Berasal dari daerah Dataran Tinggi Gayo di Kabupaten Aceh Tengah Propinsi Aceh dan sebagai Putra Gayo Asli kehidupanku justru hanya sampai tingkat SD di tanah kelahiranku. Sedangkan selebihnya sampai perguruan tinggi kujalani di Banda Aceh. Namun demikian semangat kemandirian dan pendidikan yang menjadi ciri khas Urang Gayo (Suku Gayo) yang tertanam dalam tubuhku tetap melekat padaku. Bahkan Musibah Gempa dan Tsunami 2004 yang membuatku harus “timbul tenggelam” dan terseret sampai lebih kurang 5 KM ditambah kehilangan adik-adik dan kakak serta keponakanku tidak sanggup meluluhlantakkan semangatku untuk terus maju. Pada akhirnya tahun 2007 aku resmi menjadi salah satu warga Peradilan Agama di bawah Mahkamah Agung tepatnya sebagai Calon Hakim di Mahkamah Syar’iyah Sigli. Bersyukur atas apa yang telah ditetapkan oleh-Nya kepadaku dan atas karunia semangat Urang Gayo dalam diriku seharusnya mampu aku pertahankan di mana dan kapan saja tak terkecuali di tempat bertugasku saat ini dimana para pencari keadilan bermuara.
Tahun 2010, Berbekal surat keputusan pengangkatan Hakim di PA Tarempa dan tanpa terlalu peduli dimana letak wilayahnya berada, perjalanan menuju bumi “kayuh serentak langkah sepijak” pun dimulai dengan penuh semangat. Terbatasnya informasi transportasi menuju kesana tidak menyurutkan tekadku untuk segera kesana. Walaupun diantara rekan-rekan seangkatan asal Aceh akulah yang paling jauh ditempatkan saat itu, namun kobaran semangat menjadi modal penting dalam keberangkatanku kali ini. Aku harus bisa menunjukan kepada mereka bahwa walaupun terjauh dan terluar ditempatkan, namun aku harus menjadi yang pertama berangkat dan menjadi yang tercepat dilantik sebagai Hakim. Perjalanan Darat, Udara dan Laut dari Banda Aceh-Medan-Pekanbaru-Palmatak hingga akhirnya tiba di Tarempa harus kulalui selama 3 hari, dari Bus Berwifi, Pesawat berukuran besar sampai berbadan kecil dan berbaling hingga menggunakan kapal laut yang kecil dengan menggunakan pelampung di badan dan ditengah cuaca yang buruk dan laut yang sedang ganas (musim angin utara) sukses aku lewati dengan selamat tiba di Tarempa tanggal 24 Juni 2010 pukul 22.00 WIB.
Bermodalkan semangat itulah apa yang aku tekadkan terbukti karena pada akhirnya tanggal 25 Juni 2010 aku resmi dilantik oleh Ketua PA Tarempa (Bpk. YM. Drs.H. Affandi) sebagai Hakim di PA Tarempa, sedangkan rekan-rekan seangkatan asal Aceh baru dilantik pada bulan Juli 2010. Bahkan terbilang belum lama setelah dilantik (+8 bulan), aku dipercayakan oleh KPA Tarempa sebagai Ketua Majelis. Penempatan di PA Tarempa aku terima karena Ini adalah bukti komitmen terhadap apa yang pernah aku tandatangani sebelumnya dalam surat pernyataan bermeterai tentang bersedia ditempat dimana saja di seluruh wilayah Republik Indonesia disertai keyakinan bahwa Sang Pencipta pasti telah mempersiapkan hikmah yang menjadi rahasia-Nya untukku tanpa harus kujalani dengan keluhan, sedih dan marah atau bahkan mencari kebaikan diri sendiri dengan jalan tidak benar kepada para penentu kebijakan penempatan.
Tarempa adalah nama ibukota dari Kabupaten Kepulauan Anambas dengan luas wilayah 46.664.14 KM². Luas daratannya hanya 592.14 KM² atau 1,27% sedangkan luas lautannya 46.033,81 KM² atau 98,73%. Sehingga dapat dibayangkan bahwa saat berada disana hanya pemandangan laut nan luas tak bertepi yang dilihat, dilewati dan dirasakan. Sungguh berbeda dari dinamika daratan dan perkotaan di Indonesia yang tak lepas dari masalah macet dan hiruk pikuk kehidupan malam. Tarempa akan selalu identik dengan hilir mudiknya kapal nelayan, pemandangan ikan segar, spot-spot memancing yang banyak serta bahasa melayu khas kepulauan yang kaya dengan canda tawa dan petuah bermanfaat. Subhanallah,,tidak semua orang bisa menikmati semua keindahan ini. Anda mau ??. Untuk bisa menikmati keadaan ini maka tuntutan kemampuan beradaptasi dan sharing pengalaman dari senior menjadi sangat urgen. Hal ini dibutuhkan selain sebagai alat untuk mencapai kenikmatan itu, mudah-mudahan nantinya bisa membantuku menyampaikan pesan keadilan kepada para pencari keadilan.
