Tentang Depik, ini kata nelayan Lut Tawar era 70-an

oleh
Laporan Abdul Rahman dari Bintang

Dua sosok pelaku sejarah sebagai nelayan Depik diera tahun 1970 hingga 1980-an, Mana Aman Mar (85) berbaju baju jaket hitam, Abu Kasim Aman Yus (87) kenakan jaket putih. (LGco-Rahman)
Dua sosok pelaku sejarah sebagai nelayan Depik diera tahun 1970 hingga 1980-an, Mana Aman Mar (85) berbaju baju jaket hitam, Abu Kasim Aman Yus (87) kenakan jaket putih. (LGco-Rahman)

DEPIK merupakan nama ikan endemik yang hidup di danau Lut Tawar Takengon-Aceh Tengah. Konon, ikan ini memiliki legenda tersendiri di bumi Gayo dan menjadi salah satu bahan penganan khas bagi masyarakat dataran tinggi Gayo.

Keunikan Depik, hidup berkelompok dan mencari makanan bersama-sama dalam sebuah musim. Masyarakat setempat mengetahui apabila telah datang angin Depik (Kuyu ni Depik) yakni angin yang datang dari arah barat. Para pelaut (nelayan) ikan Depik berbondong-bondong turun ke danau menangkap ikan ini dengan berbagai cara.

Salah seorang tokoh masyarakat Bintang, Mana Aman Mar (85) warga Wakil Jalil kepada LintasGayo.co menuturkan bahwa pada eranya sekitar tahun 1970-an, masyarakat sering menangkap ikan “Depik” dengan hasilnya puluhan kaleng (alat takar di Gayo), namun saat ini hal tersebut sudah langka bahkan mungkin tidak ada lagi di dengar para pelaut maupun moge (pedagang pengumpul) membeli ikan tersebut dengan jumlah itu, mereka hanya mendapatkan dari tukang pencari ikan di danau Lut Tawar hanya beberapa bambu saja.

Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya kalau dulu masyarakat hanya turun melaut secara musiman (musim Depik saja) biasanya pada saat padi di daerah sekitar itu sudah menguning, ketika siap panen padi. Sebelumnya saat padi terlihat menguning para pelaut atau masyarakat terlebih dahulu mempersiapkan peralatan menangkap ikan, namun setelah panen padi biasanya dulu angin baratpun tiba, tetapi sekarang hal itu tidak pernah lagi dikerjakan masyarakat.

Depik di Dedesen (Muna | LintasGayo.co)
Depik di Dedesen (Muna | LintasGayo.co)

“Sekarang hampir tiap hari orang ada yang ke laut, bahkan menggunakan peralatan yang canggih serta jala yang berlobang kecil akibatnya  ikan ini kian langka dan pada saatnya nanti akan punah, apabila pemerintah tidak melakukan kebijakan secara arif, ” kata Mana Aman Mar.

Disinggung tentang kearifan lokal dalam mengangkap ikan khas danau lut tawar tersebut Mana mengatakan hanya satu masyarakat khususnya penangkap ikan harus mengikuti cara tempo dulu, Depik ditangkap secara musiman, menggunakan bilangan bulan Arab (Hijriyah) pada bilangan ganjil, dan menggunakan alat tangkap yang sesuai bila perlu kembalikan penangkapan ikan Depik keperalatan yang dulu, ini agar menjamin bahwa anak ikan Depik yang masih-kecil-kecil tidak ikut tertangkap.

“Ini penting untuk keberlangsungan species ikan khas Gayo itum” tegas Aman Mar.Diungkapkan Mana bahwa beberapa alat untuk menangkap ikan yang ada di masyarakat ketika mereka turun melaut antara lain : Didesen, Penyangkulen, Munyamar, Doran (jala), Seruwe, Serampang, Rebetik, Kik, Mulame, Muneldek, Batur, Munyekot itu yang saya tau.

Nama Pante Menye
Pada kesempatan tersebut Mana Aman Mar yang didampingi Abu Kasim Aman Yus (87) warga Genuren Bintang ketika ditemui di Jamur Gogopnya (gubuk sederhana-red)  saat hendak membangun Mersah kucak di lokasi wisata Pante Menye menyebutkan bahwa kawasan Pante Menye bukan hanya satu nama melainkan banyak nama diantaranya sesuai dengan rerak (pembuangan air dari persawahan masyarakat disekitar itu) seperti Rak Kala Menye, Rak Kala Papan, Rak Kercing, Rak Rengkeh, Rak Betul dan Soak di dekat kawasan Boom Kala Bintang, jelas kedua sosok ini.
Nama Pante Menye sendiri berasal dari nama seorang putri yang dilahirkan dengan nama Sri Menye, keturunannyapun masih ada hingga saat ini.[]

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.