DAERAH ini boleh dikatakan masih murni dan asli. Gayo banyak mempunyai keistimewaan. Bukan lantaran ahli ilmu Sosial van Vollenhoven yang menulis Het Adat Recht Van Nederlandsche-Indie dan membagi daerah hukum adat dalam 19 “propinsi kebudayaan – justeru ia memisahkan adat Aceh pada umumnya dari Gayo dan Alas secara lebih khusus.

Biarpun letaknya sama-sama di daerah yang sering disebut ‘serambi Mekah’ ini. Gayo dan Alas tidak hanya memiliki tata hidup yang unik dan berbeda, tapi di perut pegunungan ini banyak tersimpan kekayaan seperti emas, tusam dan mika.
Yang menarik perhatian adalah perbedaan pakaian adat Gayo dan Alas dengan pakaian adat dari pesisir Aceh, termasuk penggunaan pakaian yang dikenakan sehari-hari seperti pakaian ke sawah, ke laut, pakaian pengetua, pakaian upacara kebesaran atau perkawinan, semua berbeda.
Biasanya pria pesisir mengenakan sebuah tutup kepala meuketup yang disetelkan dengan baju berlengan panjang tak berleher. Pada pinggang ada lipatan sarung, dan dari sela-sela sarung itu biasanya menyembul tangkai rencong.
Sedangkan celana dari pakaian Aceh pesisir cukup populer disebut babah-meukurah, bentuknya seperti mata kampak, atau orang kota menyebutnya celana cutbrai. Namun di Gayo, model celana ini tidak dikenal,termasuk celana babah-meukurah.
Pria dan wanita Gayo biasanya mengenakan baju yang serupa dengan rompi yang melekat ketat di tubuh. Mungkin ini untuk melawan hawa dingin. Sebab maklum, Gayo kalau tidak dikatakan dingin, siang hari adalah siang yang sejuk dan nyaman.
Para pria pun tidak mengenal turbus atau pici Alibaba. Yang mereka kenakan ialah semacam ban yang terbuat dari kain (semacam serban). Ban kain yang dibuat keras itu kemudian dililitkan begitu saja di kepala. Mirip topi para ahli silat di Jepang, cuma ini dibuat dari kain yang lebih keras. Karena ban hanya dililitkan begitu saja, biasanya rambutpun tersembul keluar karena kepala bagian tengah tidak tertutup.

Sementara wanita Gayo mengenakan selendang lebar yang bergaris-garis. Garis yang berjalur besar ini biasanya membungkus baju atau blus atas yang tanpa lengan itu. Blus tentu saja bukan sembarang blus, sebab telah disulam indah, rapat dan cukup tebal. Warna sulaman biasanya kuning, dan diberi benang merah atau hijau sebagai aluran pemisah. Pakaian dilengkapi dengan setagen, yang biasanya dari uang sen perak Belanda diikat dengan rantai halus berikut rumbai-rumbai. Mereka lebih menggemari logam putih dari perak (atau platina kalau mampu) ketimbang kuningnya emas. Mulai dari uang logan Belanda sampai ke gelang dan kalung semuanya berupa logam putih.
Ada lagi satu kebiasaan lain. Di Gayo kalau seorang gadis berjalan ke pasar bersana ibunya, ada maksud juga. Baju adat yang dikenakan itu akan memberi kode pada masyarakat sekeliling, kalau baju dikenakan berbentuk rompi, maka itu berarti “beberu” Gayo ini sudah memiliki kekasih dan tidak boleh diganggu. Akibatnya, pemuda-pemuda yang jatuh cinta secara sepihak akan mengambil sikap mengurungkan niatnya mengganggu.
Ada lagi kiasan lain di dandanan wanita-wanita di Gayo. semisal atas sanggul yang ditata rapi dari rambut yang hitam mengkilat, diletakkan perhiasan. Bukan dari emas atau perak, tapi wanita Gayo biasa menancapkan satu pokok pohon pandan di atas sanggulnya. Daun pandan yang wangi dan hijau itu, dari kejauhan macam pohon pandan ditanam dalam pot untuk kemudian disunggi di mana saja si cantik dari Gayo pergi. Pohon pandan berguna sebagai pengganti tudung, untuk menghindari sorotnya matahari yang lepas begitu saja ke ubun-ubun.
Sementara Baju Meusirat Untuk wanita dari suku Alas pun berbeda karena tidak memiliki hiasan sanggul, kalaupun ada, itu biasa saja. Pria maupun wanita Alas mempunyai baju yang mirip pakaian Gayo. Bedanya, rompi Gayo berlengan you can see, sedang rompi Alas, mempunyai lengan panjang. Warna pakaian untuk pria dan wanita hampir sama: menyolok. Direnda. Warna dasar hitam, dikombinasikan dengan warna sulaman merah, hijau dan kuning. Baju gaya Alas ini disebut orang baju Meusirat. Sebegitu jauh, baju Gayo dan Alas belum dimassalkan seperti misalnya baju kurung dari Sumatera Barat.
Pakaian Gayo atau Alas dibuat dan dipakai untuk mereka sendiri. karena untuk dijual akan mahal harganya. Untuk pakaian Gayo juga sama dan lebih mahal lagi. Karena baju ini dilengkapi dengan ikat pinggang dari uang perak Belanda dan perhiasan yang serba perak dan antik pula. Kemungkinan, jarang yang mau menjual baju yang sudah dijadikan barang warisan itu.
Sumber : http://ubaiselian.blogspot.com