Menjalani kehidupan di Kabupaten Kepulauan Anambas dibutuhkan kesiapan secara fisik dan mental. Faktor sulitnya transportasi dan tingginya biaya hidup akan membuat semangat menjalankan amanah sebagai pemberi keadilan dapat luluh sewaktu-waktu. Sebuah pengalaman menarik tentang harga 20 buah cabe rawit seharga Rp. 5.000,- serta Tidak tersedianya rumah dinas harus membuat kami siap berdesak-desakan dalam rumah kontrakan senilai 30 juta/tahun adalah fenomena disini. Seolah hanya ikan dan senyuman saja yang murah di kabupaten ini, yang lebih mahal ??? banyak. Keadaan ini telah lama dijalani oleh para Hakim dan Pegawai di PA Tarempa sehingga menjadi menarik untuk menjadikannya sebagai pelajaran hidup. Semua memang didahului oleh niat dan untuk menjalankannya dibutuhkan niat suci itu dibutuhkan tekad untuk tidak mudah menyerah. Pada akhirnya Hakim dan Pegawai di PA Tarempa yang “minimalis” dari segi jabatan structural dan fungsional tapi tetap bisa bertahan dan menjalankan tugasnya sesuai tupoksi masing-masing. Sikap saling bantu, bekerja sama dan profesionalisme tetap dijunjung tinggi. Sebuah keadaan yang mesti diacungi jempol tetapi tak selalu terekspose keluar atau jadi trending topic di mata para pemimpin di Mahkamah Agung.
PA Tarempa secara umum memang tergolong sedikit dari kuantitas perkara dibandingkan Pengadilan Agama di seluruh wilayah Pengadilan Tinggi Agama Pekanbaru. Jumlah penerimaan perkara berkisar antara 80 hingga 90 perkara setiap tahun padahal Islam adalah agama mayoritas penduduk di Tarempa. Kondisi perkara yang sedikit ini bukan disebabkan jumlah masalah ditengah masyarakat itu kecil namun menurut penulis ada beberapa hal yang menyebabkan hal itu terjadi, antara lain:
1. Tingkat pengetahuan hukum perkawinan dan penyelesaian sengketa perkawinan. Hal dikarenakan minimnya sosialisasi hukum dari pemerintah serta minimnya sarana pendidikan agama disana dan masyarakat yang rata-rata hanya tamatan Sekolah Dasar.
2. Wilayah hukum PA Tarempa yang sangat luas dan semua jalur menuju ke tarempa harus melewati laut. Hal ini tentu membutuhkan biaya yang sangat mahal sekali. Biaya radius termurah antar pulau berkisar 300.000,-/satu kali panggilan dan termahal adalah 700.000,-/satu kali panggilan. Fantastis. Bisa dibayangkan untuk mengajukan perkara cerai talak saja, masyarakat harus mengeluarkan uang sejumlah 4.000.000,- (empat juta) rupiah. Tidak salah kalau kemudian fenomena talak diluar pengadilan lebih dikenal oleh masyarakat karena lebih murah dan mudah.
3. Kurangnya kontrol social masyarakat dan pemerintah dalam menangani permasalahan yang terjadi yang berakibat kepada terbiasanya masyarakat dalam melakukan kesalahan dalam tindakan dan penanganan hukum.
Semestinya permasalahan diatas dapat diatasi oleh Pemerintah Daerah dengan memberikan perhatian khusus melalui program-program sosialisasi hukum dan penanggulangannya. Disamping itu alokasi anggaran pelaksanaan sosialisasi dan penanganan hukum semestinya tersedia dengan baik sehingga tidak lagi menjadi hambatan ke depannya. Sedang bagi PA Tarempa untuk menyiasati permasalahan diatas hanya bisa menyusup dalam program sosialiasi hukum berbalut sidang keliling. Walau terbilang tidak maksimal karena minimnya anggaran sidang keliling namun sebagai “Manusia Pemerintahan” yang baik kami telah berusaha secara maksimal dalam memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Ikhlas beramal dengan Memaksimalkan dan mengekplotiasi potensi-potensi muballigh yang ada di PA Tarempa sudah lazim dilakukan dengan metode turun bersama para da’i dan muballigh dan pejabat bagian hukum pemerintah daerah diselingi kegiatan dakwah dan sosialisasi hukum. Harapannya agar permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat disana dapat diselesaikan atau setidak-tidaknya dapat meminimalisir kesalahan dalam menjalankan hukum keluarga.
