Oleh : Drs. Jamhuri Ungel, MA[*]
Kebutuhan, keperluan, kemanfaatan dalam istilah Arab disebut dengan mashlahah atau kemaslahatan. Dalam Ilmu ushul fiqh kemaslahatan berdasarkan penentuannya dapat dilihat dari tiga sudut pandang :
Pertama, Kebutuhan Manusia yang disebutkan dalil nash (mashlahah mu’tabarah)
Kedua, Kebutuhan yang disebutkan oleh dalil nash dan Manusia (mashlahah mulgha)
Ketiga, Kebutuhan dari diri manusia (mashlahah mursalah)
Kebutuhan yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah kebutuhan manusia yang berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan orang lain dan juga kebutuhan dengan lingkungan. Kebutuhan manusia dengan Tuhan adalah kebutuhan makhluk terhadap Khaliqnya, seperti kebutuhan bertauhid, berakhlaq kepada Tuhan, beribadah sebagai bukti kehambaan atau kepatuhan kepada-Nya. Kebutuhan terhadap diri sendiri termasuk kebutuhan diri dalam memahami penciptaan diri sebagai individu dan kebutuhan pemahaman terhadap diri sebagai bagian dari dari orang lain kemudian kemampuan diri dalam memahami alam yang ada di luar diri.
Kebutuhan Manusia yang disebutkan dalil nash
Kebutuhan manusia yang disebutkan secara jelas oleh Allah dalam al-Qur’an atau hadis, seperti kebutuhan terhadap shalat dengan dalil diantaranya adalah perintah Allah yang tegas sebagai bukti bahwa shalat itu wajib dan dengan tata cara pelaksanaan seperti yang dicontohkan oleh Rasul melalui perbuatan dengan ungkapan “shalatlah kamu semua sebagaimana kamu melihat saya shalat”. Dalil ini menyebutkan bahwa perbuatan shalat merupakan kebutuhan yang tidak boleh ditinggalkan walaupun satu waktu dan apabila seseorang lupa untuk melakukannya maka ia harus dengan segera melakukannya ketika teringat. Karena shalat sebagai ibadah yang sudah ditentukan waktu, perbuatan dan bacaannya maka perbuatan shalat ini dikerjakan dengan bentuk ta’abbud, artinya pelaksanaannya tidak boleh berbeda dengan apa yang telah dicontohkan oleh Nabi dengan tidak ada modifikasi.
Untuk perbuatan ta’abbud tidak membutuhkan kreasi dari akal manusia, karenanya diantara kebutuhan ta’abbud seperti shalat hanya Allah yang lebih tau bagaimana butuhnya manusia terhadap shalat tersebut sedangkan akal manusia tidak mampu menjelaskannya. Contoh-contoh seperti shalat ini relatif sama dengan perbuatan ibadah mahdah yang lain seperti puasa, zakat dan haji. Artinya manusia tidak mampu mengetahui seberapa butuhnya manusia terhadap perbuatan ibadah mahdah tersebut atau hanya sekedar mengatakan bahwa ibadah tersebut adalah ibadah yang harus dilakukan.
Kebutuhan yang disebutkan oleh dalil nash dan Manusia
Allah telah menyebutkan di dalam al-Qur’an tentang hal warisan bahwa bagian laki-laki dua kali bagian perempuan dengan alasan diantaranya bahwa laki-laki adalah pemimpin dari kaum perempuan dan tanggung jawab berada di tangan laki-laki. Kemudian bila suami isteri melakukan hubungan pada siang hari di bulan ramadhan dikenakan kafarat : membebaskan budak, jika ia tidak menemukan budak maka ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut (tanpa putus seharipun), namun jika ia tidak mampu maka wajib baginya untuk memberi makan enam puluh orang miskin.
Dalil di atas menyebutkan bahwa laki-laki mendapat dua bagian dibanding perempuan, namun realita pembagian warisan di masyarakat lebih banyak dilakukan berbeda dengan ketentuan dalil tersebut, ada yang membagi sama, ada juga yang membagi bagian laki-laki lebih sedikit dari bagian perempuan. Artinya pembagian warisan dalam masyarakat sangat tergantung pada kondisi dan pertimbangan setiap keluarga yang membagi harta warisan. Diantara pertimbangannya adalah pendidikan, artinya banyak kaum laki-laki dalam masyarakat yang berpendidikan dan mendapatkan pekerjaan yang dalam hitungan kebutuhan tidak perlu mendapatkan harta warisan, sedangkan anak perempuan tinggal di rumah membantu orang tua dengan jenjang pendidikan tidak diutamakan dibanding laki-laki sehingga keperluan anak perempuan terhadap harta warisan lebih dari anak laki-laki.
