saya yang paling banyak bicara untuk menepis keraguan rekan-rekan anggota Dewan, dan hanya pak Razali Ali yang menolak pengalihan asset yang dibahas, lebih banyak teman-teman dewan diam, menjelang akhir pembahasan, pak Basyrah Hakim,SH Wakil Ketua Dewan angkat bicara : “ Kalau pak Misry bicara soal Gajah Putih, kita harus diam dan tidak salah menyetujui usulan beliau untuk Gajah Putih, karena pak Misry yang lebih tau tentang Gajah Putih, sebaiknya pak Ketua segera menanyakan kepada quorum untuk setuju atau tidak…”. Secepatnya Ketua Dewan menanyakan kepada forum rapat sambil memegang palu, ketika ditanyakan setuju…saya yang paling keras bersuara SETUJUU….(kerasnya suara saya mengalahkan yang instrupsi), sehingga pak M.DIN AW selaku Pimpinan Rapat dan sebagai Ketua DPRD mengetuk palu persetujuan. Usai sidang banyak rekan anggota Dewan mengucapkan selamat kepada saya, seterusnya saya dipanggil Sekwan untuk merumuskan Surat Keputusan Dewan.

2. Lokasi Kampus Blang Bebangka Pegasing
Karena sudah ada lokasi tetap kampus Perguruan Tinggi Gajah Putih Takengon, maka Bupati dalam memetakan 10 terobosan, masuklah salah satunya membangun kampus Perguruan Tinggi Gajah Putih, realisasi pembangunan gedung kampus Pemda mengalokasikan dana membangun Gedung STI. Tarbiyah, Gedung ST. Pertanian, gedung Laboraturium Bahasa dan tiang-tiang gedung STI. Ekonomi (baru selesai dibangun saat pak Ir.H.Nasaruddin, MM yang menjabat Bupati priode I), ketika penyusunan draf usulan penegerian STAI Gajah Putih, dalam pembahasan asset, ada kesepakatan lisan saya dengan pak Muhammad Ibrahim, SE (Sekretaris Daerah Aceh Tengah), bahwa kampus Gajah Putih di jalan Yos Sudarso akan menjadi asset milik STAI jika negeri.

Persoalan kampus Universitas Gajah Putih dicari lokasi lain yang lebih luas dan refresentatif, akhirnya ada kesepakatan Pemda dengan Yayasan Gajah Putih, bakal lokasi Kampus Universitas Gajah Putih ada Kala Nareh Blang Bebangka seluas 5,5 Ha. Untuk maksud itu Ketua Yayasan Bapak H.Armia, SE,MM bersama Sekretaris Dr.Zulkarnain, M.Ag banyak mengeluarkan energy, tenaga dan fikiran bekerja sama dengan Pemda Aceh Tengah. Disayangkan akhir-akhir ini sebagai kenyataan, pada lokasi yang telah ditentukan pemerintah, telah berdiri kokoh rumah-rumah penduduk, sehingga tanah yang diperuntukkan sebagai kampus Universitas Gajah Putih Takengon berkemungkinan tidak sampai seluas 5,5 Hektar lagi.

3. Lokasi Kampus Ujung Gergung Tan Saril
Sejak tahun akademik 1998/1999 keinginan putra-putri Gayo untuk kuliah di Perguruan Tinggi Gajah Putih Takengon mengalami peningkatan, bahkan dari tahun ke tahun terus semakin menunjukkan peningkatan yang signifikan, sehingga pihak yayasan menerima keluhan dari Perguruan Tinggi Gajah Putih  telah memiliki kekurangan ruang belajar untuk kuliah kelas. Maka saya selalu sekretaris Yayasan  bersama  Ketua  Yayasan Bapak H. Armia, SE, MM mencari solusi, terutama  untuk Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Gajah Putih Takengon khususnya Jurusan Tarbiyah yang telah memiliki Prodi TPAI, TBA dan Tarbiyah Bahasa Inggeris (TEN).