Keluarnya nama saya pada pengumuman mutasi diakhir bulan Desember 2012 menjadi titik berakhirnya segala interaksi saya dengan PA Tarempa dan umumnya dengan segala bentuk kehidupan di Kabupaten Kepulauan Anambas. Begitu banyak kenangan selama bertugas di PA Tarempa dan ratusan lembar kertas tak akan mampu memuat semua kenangan itu. Destinasi berikutnya adalah bumi “bertingkap alam berpintu ilahi” Kabupaten Lingga tempat dimana PA Dabo Singkep berada. Dari data Geografi dan Demografi bahwa kabupaten ini hanya memiliki daratan sebanyak 4% (2.235,51 KM²) dan lautan seluas 96% (43.273,15 KM²), populasi penduduk 97.729 jiwa. Sebuah kondisi alam yang tidak berbeda jauh dari tempat saya bertugas sebelumnya di Tarempa bahkan kedua Kabupaten ini ternyata memiliki batas wilayah yang sama yakni Laut Cina Selatan. Sehingga makin melekatlah julukanku sebagai Hakim Perairan Laut Cina Selatan.
PA Dabo Singkep dari segi kuantitas perkara sedikit lebih banyak dari PA Tarempa, sedang untuk kualitas perkara masih saja didominasi oleh perkara perceraian dan dispensasi nikah. Sejak berada di PA Dabo Singkep atau tepatnya di Kabupaten Lingga dari awal tahun 2013 sampai awal tahun 2014 saat ini, permasalahan serupa sebagaimana di PA Dabo Singkep kembali terjadi. Transportasi yang sulit, kelangkaan bahan bakar minyak dan tingginya biaya hidup menjadi makanan sehari-hari sehingga kesimpulan penulis sementara adalah bahwa permasalahan yang dihadapi oleh Pengadilan-Pengadilan yang berada di Kepulauan kurang lebih hampir sama dan tentunya dengan alur dan ciri khas masing-masing tempat. Namun dibalik itu semua beberapa kejadian menarik berikut ini dapat menggambarkan bagaimana perjuangan aparat peradilan di kepulauan, antara lain :
Anggaran sidang keliling pada dasarnya sebagai upaya untuk membantu dan memenuhi tuntutan dari para pencari keadilan terhadap kepastian hukum. Bahwa anggaran sidang keliling belum sepenuhnya memenuhi tuntutan para pencari keadilan adalah realita yang terjadi di PA Tarempa dan PA Dabo Singkep atau bahkan di pengadilan-pengadilan di kepulauan. Dalam memaksimalkan program ini maka dalam setiap kesempatan sidang keliling yang saya ikuti harus terlbih dahulu harus dibahas tentang prioritas tempat sasaran sidang keliling dan jadwal keberangkatan. Hal ini mengingat bahwa sebagian besar daerah di PA Tarempa dan PA Dabo Singkep adalah gugusan pulau-pulau dengan biaya panggilan yang berkisar antara Rp.300.000,- sampai dengan Rp.700.000,-/sekali panggil. Faktanya bahwa untuk mendapatkan “Surat Jande dan Dude” maka para pihak harus siap dengan dana antara Rp.1.500.000,- s/d Rp.4.000.000,-. Kondisi ini tentu membutuhkan kejelian serta kemampuan organisatoris dari Majelis Hakim dalam menetapkan wilayah atau tempat yang mampu dan sanggup para pihak datangi saat persidangan keliling ini terlaksana dan tak menghabiskan banyak biaya. Disamping itu rela berangkat di luar waktu yang ditanggung Negara (baca:SPPD) harus selalu dialami oleh Majelis Hakim Sidang keliling yang ditetapkan. Hal ini menghindari keterlambatan Majelis Hakim dalam bersidang. Kondisi cuaca laut yang tidak menentu dan sering membuat Majelis Hakim harus selalu menyediakan “tasbih” ditangan kanan berharap surga menanti apabila ajal datang menjemput lewat nikmat tuhan berupa lautan.
Dalam beberapa kasus para Ketua Majelis di PA Tarempa dan PA Dabo Singkep khususnya dan Pengadilan-Pengadilan di Kepulauan Riau umumnya dalam menentukan hari sidang harus bisa menyesesuaikan antara kalender persidangan dan ditambah kejelian melihat cuaca dan jalur transportasi laut ke tempat para pihak berada. Karena dalam beberapa kejadian sesaat setelah Ketua Majelis menentukan persidangan namun menurut laporan dari jurusita bahwa panggilan tidak bisa dilaksanakan karena tidak ada tranportasi laut yang mau mengantar dirinya dengan alasan cuaca yang buruk selama 2 pekan berturut-turut dan langkanya bahan bakar minyak. Hukum formil gagal diterapkan saat berhadapan dengan hukum alam. Walaupun tugas jurusita melaksanakan perintah Majelis Hakim namun Jurusita juga enggan melakukan upaya “suicide” dalam tugas memanggil yang telah dibebankan undang-undang. Izin Syahbandar yang berwenang dalam memberi kepastian tentang bisa atau tidaknya sebuah kapal laut berangkat dan Kalimat “Bersahabat dengan alam” harus diresapi secara mendalam oleh para hakim yang bertugas di PA Tarempa dan PA Dabo Singkep.