Demikian juga dengan kafarat terhadap suami isteri yang melakukan hubungan badan di siang hari pada bulan ramadhan. seperti disebutkan di atas urutannya sesuai dengan dalil nash yaitu : memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut dan memberi makan enam puluh pakir miskin. Dalam sejarah pernah ada seorang raja yang melakukan perbuatan yang dilarang Tuhan tersebut dan selanjutnya disepakat kafarat untuk raja tersebut adalah memberi makan enam puluh orang fakir miskin.
Setelah memahami ayat dan melihat realita sehingga ada ulama yang berpendapat bahwa pembagian harta warisan bukan satu dibanding dua tetapi sebenarnya adalah satu dibanding satu. Pendapat ini bersalahan dengan dalil nash dan ditolak oleh ulama lain, pendapat ini di dalam ushul fiqh disebut dengan kebutuhan yang kebutuhan mulgha.
Kebutuhan dari diri manusia
Tidak ada penyebutan secara langsung dalam dalil nash baik berupa suruhan ataupun larangan, namun manusia sangat membutuhkannya. Kebutuhan seperti ini sangat banyak sampai tidak terhitung jumlahnya dan kebutuhan ini sangat berhubungan dengan manusia sebagai individu (fisik dan psikis), manusia sebagai makhluk sosial, manusia sebagai makhluk hukum, manusia sebagai makhluk adat dan budaya juga termasuk manusia dalam kaitannya dengan sejarah dan antropologi.
Pentingnya manusia terhadap kesehatan menuntutnya harus memakan makanan yang tidak hanya baik dari cara memperoleh dan benda yang dimakan juga halal, tetapi mesti ditambah lagi dengan makanan yang bergizi dan sesuai dengan kadar dan aturan lmu kesehatan. Untuk ini Tuhan hanya menyuruh supaya memakan makanan yang baik dan tidak meyuruh untuk memakan makanan yang bergizi dengan olahan yang membuat makanan tersebut menjadi enak.
Tuhan berfirman di dalam al-Qur’an dengan menyebut bahwa bentuk profesi dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup itu boleh “halal”. Artinya boleh berprofesi sebagai petani, pegawai, sopir, kondektur, kontraktor dan lain-lain, sedangkan untuk merubah pola kerja dari menggunakan tenaga manunusia menjadi mesin, dari menggunakan pola bekerja dari menggunakan otot menjadi pemanfaatan kemampuan otak diserahkan kepada manusia. Sehingga masih ada sebagian orang masih menggunakan kekuatan otot dalam era kemajuan industeri dan masih ada juga yang masih menggunakan otot untuk menjalankan mesin, sedangkan sebagian orang telah menggunakan teknologi dalam menggunakan mesin.
Tuhan telah menyebutkan dalam al-Qur’an kalau orang yang memiliki ilmu derajatnya lebih tinggi dari mereka yang tidak berilmu, namun Tuhan tidak menentukan standar tinggi rendahnya ilmu yang dimiliki seseorang karena itu manusia berupaya membuat standar berdasarkan pendidikan yang telah dilalui dan bukti setiap jenjang itu adalah ijazah atau juga sertifikat. Semakin tinggi ilmu yang dimiliki seseorang maka standar ijazah dan sertifikat tidak lagi memadai tetapi harus dibaringi dengan pemberian gelar dan disesuaikan dengan jenis ilmu yang dimiliki.
Dalam banyak hal keabsahan hukum Tuhan masih memerlukan pembuktian atau penjelasan dari hukum atau aturan manusia, ini diperlukan sebagai pembeda antara perbuatan yang absah dengan yang tidak absah. Seperti pembuktian tentang kebsahan garis keturunan seorang anak, apakah anak yang lahir benar dari hasil penikahan yang sah atau lahir dari perbuatan yang tidak diawali dengan perkawinan, untuk itu manusia membuat surat sebagai bukti kelahiran dengan menyebut data-data yang diperlukan sebagai bukti.
Itulah diantara kebutuhan manusia yang tidak disebutkan dalam dalil nash, namun manusia sangat butuh terhadap terhadap aturan tersebut dengan tujuan agar kehidipan manusia menjadi lebih teratur sesuai dengan kehendak hukum agama.