[Cerpen]
Vera Hastuti
Kenangan adalah pragmen yang dapat menarik seseorang dalam kubangan kisah masa lalu. Ia selalu punya cara sendiri untuk mendekap rindu secara jujur dan apa adanya. Melambaikan ingatan akan masa lalu yang hanya bisa didekap dalam mimpi. Lantas, setelah kenangan berlaga diingatan, pucuk kerinduan pun akan serta merta tumbuh dan mekar. Ya, semua orang pastinya sepakat, bahwa kerinduan akan masa lalulah yang paling banyak mengiring anak rantau untuk pulang ke tanah kelahirannya.
Telah lama, Aku pergi meninggalkan kampung kelahiran. Kenangan akan rumah masa kecil bersama Ayah. Sebuah rumah dengan kontruksi kayu menghadap ke sebuah danau yang paling kurindukan. Dulu, di seberang danau itu terdapat gubuk kecil tempat kami bermain bersama pasukan Serangkai. Gubuk kecil itu sengaja dibuat di tepi danau, sebagai markas kami berlima , pasukan Serangkai yang beranggotakan Banam, Hasan, Pardi, aku dan Rauf. Disana, setiap sore kami bisa menyaksikan matahari tenggelam dalam dekapan senja hilang perlahan di balik pematang.
Semilir angin berhembus lembut, seperti untaian nada beralun merdu, menemaniku dalam langkah kecil menyelusuri lorong kecil kenangan. Tak banyak yang berubah, Meunasah kecil bercat hijau tua masih serupa dahulu. Tepat, disini saat perpisahan mengantarkanku untuk merantau ke Ibu Kota. Kala itu, Rauf memelukku erat dengan isak tangis yang terdengar begitu pilu di telinga diikuti dengan salam perpisahan dari Banam, Hasan dan Pardi.
Garis takdir telah menentukan jalannya. Semenjak Ayah berpulang setahun silam. Emak memilih kembali kekampung halamannya di Pulau Jawa. Takdir telah mengantarnya menyeberangi Pulau Sumatera hingga menetap berpuluh tahun di negeri Rencong, guna menuai bakti pada kekasih hatinya. Hingga, akhirnya Emak dan aku kini menetap di Jakarta.
Kugegaskan langkah memasuki perkarangan rumah Banam, dari informasi yang kudapat. Hanya Banam lah yang menetap di kampung kami. Perlahan kuketuk pintu rumah yang memang tak berkunci sembari mengucap salam. Sesaat, tampak seorang gadis kecil dengan riang membukakan pintu dan dengan cadel menjawab salamku. Diikuti dengan lelaki bertubuh legam dan berambut ikal.Seketika ia dapat mengenaliku. Rangkulan dan tepukan lembut menjadi salam pembuka yang hangat, pemecah kerinduan.
“Kapan kau sampai Wan? mengapa tak kau beritahukan aku perihal kedatanganmu?
“Akankah kau adakan penyambutan? jika kuberitahukan kedatanganku?
“Lantas? perihal apa yang membawamu kembali pulang ke kampung ini?”, ujar Banam dengan senyuman kecil menghias wajah tirusnya.
“Kenangan”
“Kenangan akan apa?”, Banam mengerutkan keningnya
“Ramadhan membuatku selalu ingin pulang”
Malam begitu dingin tatkala aku, Banam, Hasan, Pardi dan Rauf selesai mengkhatamkan Al-Quran pada pertengahan Ramadhan. Tak sia-sia kami bersetia menekuni tadarus Ramadhan setiap malam untuk mengumpulkan pundi-pundi pahala untuk bekal akhirat kelak. Tengku Saleh, dengan penuh suka cita meneteskan air mata menatap anak didiknya dengan haru di ujung pintu. Di hatinya, ia tak lupa berucap syukur karena telah tunai pada janji.