Melihat kepada keadaan yang dihadapi PA Tarempa dan PA Dabo Singkep diatas, setiap akhir tahun secara khusus diadakan rapat evaluasi kegiatan dan rencana program tahun berikutnya. Sungguh terasa mudah apabila suatu saat PA Tarempa dan PA Dabo Singkep telah memiliki transportasi laut sendiri sehingga tidak perlu tergantung kepada pihak lain selain izin dari Syahbandar. Dalam sebuah kesempatan di forum rapat akhir tahun saya pernah mengusulkan agar PA Tarempa mengusulkan pengadaan “speedboat dinas” yang layak karena selama ini Mobil Dinas hanya bisa maju mundur di depan kantor dan menelusuri jalan sepanjang 2 KM. Berbicara manfaat maka speedboat dinas lebih memiliki fungsi karena mampu menjangkau yurisdiksi Pengadilan Agama di Kepulauan dibandingkan mobil dinas. Semoga ini suatu saat dapat terwujud. amin
Si Pincang dan Tak berlengan
Julukan si Pincang dan tak berlengan bukan menggambarkan pihak yang berperkara atau orang lain dalam tulisan ini. Ini gambaran struktur organisasi nyata di PA Tarempa dan PA Dabo Singkep. Jabatan fungsional dan struktural banyak yang kosong dan menyebabkan terjadinya rangkap jabatan dan hasil tak maksimal dalam menjalankan sebuah tugas harian. Tuntutan profesonalisme dan proporsional dalam menjalankan tugas-tugas pengadilan sering terbentur karena jabatan-jabatan tersebut kosong tak berpenghuni. PA Tarempa dan PA Dabo Singkep bukan tidak berusaha membenahi masalah ini. Dalam setiap pengawasan hal ini selalu disampaikan dan selalu dimohonkan secara tertulis kepada pengadilan tinggi agama di pekanbaru namun sampai saat ini belum ada perubahan justru yang terjadi adalah semakin bertambahnya permohonan pindah dari petugas pengadilan perempuan yang tidak sanggup dengan kondisi dan mahalnya biaya kehidupan di PA Tarempa dan Dabo Singkep. Seolah menjadi alumni dari dua tempat ini menciptakan kesenangan tiada tara, harus disyukuri dan dianggap sebuah prestasi. Dimana letak komitmen bermaterai itu dan itukan mental petugas pengadilan ? Hidup adalah pilihan, terserah kepada kita mau memilih untuk komitmen terhadap apa yang kita tandatangani atau sebaliknya. Pindahnya para petugas peradilan di dua tempat ini semakin diperburuk dengan kalimat “kutarempakan” yang pernah saya dengar saat mengikuti pelatihan di Batam tahun 2012, sebuah lelucon mengerikan dan menggambarkan bahwa Tarempa atau Pengadilan Agama yang susah diakses adalah tempat pengasingan bagi para aparat peradilan. Kondisi ini secara tidak langsung menciptakan keengganan tingkat dewa bagi yang ditempatkan di PA Tarempa dan PA Dabo Singkep sehingga terkadang upaya salahpun ditempuh.
Ini beberapa hal yang sanggup penulis sampaikan sejak bertugas di PA Tarempa dan Dabo Singkep. Saya yakin bahwa pengalaman ini saat ini masih dijalani oleh Para Hakim di PA Tarempa dan punya sisi menarik lainnya. Terimakasih kepada KPA Terempa sebelumnya (Drs. H. Affandi) dan saat ini (Drs. H.Sasmiruddin, MH) KPA Dabo Singkep (Drs. H.Muhktar, SH, MH) WKPA Dabo Singkep (Drs. Ahmad Luthfi) rekan-rekan Hakim di PA Tarempa (M. Kadafi Bashori, S.HI, M. Reza Pahlefi, S.HI, Hasyim Al-Qadri, S.Ag, M.H dan Romy Maulana, S,HI.) dan rekan-rekan Hakim di PA Dabo Singkep (Hasanuddin, S.Ag dan T. Mufardisshadri,S.HI). demikian juga kepada semua Alumni PA Tarempa yang sempat saya kenal (Mashudi, S.H dan Helson Dwi Utama, S.Ag), terimakasih atas pengalamannya. Salam Aok…!!!
*Putra Gayo, Hakim PA Dabo Singkep
(Sumber : Mahkamah Agung Edisi 4)