Dalam mengatasi persoalan kekurangan ruang belajar ini, kami pihak yayasan hanya melihat yang siap pakai adalah sekolah pemerintah seperti SMA/SMK/SMP, maka kami menemui Bupati Aceh Tengah yang diteruskan pada Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, pihak Dinas Dikbud Aceh Tengah mengizinkan kami untuk memilih sekolah mana yang paling cocok, dan membolehkan kami untuk menemui Kepala Sekolah bersangkutan. Akhirnya kami menghadap Kepala SMPN 1 Takengon, SMPN 2 Takengon, SMPN 3 Takengon, MI. Muhammadiyah Bale Atu Takengon. Melalui negoisasi secara tehnis oleh Pimpinan Sekolah Tinggi, yang dapat dipakai oleh STP, STAI dan STIE Gajah Putih Takengon diperbolehkan memakai rang belajar SMPN 1, SMPN 2 dan MI. Muhammadiyah untuk dipakai sore hari.

Tahun 2006  muncul pula ketegasan pihak Kopertais Wilayah V Aceh bahwa pada setiap PTAIS harus memiliki Perpustakaan sendiri.  Tahun 2007 STAI Gajah Putih membuka Prodi Tadris Matematika (TMA), Prodi Syari’ah Muamalah wal Iqtishad (SMI) dan Prodi  Dakwah Komunikasi Penyiaran  Islam (DKPI), akibatnya STAI membutuhkan ruangan untuk Perpustakaan, untuk ruang belajar bagi prodi yang lama dan baru, ruang kerja bagi pimpinan prodi, lembaga-lembaga dan tehnis lainnya.

Pada saat yang sama sekolah-sekolah pemerintah yang dipinjam pakai setiap semester menyampaikan keluhan dan tuntutan, seperti uang kebersihan, uang listrik, uang keamanan, uang saku bagi pimpinan sampai tukang sapu, dampaknya adalah penyisihan dana segar  harus dikeluarkan oleh Sekolah Tinggi.

Saya selaku penjabat Ketua STAI Gajah Putih selalu berkoordinasi dengan  Pemb. Ketua I, II dan III (Zulkarnain, M.Ag, Zailani S, MA dan Al Hadi, SHI), termasuk upaya pemanfaatan gedung terlantar di Ujung Gergung yang berada dalam naungan Baitul Maal Aceh Tengah. Atas persetujuan bersama, kami melakukan pendekatan dengan pihak Baitul Maal Aceh Tengah sampai dengan menyampaikan surat untuk meminjam pakai gedung terlantar tersebut.

Suatu kesempatan, saya pernah ketemu dengan bapak Drs. H. Mahmud Ibrahim dan bermohon agar semua gedung terlantar di Ujung Gergung dapat dialihkan saja kepada STAI Gajah Putih untuk dimanfaatkan, ternyata pak Mahmud Ibrahim merespon secara positif dengan inti ungkapan beliau : “ … kalau itu kemauan kalian, silakan ajukan surat ke Baitul Maal di saat-saat saya masih hidup, dan kalau ada bantuan pembangunan gedung, coba pula arahkan kesana…”.

Tidak lama berselang, kami menerima tembusan surat balasan dari Baitul Maal untuk membolehkan pinjam pakai gedung terlantar di Ujung Gergung diperuntukkan keperluan ruang belajar STAI Gajah Putih Takengon, dengan catatan pihak STAI diharuskan : 1) menangung pemindahan para pengungsi (korban konflik) ketempat lain, 2). Memperbaiki ruangan yang dianggap rusak agar bisa dipakai, selalu berkoordinasi dengan Yayasan Gajah Putih dan Baitul Maal Kabupaten Aceh Tengah.

Selain menerima surat, kami pula memperoleh dokumen asal muasal dari mana tanah dan bangunan di atasnya diperoleh. Ada beberapa pihak yang membubuhkan tanda tangan penyerahan kepada Pemerintah Daerah c/q. Badan Harta Agama (BHA) Aceh Tengah. Maka kami berkewajiban mengundang pihak-pihak yang bertanda tangan untuk meminta petunjuk, kami mengundang Tgk. Armia AR selaku orang yang pernah tinggal di sana, Tgk.H. Mohd. Ali Djadun, Tgk. H. M. Saleh Daud atas nama GUPPI Aceh Tengah, Drs. H. Arifin MR Banta Cut, Drs. H.Mahmud Ibrahim.

