Sang Akhwat

oleh

[Cerbung]

(Bagian. 1 dari 5 Cerita)

Irama Br Sinaga

Empat tahun menuai cerita yang panjang. Sang akhwat yang berparas sederhana, lembut dan ramah. Senyum selalu menghiasi bibirnya yang selalu melantunkan shalawat. Memiliki kulit hitam manis, tinggi dan ideal.

Empat tahun, banyak teman, ilmu dan pengalaman yang didapat dari berbagai kehidupan yang ditempuh. Akhwat lembut dan anggun ini selalu menuai kebaikan. Suatu hari ia pergi ke kota untuk membeli kebutuhan bulan puasa. Bulan suci Ramadhan ia sambut dengan semangat dan berharap agar ia mampu menjalani Ramadhan tahun ini dengan baik dan mendapat ridha Allah SWT.

Sesampainya di kota, sang akhwat langsung menuju pusat belanja. Akhwat manis memiliki kumis tipis melihat seorang ibu menyeberang. Si Ibu tidak melihat disebelah kanan jalan ada becak yang nyaris menabraknya, lalu ia pun menolong dan mendorong sang Ibu hingga terjatuh.

“Ibu..”, sang akhwat menyapa

 “Ibu tidak apa-apa?”

“Tidak apa-apa nak, makasih kamu menolong Ibu”, si Ibu tergesa-gesa

“Alhamdulillah kalau Ibu ndak apa-apa, sini bu saya bawakan barang-barangnya”.

“Ini nak, makasih ya nak”

“Ya bu, Ibu naik apa?”.

“Ibu dijemput anak”

“Ya udah, saya antar Ibu saja”

Ndak usah nak, nanti Ibu terlalu merepotkan”

Ndak apa-apa bu, lagian kaki Ibu sakit kena aspal tadi, kalau tunggu anak Ibu mungkin masih lama”.

“Ya Allah nak, baik sekali kamu nak”, si Ibu memuji

Gak apa bu, saya ngak keberatan menolong sesama”, sang akhwat tersenyum

Sesampainya di rumah si Ibu, sang akhwat terkejut melihat foto keluarga yang diletakkan di ruang tamu. Sang akhwat melihat Foto seorang ikhwan yang empat tahun lalu pernah bersama-sama dalam organisasi.

“Bunda udah pulang?”, sang ikhwan agak terkejut melihat bundanya sudah pulang

“Ya, Bunda diantar gadis baik, itu orangnya di ruang tamu”, sambil menunjuk ke arah sang akhwat

“Fanny… kok bisa disini”, sang ikhwan terkejut

“He he ya bang, ini rumah abang ya?”, sang akhwat tersenyum dan terkejut melihat abang lettingnya. Tak menyangka sang akhwat sampai ke rumahnya. Sang ikhwan adalah abang organisasi yang disegani dan sering komunikasi masalah organisasi. Dia menganggap sang ikhwan itu seperti abang kandungnya, ya tentu dalam batas-batas tertentu.

“Ya, kenapa bisa jumpa dengan Bunda?”, tanya ikhwan sambil mengambil tempat duduk

“Tadi Bunda hampir ditabrak becak bang, jadi ana tolongin dan sekalian antar. Ana ndak tau kalau Bunda itu bundanya abang”

“Oh, makasih ya sudah menolong Bunda?”

“Ya sama-sama bang”

Bumi berotasi mengelilingi matahari dan waktupun berputar. Bulan suci Ramadhan sudah tercium aromanya, seperti biasanya bila Ramadhan tiba organisasi yang digeluti sang akhwat mengadakan Sekolah Ramadhan ditingkat SMA. Ramadhan kali ini diadakan di sekolah yang pernah diduduki sang akhwat.

Empat tahun lalu sang akhwat adalah instruktur dan sebagai pelaksana namun untuk tahun ini sang akhwat sebagai pembina dan penasehat. Madrasah Ramadhan dilaksanakan selama 3 hari, sang akhwat sebagai alumni dan pembina organisasi turut berkecimpung menyukseskan acara. Seperti biasanya, pembina-pembina yang lainpun diundang. Ikhwan tampan dan dokter muda datang bersama sahabatnya Zulfikar ikut menyukseskan acara Madrasah Ramadhan.

Hari kedua Madrasah Ramadhan, Zulfikar bertanya pada sang akhwat.

“Fanny, abang boleh tanya?”

“Boleh bang”, jawabnya singkat dan sembari tersenyum. Fanny saat itu sedang mendesaign sertifikat peserta Madrasah Ramadhan. Fanny dan Yani memang ahli mendesaign sejak dahulu mereka diamanahkan dibidang Kestari. Mereka berdua selalu stanbay di ruangan Kestari.

“Pertanyaan abang tentang jodoh, he he”.

Zulfikar malu-malu mengatakannya karena mereka tak biasa membahas tentang jodoh apalagi akhwat dan ikhwan sepertinya janggal namun karena mereka masih terikat saudara meski jauh hal itulah yang membuat Zulfikar tidak segan dengan Fanny karena Zulfikar menganggap Fanny adiknya sendiri.

“Tumben, abang mau nikah ya?”

