Membaca Muslihat “Politik Dua Kaki” Partai Aceh

oleh

Muhammad-HamkaOleh : Muhamad Hamka

Pemilihan umum presiden (Pilpres) 2014 penuh dengan kejutan dan hal-hal menarik. Mulai dari strategi gontok-gontokan yang di goreng PPP dalam memburu ‘loyang’ kekuasaan, taktik politik malu-malu kucing yang di elaborasi Partai Demokrat, orkestra politik Macheveli yang di pentas oleh PKB, hingga muslihat ‘politik dua kaki’ yang di mainkan oleh Partai Golkar dalam mengamankan enclave kekuasaan.

Parade politik yang di pertontonkan oleh ke empat parpol di muka memperlihatkan satu hal yang sama, yakni tabiat elite politik kita yang piawai bersandiwara guna membungkus libido kekuasaan. Maka jangan heran kalau di depan publik mereka pandai berakrobat dengan kata-kata; yang hitam menjadi putih, yang buruk menjadi baik, bahkan garam di lautan di sulap menjadi asam di gunung.

Oleh karena itu, sebagai masyarakat akar rumput, wong cilik, dan rakyat jelata; kita harus pandai membaca situasi sebelum membuat sebuah kesimpulan. Karena boleh jadi, menurut pengelihatan dan pemikiran kita itu nampak baik-baik saja, tapi kenyataan di baliknya bikin kita mengelus dada.

Apalagi ‘politik penampakan’ ini sudah menancapkan habitus serta sudah banyak membius akal sehat banyak orang di negeri ini. Nampak santun, nampak merakyat, nampak sholeh, nampak sederhana dan nampak-nampak lainya adalah muslihat politik baru elite politik dalam membonsai akal sehat dan hati nurani rakyat. Untuk itu, kita sebagai warga bangsa yang berusaha melek politik tak boleh cepat terkesima dengan muslihat politik penampakan ini.

Jagad politik Aceh
Politik penampakan yang sedang menemukan panggungnya di Republik ini, juga mulai meramaikan konstelasi politik di Serambi Mekkah. Beberapa hari terakhir jagad politik Aceh menjadi riuh oleh sikap politik Gubernur Aceh, Zaini Abdullah yang mendukung pasangan Jokowi-JK. Dari benua Eropa (Swedia), Doto Zaini demikian gubernur Aceh ini di sapa (Rabu, 4/6) melalui telepon mengirimkan sikap politiknya mendukung pasangan Jokowi-JK (Serambi Indonesia, Kamis 5/6).

Sikap politik Doto Zaini ini memunculkan banyak penafsiran di masyarakat, mengingat sudah jauh hari sebelumnya Muzakkir Manaf selaku Ketua Umum DPP Partai Aceh (PA) dengan mengatasnamakan Partai Aceh memberikan dukungan penuh kepada Prabowo Subianto.

Sontak saja sikap politik berbeda elite PA ini melahirkan teka-teki bagi publik luas. Dan tentu saja di sudut yang lain menjadi berita gembira bagi tim sukses Jokowi-JK. Lalu muncul pertanyaan banyak orang, apakah kedua elite PA ini sudah pecah kongsi? Apakah hal ini kian menegaskan rumor dominasi klik Pidie dalam mengatur laju navigasi PA? Tentu saja, kalau di lihat dari spektrum ‘politik penampakan’ maka boleh jadi kita semua sepakat bahwa kedua elite PA ini sedang bersilang-sengkarut.

Namun, penulis berusaha melihat sikap politik Doto Zaini secara lebih jauh, tidak sekadar mengelaborasi ‘politik penampakan’ yang sedang di mainkan oleh anggota Tuha Peut (Dewan Pertimbangan) DPP PA ini. Sewaktu pemilihan umum presiden (Pilpres) 2009 lalu, PA/KPA membulatkan suara mendukung SBY-Boediono. Pilihan PA waktu itu tentu saja mengikuti arus kuat bandul politik yang berpihak pada Pak Beye. Pada Pemilu Presiden 2009, orang yang awam politik sekalipun dapat menebak bahwa SBY tak akan terbendung menjadi orang nomor satu di Indonesia untuk periode kedua.

Sehingga tak ada alasan bagi PA waktu itu untuk keluar dari arus kuat publik yang masih menginginkan Pak Beye melanjutkan tongkat kepemimpinanya. Demi keberlanjutan eksistensi dan kepentingan politik PA, maka tak ada pilihan lain bagi Partai Aceh—sebagai sentrum politik mantan kombatan GAM—untuk tidak memilih capres yang elektabilitasnya tinggi. Dan pada masa itu, Presiden Bambang Yudhoyono memiliki elektabilitas yang tak terbendung. Padahal kalau pakai rasionalitas politik, mestinya Partai Aceh mendukung capres Golkar, Jusuf Kalla yang notabene sebagai salah satu arsitek perdamaian Aceh.

Posisi dilematis
Namun di Pilpres 2014 ini, Partai Aceh berada dalam posisi yang cukup dilematis. Betapa tidak, elektabilitas Prabowo dan Joko Widodo yang saling berkejaran menjadikan Pilpres 2014 sulit di prediksi, siapa capres yang akan keluar sebagai pemenang. Maka, satu-satunya jalan bagi PA adalah dengan mengadopsi kebiasaan ‘politik dua kaki’ yang sering dimainkan oleh elite Partai Golkar di jagad politik nasional.

PA sadar betul bahwa mereka tidak boleh membulatkan dukungannya untuk Prabowo-Hatta. Karena kalau Jokowi-JK yang keluar sebagai pemenang, maka otomatis akan punya implikasi yang luas bagi kepentingan Aceh, wabilkhusus kepentingan politik PA itu sendiri. Sehingga Partai Aceh berusaha menengahinya dengan mencari muslihat politik alternatif, main dua kaki. Satu kaki (Zaini Abdullah/Gubernur Aceh sekaligus anggota Tuha Peut DPP PA) merapat ke Jokowi-JK, sementara kaki yang satunya lagi (Muzakkir Manaf/Wakil Gubernur Aceh sekaligus Ketua DPP PA) merapat ke Prabowo-Hatta. Sehingga siapapun dari kedua capres ini yang menang, kepentingan politik PA tetap aman.

Maka jelaslah bagi kita, bahwa ‘politik dua kaki’ yang sedang di mainkan oleh Partai Aceh tidak lebih sebagai muslihat politik belaka.

*Analis Politik

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.