Saat rapat ulama yang datang adalah Tgk. H.Mohd. Ali Djadun, Tgk.H. M.Saleh Daud dan Drs. H. Arfin MR Banta Cut, kami pihak STAI hadir Pimpinan dan staf. Kami dari STAI menyampaikan hal-hal inti antara lain : meminta pendapat dan dukungan pemanfaatan tanah dan gedung diatasnya milik Baitul Maal yang ada di Ujung Gergung, bagaimana mengatasi kekurangan kitab rujukan bagi mahasiswa STAI saat ini.  Kesimpulan rapat adalah 1). Mereka menyetujui pemanfaatan seluruh gedung milik Baitul Maal dipergunakan untuk STAI, 2). Selesai rapat Tgk.H.Mohd. Ali Djadun, kami  harus bawa mobil dan  mengikutinya ke kediaman beliau di Pasar Pagi Takengon, yang rupanya beliau dan keluarga mewakafkan buku-buku kepada Perpustakaan STAI Gajah Putih sebagai referensi bagi mahasiswa.

Kami terus membenahi gedung-gedung yang ada di Ujung Gergung dengan penataan, gedung yang ada di atas gundukan bukit kecil wakaf Keluarga Masyarakat Bebesen (50 m dari jalan besar Takengon Isak) untuk perpustakaan, gedung dari GUPPI dan gedung eks Dayah Tgk. Tafa untuk ruang kuliah. seterusnya kami kembali menyampaikan surat kepada Bupati dan  Baitul Maal Aceh Tengah untuk memohon sarana prasarana yang telah dipakai STAI Gajah Putih Takengon dapat dialihkan sepenuhnya untuk STAI Gajah Putih Takengon.

Surat kami direspon positif oleh Bupati Aceh Tengah dan Baitul Maal, sehingga Bapak Bupati mengundang beberapa ulama, tokoh masyarakat, Yayasan Gajah Putih, wakil masyarakat Tan Saril dan beberapa orang unsur pemerintah Kabupaten Aceh Tengah. Rapat diadakan di ruang Rapat Bupati dan langsung dipimpinan Bupati Aceh Tengah bapak Ir.H. Nasaruddin, MM.   Umumnya peserta rapat sangat setuju, hanya saja pihak masyarakat Tan Saril meminta sedikit bagian untuk kepentingan masyarakat Tan Saril sendiri.

Sebagai penanggung jawab pinjam pakai untuk STAI, maka saya dan pihak Yayasan Gajah Putih  berusaha agar memperoleh dana hibah dari berbagai pihak. Di antaranya 1). Gedung Laboraturium Miro Teaching dekat perpustakaan adalah hibah Provinsi Aceh melalui Wagub Aceh Muhd. Nazar, S.Ag tahun 2009 (hasil negoisasi kunjungan wagub ke Takengon yang saya paksa berkunjung ke STAI tanpa agenda), 2).Bangunan lantai II dari dana Otsus Aceh tahun 2010 melalui Bappeda. 3).Hibah Provinsi Aceh berupa Ruang Jabatan Ketua STAI Gajah Putih Takengon.

Angan yang ada dipikiran saya sejak awal, lokasi kampus STAI di Ujung Gergung Tan Saril dimanfaatkan untuk : 1). Gedung Perpustakaan berlantai III, 2).Gedung Lab. Mikro Teaching (sudah ada), 3). Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM), 4). Gedung Pascasarjana STAIN Gajah Putih (ruang direktur sudah ada), 5). Selebihnya dipergunakan untuk Ma’had ‘Aly (Pesantren Mahasiswa). Sedangkan pusat perkantoran dan perkuliahan untuk Strata 1 (S1) berada di kampus Induk Jalan Yos Sudarso/Jalan Aman Dimot Takengon yang menjadi milik STAIN Gajah Putih Takengon.

