Wafatnya pakar Bahasa Arab dan Tukang Sa’er

oleh

tmp_PicsArt_1400159739088-520906132In Memoriam Drs. M. Ali Wari

Oleh: Marah Halim*

Sebuah berita duka masuk ke HP saya pagi ini, SMS itu di-forward-kan oleh beberapa rekan di UIN Ar-Raniry, “innalillahi wa inna ilaihi raji’un, ayahanda M. Ali Wari tercinta telah meninggalkan kita pukul 05.45 Wib di RS. Fakinah, wass Luthfi Auni.

Terkejut, karena sudah beberapa lama memang kabar tentang beliau tidak terdengar oleh saya. Saya lantas berancang-ancang hendak ke rumah duka, tapi dapat lagi berita kalau jenazah beliau telah dibawa ke Takengon. Dugaan saya mungkin wasiat almarhum agar “pulang” ke Takengon, tanah kelahirannya.

Memang bagi warga Takengon pada umumnya beliau adalah guru semua orang, bukan hanya secara formal di sekolah tetapi dalam pergaulan masyarakat. Namanya dikenal karena merupakan guru generasi pertama di Aceh Tengah. Apalagi beliau sempat mengabdi di PGA Takengon yang muridnya sangat banyak. Angkatan 50-an dan 60-an di Takengon banyak yang murid beliau.

Drs. M. Ali Wari, juga bagi mahasiswa dan alumni IAIN Ar-Raniry bukanlah nama yang asing. Dosen senior ini adalah pakar bahasa Arab yang mumpuni, setau saya beliau tidak pernah mengenyam pendidikan di Arab, meski begitu ia sangat disegani oleh para alumni Timur Tengah yang ada di IAIN. Semua ilmu yang berkaitan dengan bahasa Arab seperti nahwu, sharf, mantiq, balaghah, dikuasainya dengan baik. Di kalangan orang-orang tua di Takengon ia dikenal sebagai “tukang sa’er”.

Saya berkesempatan menjadi mahasiswa beliau di pascasarjana (S2) IAIN tahun 2003, tidak lama, hanya satu semester. Saat itulah saya bisa menikmati belajar bahasa Arab dengan beliau. Saya bisa merasakan suasana belajar yang santai tapi serius seperti yang diceritakan banyak senior tentang seperti apa rasanya kuliah dengan beliau. Saya ingat betul waktu itu buku (kitab) yang kami ulas adalah buku pemikir modern Islam Mesir, Ahmad Amin, yang judulnya “Fajrul Islam” yang isinya tentang Islam di masa-masa awal pertumbuhannya. Sampai saat ini buku tersebut adalah rujukan saya dalam membaca buku bahasa Arab standar akademik.

Bagi saya sendiri yang angkatan 70-an, berguru dengan beliau ibarat “cucu murid”, bukan “anak murid”; sebab saya kenal beliau dari almarhumah ibunda saya (Azizah) yang murid beliau di PGA Takengon; sebelum beliau berangkat tugas belajar ke Banda Aceh dan kemudian mengabdi di IAIN Ar-Raniry.

Uniknya,  ibunda saya yang guru MIN tahun 1992 diwajibkan ikut penyetaraan D2, ketika ikut wisuda tahun 1995 di IAIN Ar-Raniry ia begitu surprise karena yang mewisuda beliau waktu itu adalah Dekan Fakultas Tarbiyah, yaitu Drs. M. Ali Wari, guru PGA-nya. Saya ingat betul waktu itu ibu begitu gembira, kesan beliau waktu itu pak AW tetap awet muda, bahkan ibunda saya yang murid beliau dalam foto terlihat seperti sebaya dengan gurunya itu.

Memang salah satu kesan kami mahasiswa beliau adalah pada “awet muda”nya. Mungkin karena sikap keguruannya yang mencerminkan aura cerah bersahaja sehingga membuat siapapun yang berhadapan dengan dia terasa nyaman. Dan ini diakui oleh semua orang yang pernah belajar dengan beliau. Wajahnya selalu menampakkan ketenangan, dengan senyum yang hampir selalu tersungging di bibirnya, beliau selalu tampak awet muda untuk seusianya.

Pada saat saya masuk IAIN tahun 1995, beliau sudah menjabat dekan periode pertama. Memang pada masa itu “urang Gayo” sedang naik daun di IAIN Ar-Raniry. Bahkan beliau sempat dua periode menjabat dekan fakultas Tarbiyah, dan dilanjutkan dengan dekan yang juga “urang Gayo”, bapak alm. Drs. Amir Daud.

Uniknya, jika Pak Ali Wari adalah jago-nya bahasa Arab, maka pak Amir Daud adalah jagonya bahasa Inggris, uniknya lagi dua-duanya adalah orang yang berjiwa seni tinggi, pak Ali Wari dengan sa’er-nya, dan pak Amir Daud dengan didong-nya. Kini keduanya telah tiada, namun bak kata pepatah “Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan karya”.

Kegigihan berkarya, itulah yang perlu kita teladani dari tokoh-tokoh seperti beliau. Dalam kondisi sakit-sakitan pun beliau masih bisa menyusun sebuah buku. Buku beliau yang terakhir diterbitkan adalah “Hadiah Pahala Amalan Rekayasa”. Dari judulnya jelas beliau sangat menentang berbagai bentuk amalan bid’ah di masyarakat yang sampai saat ini masih subur di kalangan masyarakat, khususnya di Takengon.

Semoga semangat belajar dan berkarya beliau dapat kita warisi dan kitapun dapat meraih prestasi dan karir yang cemerlang seperti beliau. Dalam hati, saya hanya bisa berkata, “hilangnya politisi akan segera datang pengganti, tapi hilangnya orang berilmu seperti M. Ali Wari, takkan terganti”. Allahummaghfirlahu, warhamhu wa ‘afihi wa’fu anhu”.

*Mantan mahasiswa Drs. M. Ali Wari

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.