“Belum, tapi ada kawan yang mau nikah, jadi abang minta pendapat Fanny”

“Oh, boleh, ntar kalau Fanny ngak bisa jawab, pertanyaan dilontarkan sama kak Yani dan bang Reza ya?”, jawab Fanny dan Reza tersenyum memandang Fanny yang polos dan pintar.

“Seandainya Fanny dijodohkan sama orang tua, bagaimana pendapat Fanny?”

“Woww, kalau itu untuk sementara dijawab sama kak Yani aja dulu he he”

“Fanny yang ditanya, kok kakak yang jawab”, Yani sewot

“Ya Fan, abang kan tanyak Fanny, jawab aja menurut Fanny ngak usah menurut para ahli he he”, Zulfikar memang suka melawak.

“He he ya ya, kalau Fanny, terima perjodohan itu namun harus sesuai kriteria Fanny kalau gak, Fanny ngak mau terima, tah pun yang dijodohkan preman kampung he he”

Emang kriteria Fanny seperti apa?”, tanya Zulfikar dan Reza hanya terdiam dan mendengarkan percakapan mereka.

Ngak banyak, yang penting shaleh, tidak merokok, hafal minimal Juz Amma tapi kalau yang dijodohkan itu ikhwan, pasti Fanny terima he he”. Dijawab dengan tertawa kecil.

Ikhwan adalah laki-laki yang berada dalam organisasi dakwah, ikhwan itu sudah terjamin tidak merokok, shaleh dan selalu memperbaiki diri serta mengutamakan Allah SWT dibanding duniawi.

“Oh, Fanny sudah siap untuk menikah?”, tanya zulfikar

Namun untuk pertanyaan ini sedikit membingungkan bagi sang akhwat dan hatinya bertanya-tanya “Mungkinkah pertanyaan bang Zulfikar ini serius…?”.

“Abang ini ya, pertanyaannya ada-ada aja”.

“Abang serius ne

Ciee, ada yang mau sama Fanny, siapa orangnya Zul?”, tanya Yani. Zulfikar, Reza dan Yani satu Letting dan satu organisasi.

“Pokoknya ada, bagaimana Fan?”

“Kalau dari pribadi belum siap, namun kalau ada yang lamar, orangnya shaleh dan sesuai kriteria, kenapa ngak….!!”, jawabnya sedikit agak manja

“Bagaimana ya, sebenarnya abang mau bilang sesuatu tapi tempat ini aman ngak ya. Jangan sampai anak-anak tahu”.  Zulfikar terlihat sangat serius tidak seperti biasanya namun berbeda dengan sang ikhwan. Dia hanya tersenyum dan mendengarkan percakapan mereka.

“Hmmm serius pula ya?”, tanya Yani.

“Ya, ada yang dijodohkan sama Fanny”, jawab Zulfikar.

“Yaudah kita pindah ke Mushala aja, ntar dikirain kita ada rapat”, Yani memberikan solusi dan merekapun beranjak.

“Kak, Fanny deg-deg an ni

“He he biasa aja, mungkin yang dibilang Zul itu jodoh mu”

“Kita dengar dulu ya kak”

“Ya”. Jawab Yani singkat dan merekapun duduk dan dibatasi oleh hijab.

“Fanny, ada ikhwan yang dijodohkan sama Fanny, ikhwan ini sudah mengenal Fanny dan begitu juga Fanny sudah mengenalnya. Disini abang disuruh mewakili untuk menanyakan tentang kesiapan Fanny dan jawaban Fanny, orang tuanya mendesak untuk menikahi Fanny”. Tanya Zulfikar dengan serius dan harapan ada jawaban yang diterima.

“Begini bang, Fanny gak akan tanya siapa orangnya, tanyakan sama dia, apakah dia siap menikah dengan Fanny? Karena orang tuanya yang mendesak bukan dia kan?”.

“Ya memang orang tuanya namun dia ingin menanyakan kesiapan Fanny, bila Fanny siap dia juga siap”.

Hati Fanny pun deg-deg an. Siapakah gerangan………??? mengapa dia bersembunyi, malukah dia atau dia sengaja merahasiakan dirinya. Fikiran dan hatipun dilema.

Fanny tarik nafas panjang

“Begini bang, ada hal yang harus Fanny katakan pada abang dan sang ikhwan itu, untuk hal ini dia harus tahu bahwa Fanny adalah anak satu-satunya perempuan dan anak terakhir. Kami tidak memilki harta, saham atau apapun jenisnya. Fanny ibaratkan kebun sawit Ayah dan Umy, empat tahun mereka bersihkan, diberi pupuk dan mereka pasti menunggu buahnya. Ya memang tak sekasar itu, namun Fanny merasakannya. Fanny ingin membalas jasa Ayah dan Umy. Fanny ingin memberikan belanja sehari-hari dan kelak bila mereka sudah tua, Fanny ingin mereka bersama Fanny. Setiap anak menginginkan hal yang sama namun Fanny ini anak perempuan, ketika sudah menikah maka surga Fanny berpindah ketelapak kaki suami. Apakah sang ikhwan itu mau menerima permintaan Fanny?”.—- Bersambung…— [SY]

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.