4. Lokasi kampus Singkiren Terang Engon Silihnara
Tahun 2011, ada sebuah pertemuan di Yayasan Gajah Putih Takengon, saya hadir atas nama Ketua STAI Gajah Putih Takengon, pembicaraan dalam rapat menyangkut lokasi kampus  Universitas Gajah Putih yang telah dirampas masyarakat dan kampus STAI Gajah Putih Takengon yang harus memiliki tanah cadangan seluas minimal 50 Ha, tanah yang seluas itu mungkin tidak akan lagi di sekitar kota, kalaupun ada mungkin ganti rugi tanah akan sangat mahal, sementara Yayasan tidak memiliki dana yang besar.

Solusi alternatif, daerah ini masih memiliki tanah yang luas dan tanpa ganti rugi, lokasinya sangat jauh yakni sekitar Ketapang Kecamatan Linge, selanjutnya pendiri yayasan Pak Drs.H.Samarnawan menawarkan cadangan kampus di Isak mulai dari Kampung Gading sampai ke Loyang Datu dapat dimanfaatkan. Akhirnya disepakati untuk koordinasi dengan Pemerintah kabupaten Aceh Tengah, kemungkinan ada lokasi lain yang luas dan tanpa ganti rugi dan dappat menjadi lokasi kampus yang edial di Tanoh Gayo. Selanjutnya saya tidak mengikuti perkembangan berikutnya, karena saya lebih focus terhadap studi S3 saya pada UIN Sunan Ampel Surabaya.

Terdengar-dengar berita, kalau rencana kampus di Ketapang Linge tidak jadi akibat sangat jauh dari perkotaan, di Isak juga tidak jadi, karena masyarakat telah banyak mengklaim dan menguasai tanah yang dituju. Solusinya Pemerintah Aceh Tengah memiliki cadangan tanah yang layak menjadi lokasi Kampus untuk STAIN Gajah Putih Takengon Aceh berdampingan dengan kampus Universitas Gajah Putih Takengon yang berada di perbatasan Kampung Singkiren-Kampung Terang Engon Kecamatan Silihnara.

Kabarnya pula, Pemda Aceh Tengah telah memberi persetujuan atas lokasi kampus masa depan dimaksud. Personal yang lebih tau dan menjalani prosesnya sepengetahuan saya adalah Ketua Harian Yayasan Bapak H. Armia,SE,MM, Sekretaris Yayasan Bapak  Miswandi dan mantan Ketua tim Penegerian STAI Gajah Putih Takengon Dr. Zulkarnain, M.Ag., unsur tatapem Setdakab, pertanahan, kehutanan, Camat Silihanara dan lain-lainnya. Wallahu’alam

5. Lokasi Kampus Mongal Bebesen
Seperti yang telah digambarkan sebelumnya, lokasi yang ditetapkan oleh Yayasan Gajah Putih pada priode awal, berada di Kampung Mongal Kecamatan Bebesen Aceh Tengah, dan terus terang saya kurang memahami, kurang tau, kurang mengerti tentang sejarahnya. Hanya saja ketika saya menjadi Pengurus yayasan (pernah Sekretaris dan Wakil Ketua II), saya banyak melihat dokumen tentang itu. Orang yang lebih tau dari awal sepengetahuan saya adalah Bapak Drs.H.Mahmud Ibrahim, MA., Bapak Harun Ugati, Bapak Vimartian Sagara, B.Sc dan Bapak Drs. Bungkes Habsyah (sekarang pejabat di Kab. Gayo Lues).

Tanah asset Yayasan Gajah Putih Takengon di Mongal menurut dokumen yang saya lihat dan yang saya tau, lebih banyak dari wakaf masyarakat termasuk sumbangan dari mantan Menteri Koperasi tahun 1987 Bapak Bustanil Arifin,SH. Dari masyarakat dikumpulkan melalui sekolah, lembaga kantor dan masyarakat umum, uang yang dikumpulkan untuk membeli tanah di Mongal untuk Kampus Gajah Putih Takengon, banyak juga wakaf masyarakat setempat. Tanah wakaf dan dibeli dari masyarakat tidak terpusat pada satu titik yang luas, tetapi terpencar di beberapa titik dalam wilayah Kampung Mongal dan luas tanah bervariasi mulai dari 25×25 m sampai 1 Ha.