Beberapa bulan lalu, ketika rintik hujan telah reda dan genangan air masih menyisakan basah di antara rerumputan. Ayah merangkulku dengan lembut menemui Tengku Saleh. Dengan embun yang terlihat tertahan di sudut matanya, Ayah menitipkanku pada Tengku itu guna belajar mengaji. Dengan penuh suka cita, Ayah menyemai harap yang begitu besar agar aku bisa mengaji. Lelaki kurus itu, tak ingin aku menuai takdir yang serupa dengannya yaitu “tak bisa mengaji”.
Di Meunasah inilah aku bertemu dengan Banam, Pardi, Hasan dan Rauf. Kami semua adalah murid mengaji Tengku Saleh. Baik aku maupun teman-temanku telah mulai meyimpan kagum pada sosok Tengku Saleh, bahkan sejak pertama kali bertemu. Pembawaannya yang sederhana, sopan dan laku yang santun membuat kami sangat segan padanya.
Satir-satir petuah Tengku Shaleh selalu memburu kami. Ketakutan akan neraka dan kerinduan akan syurga yang selalu diceritakannya membuat kami sangat takut berbuat dosa. Begitulah, cara Tengku Shaleh mengingatkan kami dari lalai kehidupan dunia yang sangat melenakan dan sering kali menggiring pada lembah kesesatan.
Suatu ketika, pada malam pertengahan Ramadhan. Usai kami mendengarkan ceramah Ramadhan mengenai malam Lailatul Qadar. Kami berempat bersepakat untuk tak pulang usai tadarus malam itu. Dalam hati, kami berempat telah berikrar untuk menantikan malam lailatur Qadar hingga pagi. Dengan, sarung seadanya mulailah kami beraksi.
“Rauf, sudahkah tampak Lailatur Qadar akan datang?’, ucap Fardi disertai gemeritik gigil yang terdengar sayup
“Sepertinya sebentar lagi”
“Cahaya dan sinar pada malam mulai menguat, angin bertiup tenang, dan udara pada malam terasa sejuk. Bukan kah itu petanda malam Lailatur Qadar, seperti kata Tengku Saleh tadi?’ Dan aku telah merasakan tanda-tanda itu ada disekitar kita”, Banam menyemangati.
Kami semua mengangguk petanda setuju. Satu jam berlalu. Terlihat Rauf telah terkulai dengan dengkuran keras. Di sampingnya telah tampak juga Hasan yang terlelap di bahu Pardi. Tinggalah aku dan Banam yang masih bertahan melawan kantuk agar Lailatul Qadar tak terlewat begitu saja setelah lama menanti. Suasana semakin hening, malam kian larut. Hanya terdengar suara ilalang yang bergerak pelahan.
“Hahahahha..”, tawa Banam memecah suasana sore itu. Tertawa lepas mengenang cerita tentang masa kecil. Kepolosan anak desa yang sangat takut akan dosa. Begitu murni tanpa sentuhan teknologi seperti saat ini. Arini, Putri sulung Banam, yang tadinya membukakan pintu untukku tampak heran melihat polah tawa Ayahnya. Dengan gaya tertawaku juga tak jauh berbeda dengan Ayahnya. Ia pun ikut tertawa dalam ketidakfahaman.
Malam itu, ternyata kami berlima terlelap dalam buaian mimpi. Tak ada yang mengingat apa yang terjadi malam itu. Esok harinya, Tengku Saleh, mendadak binggung mengetahui selama seminggu cerobong menara Menasah tak lagi ada suara “Pasukan Serangkai” mengaji, dikarenakan kelima anak didiknya serempak mengalami demam tinggi. Dalam hati, mereka berjanji setelah sembuh nanti, akan bertekad kembali guna menggapai malam Lailatul Qadar. [SY]
***
Vera Hastuti adalah salah seorang guru di SMAN 1 Takengon. Menggeluti dunia sastra terutama puisi dan cerpen, dalam berkarya dan berekspresi ia mengagumi dan mengidolakan salah seorang sastrawan dan penyair nasional kelahiran tanoh Gayo. Vera Hastuti kini tinggal di Jalan Sengeda- Takengon.