Pada saat saya menjadi pengurus yayasan, telah pernah mengalokasikan dana untuk pematokan kembali asset tanah yayasan, bahkan besi yang telah disiapkan tersimpan di bangunan Lab. Pertanian yang pernah didiami Sumeri, SP. Personil yang telah hadir waktu itu antara lain Vimartian Sagara, B.Sc, Aparat kampong Mongal, namun dari pihak Pertanahan tidak bias hadir, sehingga pematokan gagal, entah sampai saat ini.

Ada 2 titik yang dianggap agak luas, saat ini telah dialihkan dari asset Yayasan Gajah Putih menjadi asset Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah   yakni Komplek Taman Kanak-kanak Pembina Aceh Tengah dan komplek SMKN 3 Takengon.

Proses pengalihan asset ini terjadi akibat desakan Pemerintah Daerah sendiri, alasannya : Pertama, Yayasan Gajah Putih Takengon adalah Yayasan Milik Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, tidak bertentangan dengan aturan waktu itu,  kedua, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah saat itu tidak memiliki asset tanah   yang cukup untuk membangun gedung sekolah, maka Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah meminta tanah Yayasan Gajah Putih untuk tempat pembangunan gedung sekolah,  ketiga, Biaya pembangunan gedung telah tersedia atas bantuan pemerintah pusat, baik untuk Gedung TK. Pembina dan gedung SMKN 3 Takengon.

Dampak pembangunan Gedung TK. Pembina Aceh Tengah dan Gedung SMKN 3 Takengon di atas tanah  asset Yayasan Gajah Putih Takengon, mendapat respon beragam dari masyarakat Mongal dan personilia  yang aktif  di kampus Gajah Putih yang terhimpun dari ungkapan yang belum dapat dipertanggung jawabkan, antara lain :

  1. Masyarakat Mongal telah ditipu oleh Yayasan Gajah Putih Takengon, yang dulunya berjanji membangun kampus gajah Putih di Mongal, justru yang dibangun SMK dan TK
  2. Sebahagian keluarga pewakiq, mulai menghembuskan suara yang bermuat : “jika kampus Gajah Putih Takengon tidak di bangun di Mongal, maka tanah yang diwakaqkan akan kembali pada pemiliknya. Gejala ini telah mulai sejak tahun 2005, ada masyarakat yang mencaplok lagi tanah yayasan, ada yang membangun rumah di atas tanah asset yayasan, ada yang berusaha menghilangkan status milik yayasan dengan cara bertanam dan pemindahan batas, ada yang beralih status menjadi jalan umum dan bangunan pustu Kesehatan.
    Untuk kasus ini, pada tahun 2008 STAI Gajah Putih Takengon mendapat hadiah dari Dirjen. Pendidikan Islam Kementerian Agama RI untuk membuka Prodi Pendidikan Guru Raudlatul Athfal (PGRA), maka untuk membuktikan kepada masyarakat Mongal bahwa disana akan menjadi kampus Gajah Putih Takengon dengan proses perkuliahan atau proses Belajar Mengajar PGRA dipusatkan di Mongal dengan memanfaatkan kerjasama dengan TK. Pembina yang ada disana.
  3. Para personalia yang aktif bekerja di kampus, mengingat kampus tidak mungkin lagi di bangun di Mongal, maka tanah asset tersebut dibangun menjadi perumahan dosen dan staf yang aktif di Kampus Gajah Putih Takengon, hal ini suatu kewajaran, mengingat penghasilan dari kampus tidak memadai sebagaimana mestinya.

Sungguh rumit dalam menangani masalah asset tanah di Mongal ini, mungkin solusinya antara lain, yayasan harus tegas untuk menginventaris kembali, selanjutnya menjadikannya sebagai modal yayasan membuat usaha untuk membiayai Universitas Gajah Putih ke depan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat, paling tidak untuk tau dan tidak dilupakan, Gajah Putih milik semua kita semua. Fastabiqul Khairat

*Mantan Sekretaris Yayasan Gajah Putih (satu priode) dan penjabat Ketua STAI (sekarang STAIN) Gajah Putih (2004-2012)

Link terkait : [highlight]Ada apa dengan Gajah Putih Takengon[/highlight]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.